Jakarta -
Perkumpulan Doktor Ilmu Kepolisian Indonesia menggelar diskusi mengenai peran kepolisian di era post-truth. Para ilmuwan polisi ini sepakat akan pentingnya smart policing dalam era saat ini.
Acara ini digelar secara daring dan dihadiri oleh Kalemdiklat Polri Komjen Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana, Ketua Perkumpulan Doktor Ilmu Kepolisian Indonesia Kombes Dr Dedy Tabrani, Dosen Ubhara Jaya Rizma Afian Azhiim, dan dosen dan juga praktisi media Dr Bagus Sudarmanto, Jumat (25/4/2025). Diskusi ini bertajuk 'Kepolisian di Era Post-Truth: Antara Fakta, Opini, dan Disinformasi'.
Menurut Kalemdiklat Komjen Chryshnanda, post-truth adalah fenomena yang didesain atau diolah, ditambah-tambahi, dibumbui, diinterpretasi, bahkan diprovokasi, yang terus diviralkan, terus-menerus, sehingga mengubah atau bisa memengaruhi opini publik. Chryshnanda mengatakan pola post-truth ini berulang, yakni fakta, interpretasi, provokasi, lalu share ke media sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sebetulnya menjadi bagian dari character assassination atau pembunuhan karakter. Karena model-model seperti ini akan bisa menggerus sesuatu yang menjadi kebanggaan, atau keyakinan, harmoni, dan lain sebagainya," kata Chryshnanda dalam diskusi itu.
Chryshnanda mengatakan di era post-truth ini mulai muncul isu yang menyudutkan suatu orang atau lembaga, isu ini merugikan secara sosial karena menggerus. Oleh karena itu, Chryshnanda menilai harus ada upaya dari Polri untuk mencegah hal itu terjadi kepada Polri.
"Konsep yang saya tawarkan menghadapi era post-truth juga pada smart policing. What's meaning of smart policing, its mean harmony between of convencional policing, pemolisian konvensional, electronic policing atau pemolisian elektronik sebagai model pemolisian di era digital dan forensic policing as a model in new normal era, kita hidup di era kenormalan baru," ucapnya.
Oleh karena itu, Chryshnanda mengatakan Lemdiklat Polri memiliki pendidikan berbasis moralitas dan literasi dalam mengkaji ilmu. Chryshnanda menyebut Lemdiklat juga telah membahas tentang era post-truth saat ini.
"Maka Saudara juga harus memikirkan dan membahas bahwa era kenormalan yang by design merusak ini bisa melalui kendaraan apa-apa. Maka pendidikan di Lembaga Pendidikan Polri semua ini berbasis moralitas dan literasi dalam mentransformasi, mengembangkan, dan mengkaji ilmu kepolisian, basisnya pada kesadaran," ucapnya.
Ketua Perkumpulan Doktor Ilmu Kepolisian Indonesia Kombes Dedy Tabrani juga menyampaikan pendapat yang sama. Dedy menilai hal yang harus dilakukan Polri di era post-truth adalah memakai smart policing dengan mengandalkan teknologi.
"Saya sangat setuju dengan Bapak Prof Chryshnanda tadi, kuncinya adalah smart policing, di mana online policing itu adalah ruang, satu ruang. Ruang internet, di mana kita bekerja di ruang internet sekarang ini disebut online policing. Kemudian, digital policing adalah penggunaan peralatan teknologi digital oleh kepolisian di semua fungsi kepolisian," katanya.
Dedy menjelaskan fokus dari smart policing adalah pemanfaatan teknologi digital secara menyeluruh di dalam institusi kepolisian. Dia mencontohkan digital forensik, predictive policing dengan AI berbasis data kriminal menggunakan body cam pelaksanaan tugas, surveilans digital, orientasinya teknologi sebagai alat pendukung strategis.
Menurutnya, era saat ini tugas polisi tidak hanya di lapangan, tetapi juga di media maya. Polisi harus melakukan cyber patrol untuk menangkal informasi tidak benar yang beredar di masyarakat.
"Nah, di dalam online policing ini juga ada cyber policing di mana cyber policing ini khusus untuk adalah suatu badan untuk menangani kejahatan siber. Pendekatan hukum terhadap siber, kalau di Indonesia di cyber crime baris itu. Jadi, digital policing, online policing, dan cyber policing ini dinaungi oleh smart policing seperti yang disampaikan Profesor Chryshnanda tadi," jelasnya.
Dedy mengatakan smart policing adalah strategi Polri ke depan di era post-truth ini. Dia menyarankan anggota polisi harus menguasai teknologi saat ini.
"Jadi, smart policing ini adalah strategi kita ke depan untuk melaksanakan tugas dengan baik, sekarang di era post-truth fakta objektif kurang berpengaruh dibanding emosi dan keyakinan. Sebaliknya, apabila fakta palsu terus dibicarakan di ruang publik, itu akan menjadi kebenaran yang baru. Maka, dengan digital policing ini, kita menggunakan kapasitas aparat di era post-truth, pengembangan teknologi, teknologi kepolisan semakin canggih di semua fungsi kepolisian maka membantu kepolisian," tuturnya.
Pandangan Dosen-Praktisi Media
Sementara itu, dosen Ubhara Jaya Rizma Afian Azhiim mengatakan post-truth adalah pasca-kebenaran yang melampaui kebenaran. Namun, katanya, ini bukan tentang benar atau salah.
"Tipologi informasi di era post-truth itu, setidaknya ada tiga. Pertama, misinformasi, Informasinya salah, tapi sebenarnya nggak ada niat jahat. Disampaikan, tapi dia nggak punya niat jahat. Mungkin hanya karena tidak ada proses validasi atau tidak melakukannya, tapi disampaikan," kata Azhiim.
Tipologi kedua, katanya, disinformasi, yakni informasi yang disampaikan salah dengan niat penyampaiannya bisa merugikan orang lain. Ketiga adalah mal-information, yakni informasinya benar tapi digunakan untuk merugikan.
"Kalau informasinya benar, digunakannya untuk merugikan atau tidak. Karena belum tentu yang benar itu bermanfaat, yang benar pun belum tentu tidak merugikan. Nah, ini yang kita perlu pahami sama-sama," katanya.
Lebih lanjut, dosen dan praktisi media Bagus Sudarmanto menilai yang harus diwaspadai adalah neo post-truth. Fenomena neo post-truth ini terjadi setelah post-trut. Dia menilai fenomena ini juga harus diwaspadai.
"Oke, kita bicara tentang post-truth gitu, tapi juga kita harus mewaspadai neo post-truth yang akan datang. Sesuatu yang harus kita lihat, harus kita cek betul, dan harus kita pelajari lebih dalam, terutama bagi institusi kepolisian," katanya.
Bagus mengatakan ada beberapa ancaman jika neo post-truth terjadi. Salah satunya, menurutnya, kepercayaan publik.
"Nah, antara kepolisian dan disinformasi, ancaman dan tantangan, saya mencoba mengidentifikasi dari persoalan post-truth dan neo post-truth itu. Pertama ancaman erosi kepercayaan publik. Ini problem yang semakin kuat. Masyarakat semakin skeptis terhadap pernyataan resmi," katanya.
"Kemudian yang kedua adalah vigilantisme digital. Kompleksitas disinformasi ini memicu vigilantisme digital berbasis kebenaran yang salah, artinya ini semacam aktivitas melakukan keadilan jalanan terhadap pelaku-pelaku yang dianggap bersalah. Ini sebenarnya bisa kita lihat dari isu beberapa waktu yang lalu, no viral no justice," imbuhnya.
Bagus mengungkapkan di era neo post-truth, ancamannya adalah otomasi propaganda, yaitu AI. Dia mengatakan kemungkinan adanya AI atau bot akun palsu yang bisa memicu gelombang disinformasi.
"Bot-bot dan akun palsu akan bertenaga AI memicu gelombang ribuan disinformasi, bisa menyamar sebagai manusia. Ini sangat berbahaya menurut saya. Orang-orang yang awam tidak tahu itu sebenarnya bukan manusia," jelasnya.
Terakhir, ancaman neo post-truth adalah krisis legitimasi. Dia mengatakan jika ancaman neo post-truth tidak diantisipasi dan kepolisian tertinggal teknologi lembaga, maka Polri bisa dianggap usang dan tidak relevan.
(zap/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini