Jakarta -
Godaan tambang terus disuarakan para politisi di DPR supaya perguruan tinggi diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) secara prioritas. Rencana kebijakan itu sama persis ketika pemerintah merevisi PP No. 96 Tahun 2021 yang berisikan pemberian IUP prioritas kepada Ormas Keagamaan supaya mereka "tidak terlalu berisik" kepada penguasa. Rencana penawaran izin tambang kepada perguruan tinggi haruslah ditolak, sebab akan menghilangkan kesadaran kritis sivitas akademika. Bahkan akan menghilangkan roh integritas "keilmuan" dari perguruan tinggi itu sendiri.
Sebelum muncul izin tambang prioritas kepada perguruan tinggi, telah ada terlebih dahulu persoalan pemberian izin tambang kepada Ormas Keagamaan melalui PP No. 96 Tahun 2021. Kini, permasalahan baru muncul ketika derajat pengaturan izin tambang Ormas Keagamaan—dan perguruan tinggi—akan dinaikkan pada taraf undang-undang melalui revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Melalui revisi itulah akan diatur perluasan subjek penerima izin tambang baru, seperti Ormas Keagamaan, perguruan tinggi, dan UMKM.
Terhadap izin tambang bagi perguruan tinggi, lantas memunculkan pertanyaan, adakah batasan dari jenis perguruan tinggi itu? Apakah dibatasi hanya perguruan tinggi negeri (PTN) saja, atau juga termasuk perguruan tinggi swasta (PTS)? Sebab diketahui bahwa ormas Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama juga mengelola banyak perguruan tinggi, sehingga nantinya pasti akan ada irisan antara Badan Usaha Ormas Keagamaan dengan badan usaha perguruan tinggi. Bukankah mekanisme izin tambang semacam ini akan memunculkan dualisme masalah baru?
Tidak Mudah
Mengelola wilayah pertambangan sesungguhnya tidaklah mudah. Diperlukan anggaran yang sangat besar, sumber daya manusia yang profesional dan mumpuni, risiko lingkungan yang mengancam, serta ketidakpastian hasil pengelolaan di tengah desakan global untuk melakukan transisi ke energi terbarukan (renewable energy transition). Pertanyaannya, mampukah perguruan tinggi memenuhi tuntutan-tuntutan pengelolaan tambang seperti itu? Dengan kesadaran penuh, jawaban saya tentunya tidak.
Andaikata nantinya terdapat perguruan tinggi ada yang memperoleh izin tambang, muncul pertanyaan, dari mana sumber perolehan uang untuk modal pembangunan fasilitas tambang? Sebelum pemerintah memutuskan regulasi pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi, pertanyaan ini harus terjawab terlebih dahulu. Karena pastinya ketersediaan biaya merupakan modal utama dalam pengelolaan tambang.
Dan, harus diketahui bahwa pengelolaan tambang itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, perlu miliaran rupiah. Ditambah saat ini ada kewajiban hilirisasi komoditas pertambangan yang pastinya akan semakin menambah beban keuangan badan usaha penerima izin tambang. Wajar saja apabila banyak kalangan masyarakat—termasuk akademisi—yang pesimis terhadap efektivitas pemberian izin tambang bagi perguruan tinggi.
Ketimbang harus fokus pada izin tambang kepada perguruan tinggi, harusnya DPR dan pemerintah fokus pada perbaikan manajerial kampus. Sebab saat ini masih banyak perguruan tinggi yang menghadapi persoalan finansial untuk keperluan operasional, kecenderungan biaya UKT yang semakin mahal, ditambah kesejahteraan dosen yang tak kunjung mendapat hilal kepastian.
Solusi keuangan kampus tentu bukan dengan memberikan izin tambang, tapi memperbaiki tata kelola APBN yang banyak diperuntukkan untuk hal-hal tidak perlu, serta tata kelola pertambangan yang saat ini memberikan banyak kerugian ekonomi negara.
Tidak Logis
Negara telah gagal memaknai tanggung jawab konstitusionalnya dalam memberikan pemenuhan hak atas pendidikan tinggi yang layak dan inklusif bagi masyarakat. Hal itu ditandai dengan banyaknya pernyataan pejabat bahwa apabila kampus mengelola tambang, maka biaya UKT/SPP akan menjadi lebih murah. Pernyataan itu sangat tidak logis. Setidaknya ada dua kesesatan konstitusional (constitutional fallacy) terhadap cara berpikir seperti itu.
Pertama, dari segi logika Pasal 33 UUD NRI 1945, pertambangan adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga negaralah yang harusnya mengelola langsung cabang produksi itu. Hal itu sudah dinyatakan dalam Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 bahwa fungsi paling utama dari hak menguasai negara Pasal 33 adalah fungsi pengelolaan, bahwa negaralah yang harusnya mengelola langsung komoditas pertambangan.
Apabila negara tidak mampu, maka bisa melibatkan pihak swasta sebagai pilihan terakhir. Saat ini pun mayoritas izin tambang dikuasai swasta, dan negara hanya mendapat sedikit keuntungan dari pengelolaan tambang. Kondisi itu menunjukkan adanya salah tata kelola pertambangan yang tidak sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD NRI 1945.
Sekalipun PTN adalah institusi milik negara, bukan berarti dimaknai sebagai entitas negara yang bisa melakukan pengelolaan langsung melalui mekanisme izin tambang. PTN adalah institusi pendidikan yang hanya fokus pada tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Apabila kampus memperoleh izin tambang, sama halnya mengubah tridharma menjadi catur-dharma (empat kewajiban), yakni dengan menambah kewajiban pengelolaan tambang.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab konstitusional negara. Dalam konteks penyelenggaraan PTN, seharusnya negara memberikan alokasi anggaran yang proporsional dan layak, sehingga tiap PTN tidak harus mencari anggarannya sendiri melalui badan usaha kampus dan menarik UKT yang tinggi. Itulah mengapa pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi tidak masuk akal.
Dengan diberikannya izin tambang ke PTN, termasuk kampus PTN-BH, sama halnya akan menjadikan kampus terkooptasi sistem pendidikan yang kapitalistik. Kampus tidak lagi fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan beralih pada pengembangan badan usaha layaknya perseroan terbatas.
Pemberian izin tambang memberi sinyal bahwa negara telah mengalihkan tanggung jawab konstitusionalnya untuk menghindari pembiayaan PTN dari APBN. Pendek kata, PTN harus mencari dana operasionalnya sendiri. Hal itu jelas bertentangan dengan amanat konstitusi (constitutional mandate). Kampus diberikan izin tambang hanya sekadar untuk menambal keuangan. Padahal pengalokasian anggaran kampus adalah tanggung jawab negara sesuai ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945.
Begitu pula dengan konsep hak menguasai negara dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 menjadikan kewenangan pengelolaan tambang oleh negara sangat mungkin dilakukan secara mandiri tanpa harus memberikan izin tambang kepada perguruan tinggi.
Langkah DPR memberikan izin tambang ke perguruan tinggi adalah kesalahan serius. Kampus harusnya diberikan anggaran yang layak untuk fokus mencetak ilmuwan dan scholar yang berdedikasi tinggi guna membangun bangsa, bukan malah difokuskan pada pengelolaan badan usaha tambang yang cenderung pro-bisnis dan merusak lingkungan. Keadaan itu tidak sejalan dengan prinsip di dunia akademis.
Ramai-Ramai Menolak
Kampus-kampus harusnya mengkritik kerusakan ekologis yang selama ini terjadi di wilayah pertambangan. Hilirisasi nikel yang dilakukan dengan cara deforestasi dan operasionalnya yang masih menggunakan PLTU adalah wujud penyimpangan dari praktik pertambangan. Ketimbang kampus mengelola tambang, lebih baik kampus turut memikirkan supaya bangsa kita tidak begitu tergantung pada tambang yang merusak.
Masifnya kerusakan hutan, hilangnya sumber daya air, hingga tersisihnya masyarakat adat di berbagai daerah kaya komoditas tambang (Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan, dan Sumatera bagian selatan) harusnya menjadi bukti nyata bahwa selama ini kegiatan usaha pertambangan dijalankan secara ugal-ugalan. Dengan kata lain tidak mengindahkan good mining principles.
Ketimbang pemerintah melegalisasi berbagai jenis izin tambang dan memperluas subjek penerima izin, lebih baik pemerintah menerapkan moratorium izin dan mengevaluasi seluruh izin tambang yang sudah pernah diberikan. Langkah itu akan menjadi efektif apabila dikontrol oleh perguruan tinggi. Mengingat perguruan tinggi memiliki basis keilmuan yang mumpuni untuk menilai praktik pertambangan yang selama ini cenderung merusak lingkungan.
Sudah saatnya berbagai sivitas akademika kampus ramai-ramai menolak kebijakan yang tidak rasional ini. Memupuk kesadaran dan menunjukkan keberpihakan kebijakan perlu disuarakan supaya proses legislasi revisi UU Minerba tidak menjadikan perguruan tinggi sebagai subjek penerima izin tambang. Saat ini, integritas kampus sedang diuji melalui tambang.
Selama ini perguruan tinggi cenderung terkooptasi oligarki kekuasaan melalui obral gelar honoris causa dan jabatan akademik profesor kehormatan, dan timbal baliknya adalah godaan tambang. Namun, saya yakin, di tengah krisis integritas akademik pastinya masih ada banyak ilmuwan kampus yang sadar untuk berpihak mempertahankan integritas dan otonomi keilmuan perguruan tinggi. Setidaknya, penolakan Rektor UII Yogyakarta serta Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB patut ditiru banyak kampus.
Endrianto Bayu Setiawan peneliti Pusat Kajian Hukum Pertambangan dan Energi dan mahasiswa Magister Hukum FH UB
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu