Jakarta -
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin merespons sejumlah anggota Komisi IX DPR yang menyoroti banyaknya persoalan, khususnya bullying, di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Budi Gunadi mengakui persoalan ini terjadi karena adanya pembiaran.
Dia awalnya bicara PPDS saat ini punya tiga masalah yakni kurangnya jumlah spesialis, distribusi yang tidak merata, dan mutu. Ia mengakui saat ini sulit untuk mengakui adanya persoalan pada kualitas etika dan budaya para dokter.
"Dari sisi PPDS ini masalahnya kita adalah spesialis jumlahnya kurang, abis itu distribusinya tidak merata, sekarang keluar masalah yang ketiga dari sisi mutunya, mutunya ada 3, mutu keterampilan, dan mutu dari etikanya, budayanya, itu isu," kata Budi Gunadi saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR, seperti dilihat detikcom di YouTube Komis IX DPR, Kamis (1/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keterbukaan kita, kerendahan hati kita, keberanian kita untuk mengakui ada masalah ini adalah satu hal yang saya ngerasain aja sulit, karena unutk bilang bahwa kita ada kekurangan itu sesuatu yang sulit diterima, kita bilang bahwa kita ada masalah di wilayah etika, atau lingkungan pembelajaran klinik," lanjut dia.
Budi memastikan dirinya dan Mendiktisaintek punya pandangan yang sama untuk membenahi persoalan PPDS. Menurutnya, saat ini persoalan PPDS masif ditemukan karena adanya pembiaran.
"Percayalah Pak Menteri (Mendiktisaintek) itu sama dengan saya, mau diperbaiki ini, beliau juga tahu ini ada masalah ayng sudah terlalu lama dibiarkan, dulu nggak begini bu pendidikan kedokteran, sekarang jadi begini tuh ada yang pembiaran," ucap dia.
Karena itu lah, Budi Gunadi mengatakan, dari sisi Kemenkes, akan bertanggung jawab jika adanya kembali persoalan PPDS. Dia menekankan akan mencabut praktek para dokter yang terlibat hingga membawa ke ranah hukum.
"Setidaknya di sisi kita, tanggung jawab kita, dari sisi kita, kita pegang apa? Kita pegang STR, izin, itu semua kita freeze, jadi dulu prosesnya lama bisa ini bisa ini, dan solidaritas kalau anaknya siapa mau ngehukum nggak enak, kalau sekarang itu semua yang terlibat, yang di Garut, yang di Undip, yang di RSHS, semua kita freeze, begitu dia terbukti salah, kita cabut, cabut artinya apa? Dia nggak bisa praktek dokter seumur hidup dia," tegasnya.
"Sekarang kita akan ambil resiko, saya tahu nggak populer nih, kita cabut, itu pasti akan rame, tapi kalau nggak gini akan terjadi terus, yang kasian nanti dokter-dokter yang baik. Orang orang ini sudah kita freeze, begitu salah cabut seumur hidup nggak bisa praktek. Nomor dua kita proses bukan cuma secara administratif, tapi secara yudikatif kita proses, jadi kita masukin ke polisi, kita tidak ada lagi halang-halangi, ini proses hukumnya harus jalan, supaya terbuka," lanjut dia.
Dia memastikan bakal memperbaiki PPDS. Dia memastikan akan ada pembenahan hingga penataan ulang di dunia pendidikan dokter spesialis.
"Jadi administratif kita sudah cabut, kita freeze, begitu dia salah, nomor dua kita masukin ke yudikatif, benar-benar jalan, jadi kalau salah ya salah, dihukum bukan cuma dihukum cabut STR tapi bisa kena pidana dia, ketiga begitu ada seperti ini, ini baru yang di atas, di bawah banyak, pembayaran, minta iuran ini, minta ini nggak jelas, suruh berdiri, suruh ngunyah cabe, itu masif bapak ibu pasti dengar, ini harus dilihat ditata ulang," tuturnya.
Uya Kuya Ungkap 2 Kasus Bullying PPDS
Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR Surya Utama alias Uya Kuya mengungkap lagi kasus perundungan atau bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Dia mengungkap bahkan ada yang disuruh para dokter senior untuk membayarkan clubbing.
Fakta tersebut diungkap saat rapat kerja bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin di DPR RI. Dia awalnya mengungkap kasus pertama yang terjadi kepada salah satu mantan dokter PPDS, Wildan Ahmad Furqon.
"Kasus pertama ada Wildan Ahmad Furqon mantan dokter PPDS di Bandung RSHS yang keluar, sampai keluar dari dr spesialis ortopedi karena mengalami perundungan fisik," kata Uya Kuya dalam rapat tersebut, seperti dilihat detikcom di YouTube Komisi IX DPR, Kamis (1/5).
Dia menyampaikan yang bersangkutan setiap malam disiksa dengan cara diminta berdiri dengan satu kaki, push up, hingga mengangkat kursi lipat. Selain itu, ia menyebut yang bersangkutan diminta membayarkan servis mobil senior hingga clubbing.
"Tiap malam harus berdiri dengan satu kaki sampai 3 jam, disuruh push up, jalan jongkok, merangkak, terus dia harus angkat kursi lipat yang ada mejanya selama 1 jam, disuruh bayarin servis mobil senior, disuruh bayarin clubbing," ucapnya.
"Biaya entertain yang dikeluarkan dari seorang Wildan sampai Rp 500 juta untuk 3 semester. Dan semester 1 dia harus menyediakan seperti tas Doraemon yang isinya bisa sampai 20 biji untuk kebutuhan senior," lanjut dia.
Selain Wildan, Uya Kuya mengungkap kasus PPDS lainnya ditemukan di salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Perundungan, lanjut Uya, dialami oleh mantan PPDS, dr Marcel.
"Masalah kedua untuk di UGM yaitu PPDS Ortopedi, dr Marcel yang saat itu dia alami hal yang sama, kurang lebih ada yang namanya parade setiap malam. Di situ ada penghakiman seperti push up, sit up, dilemparin botol, dipukul, ditampar, sampai dipersekusi di ruangan sempit dipukuli beramai-ramai atas perintah kepala senior resident," tutur dia.
(maa/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini