Jakarta -
Keinginan Presiden ke-47 Amerika Serikat, Donald Trump, untuk merelokasi pengungsi Palestina dari Gaza ke Indonesia telah menjadi isu hangat yang banyak disorot oleh media internasional. Pernyataan ini disampaikan oleh Steve Witkoff, Utusan Trump untuk Timur Tengah, dalam sebuah wawancara dengan NBC pada Minggu, (19/1). Gagasan ini muncul di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas, dengan dalih mengatasi gejolak di Gaza yang hancur akibat konflik berkepanjangan.
Namun, ide relokasi tersebut segera memicu kontroversi di berbagai kalangan. Media-media asing seperti NBC, The New Arab, Quds News Network, hingga Israel365News memberikan pandangan yang beragam terhadap rencana ini. Meski diklaim sebagai upaya kemanusiaan, langkah tersebut dinilai tidak netral dan sebagai bentuk dukungan AS terhadap Israel. Kritik juga muncul karena relokasi dianggap membuka peluang bagi Israel untuk memperkuat kendalinya atas wilayah Gaza.
Selain itu, rencana ini juga menyoroti posisi Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang disebut-sebut sebagai salah satu lokasi tujuan relokasi. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri membantah mengetahui adanya rencana relokasi ini. Juru bicara Kemenlu, Roy Soemirat, menyatakan bahwa Indonesia belum menerima informasi resmi terkait hal tersebut.
Salah Arah
Meskipun rencana ini masih berada dalam tahap wacana dan Indonesia hanya disebut sebagai salah satu opsi, hal ini sudah cukup untuk menggambarkan bahwa opsi tersebut berasal dari pemikiran yang sangat sesat dan keliru. Rencana pemerintahan Donald Trump untuk merelokasi warga Palestina ke Indonesia sebagai bagian dari proses rekonstruksi pasca-gencatan senjata jelas mencerminkan pendekatan yang salah arah dan tidak menghormati hak-hak dasar rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika benar bahwa opsi ini muncul, kita harus dengan tegas mengkritisi dasar pemikiran yang melandasinya. Logika kolonialisme yang terbalik ini mencoba menawarkan solusi yang hanya mengalihkan masalah tanpa mengatasi akar permasalahan yang ada, yaitu hak kemerdekaan rakyat Palestina atas tanah air mereka sendiri. Bahkan, lebih dari sekadar merelokasi mereka secara fisik, ide ini justru melemahkan solidaritas dunia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina.
Dan, yang cukup dikhawatirkan, opsi ini seakan bertujuan menanamkan ke benak publik dunia untuk mempertanyakan makna solidaritas Palestina yang selama ini tetap dipertahankan oleh Indonesia. Ini jelas sebuah tendensi yang keliru dan perlu diluruskan.
Mengalihkan Masalah
Dengan menjadikan Indonesia sebagai salah satu opsi relokasi, pemerintahan Donald Trump seolah-olah mencoba untuk mengalihkan masalah dari Israel ke negara lain tanpa memberikan solusi yang benar bagi rakyat Palestina. Ini kesalahan besar yang menyalahi prinsip dasar yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia dan dunia internasional dalam mendukung kemerdekaan Palestina.
Sebagai negara yang telah melalui perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan, Indonesia memahami betul bahwa hak atas tanah adalah hak yang tidak bisa dipindahkan, dijual, atau diberikan begitu saja kepada pihak mana pun. Solusi yang diusulkan oleh pemerintah AS bukan hanya meremehkan perjuangan Palestina, tetapi juga seolah menyingkirkan hak dasar mereka untuk hidup di tanah yang sudah menjadi milik mereka.
Sebagai negara yang berpegang pada prinsip anti-kolonialisme, Indonesia tidak boleh mendukung kebijakan yang justru mengulangi pola kolonialisme masa lalu –di mana penguasa atau negara besar mencari cara untuk memindahkan masalah mereka dengan mengorbankan negara atau bangsa yang lebih lemah. Praktik ini persis seperti yang dulu dilakukan oleh pemerintah negara-negara Eropa terhadap etnis Yahudi. Karena sudah terlalu pusing dengan getho-getho yang merusak sistem sosial masyarakat, di antara mereka ada yang melakukan genosida –seperti yang dilakukan oleh Hitler kepada etnis Yahudi di sana.
Praktik penyelesaian masalah yang dilakukan oleh rezim Hitler ini terasa sadis bagi mereka, tapi bagaimanapun solusi harus ditemukan. Maka pada awal abad ke-20, Bangsa Yahudi yang tengah dilanda penganiayaan di Eropa seringkali dipandang sebagai "masalah" yang harus dipindahkan dari tanah asal mereka. Kolonialisme Inggris di Palestina melalui kebijakan Balfour Declaration (1917), misalnya, mendukung pemindahan orang Yahudi ke Palestina, yang pada akhirnya mengarah pada konflik besar dengan bangsa Palestina yang sudah mendiami wilayah tersebut.
Hal ini merupakan bentuk diaspora yang dipaksakan, yang pada akhirnya menjadi faktor utama dalam pembentukan Negara Israel dan pengusiran warga Palestina dari tanah mereka. Logika dan metodologi penyelesaian masalah dengan masalah inilah yang menjadi karakter khas kolonialisme di seluruh dunia. Dan inilah nalar yang dilawan olah para founding father Indonesia.
Itu sebabnya, Indonesia sejak awal menolak eksistensi Israel sebagai sebuah negara. Karena itu tidak adil bagi bangsa Yahudi dan juga warga Palestina di sana. Genealogi ideologis pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kontra-skema dari nalar kolonialisme global. Inilah juga yang disepakati dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955. Dalam konferensi pertama terbesar di muka bumi ini, semua negara yang hadir menyepakati dukungan atas kemerdekaan Palestina.
Secara kebetulan, peringatan HUT ke-70 KAA akan kita peringati sebentar lagi, yaitu 18 April 2025. Apa kata dunia kalau pada hari peringatan nanti, logika pembebasan Palestina sudah ditekuk-tekuk dan kehilangan arah?
Memahami Solidaritas
Logika untuk merelokasi warga Palestina ke Indonesia adalah kesalahan besar dalam memahami solidaritas Indonesia terhadap Palestina. Ini bukan hanya sebuah solusi yang tidak efektif, tetapi juga suatu bentuk kelanjutan dari kolonialisme terselubung, yang mengulang kesalahan sejarah masa lalu di mana negara-negara kolonial berusaha mengalihkan atau "mengusir" masalah ke negara lain.
Bila memang ada iktikad baik dalam upaya perdamaian di kawasan Timur Tengah terkait konflik Israel-Palestina (sebagaimana disampaikan Trump dalam pidato pelantikannya), mengapa tidak meminta Israel saja yang menampung warga Palestina? Bukankah itu akan meningkatkan kohesi sosial antarwarga negara yang bertikai? Lagi pula, tanah yang disebut sebagai negara Israel itu juga merupakan tanah ulayat warga Palestina. Dan, setelah rekonstruksi selesai, mereka akan lebih mudah untuk kembali ke tanahnya lagi. Dengan kata lain, terlalu bayak opsi strategis yang bisa diterapkan untuk merelokasi rakyat Palestina selama masa rekonstruksi.
Bila Indonesia setuju untuk menerima warga Palestina dalam jumlah besar hanya untuk tujuan relokasi tanpa solusi kemerdekaan yang jelas bagi Palestina, maka kita sama saja mendukung logika kolonialisme masa lalu yang menempatkan bangsa lain sebagai pihak yang "harus dipindahkan" demi alasan politis atau strategis.
Oleh karena itu, Indonesia harus tetap mempertahankan semangat perjuangan kemerdekaan, dengan mendorong dunia internasional untuk menekan Israel agar menghormati hak-hak dasar Palestina, dan bukan mengalihkan masalah ke negara lain dengan cara yang justru merugikan rakyat Palestina itu sendiri. Solidaritas Indonesia harus tetap berfokus pada kemerdekaan Palestina, bukan sekadar memberikan tempat tinggal bagi pengungsi.
Solidaritas Indonesia terhadap Palestina seharusnya dipahami sebagai komitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina, bukan malah mengambil alih masalah Palestina. Indonesia, sebagai negara yang telah merasakan penderitaan akibat kolonialisme, mestinya memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa perjuangan Palestina adalah untuk kemerdekaan yang sejati, yakni dengan kembalinya Palestina sebagai negara merdeka dan diakui di dunia internasional.
Bagaimanapun, opsi merelokasi warga Palestina di Indonesia ini masih sekadar wacana. Kita tentu sudah mendengar pidato Presiden Trump selama kampanye dan ketika pelantikannya --begitu banyak puisi dan kata-kata mutiara tentang nasionalisme dan perjuangan sebuah bangsa. Dalam pidatonya tersebut, Trump tampaknya sangat paham dengan makna kehormatan sebuah bangsa, patriotisme, dan perjuangan sejati para leluhur Amerika. Kita akan saksikan bersama, apakah Trump juga bisa memahami makna perjuangan bangsa Palestina dan solidaritas bangsa lain kepada Palestina.
Wim Tohari Daniealdi dosen Hubungan Internasional UNIKOM, Bandung
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu