Jakarta -
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan Pakistan telah mengusir lebih dari 8.000 warga Afganistan hanya dalam satu minggu, sebagai bagian dari inisiatif repatriasi baru.
Islamabad sebelumnya telah meminta seluruh warga Afghanistan yang tidak memiliki dokumen yang sah untuk secara sukarela kembali ke negara asal mereka paling lambat 31 Maret atau menghadapi deportasi.
Pada saat yang sama, pihak berwenang Pakistan mengumumkan akan membatalkan sekitar 800.000 Kartu Warga Afganistan (Afghan Citizen Cards) yang telah mereka terbitkan dan mendesak pemegang kartu tersebut untuk segera meninggalkan negara itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah telah mendirikan pusat-pusat penampungan pengungsi di beberapa kota untuk menampung warga Afganistan sebelum mereka diangkut ke perbatasan Torkham di Pakistan barat laut.
"Situasinya semakin memburuk, dengan polisi secara aktif menyisir lingkungan dan jalanan di kota-kota serta desa-desa untuk mencari warga Afganistan, khususnya di provinsi Sindh dan Punjab," ujar Moniza Kakar, seorang pengacara yang bekerja untuk advokasi pengungsi di Pakistan, kepada DW.
Kakar mengatakan bahwa penggerebekan pada tengah malam menjadi hal yang umum, dan seringkali menyebabkan keluarga-keluarga terpisah.
Kembali ke Afganistan 'Membahayakan nyawaku secara serius'
Aktivis hak asasi manusia Ezatullah Bakhshi saat ini bersembunyi dari pihak berwenang Pakistan. Ia mengatakan kepada DW bahwa ia sudah dua kali ditangkap sejak tiba di Pakistan dan mendaftar sebagai pengungsi pada Juli 2023.
"Mereka mengancam akan mendeportasi saya kembali ke Afganistan, yang akan sangat membahayakan hidup saya karena aktivitas saya di bidang hak asasi manusia," kata Bakhshi.
"Kali pertama saya ditangkap, saya ditahan selama tiga hari sebelum dibebaskan setelah membayar suap. Penangkapan kedua berlangsung selama lima hari. Dalam kedua kasus tersebut, polisi mengetahui latar belakang saya dan risiko yang saya hadapi jika dideportasi," tambahnya.
Ketegangan antara Kabul dan Islamabad
Selama beberapa dekade, Pakistan menjadi tempat perlindungan bagi warga Afganistan yang melarikan diri dari perang atau rezim yang menindas di negara mereka. Gelombang besar terakhir dari para pengungsi datang setelah Taliban kembali berkuasa pada 2021. Perkiraan resmi menyebutkan bahwa sekitar 4 juta warga Afganistan telah melarikan diri ke Pakistan sejak tahun 1980-an.
Namun kini, Pakistan menghadapi tantangan keamanan di perbatasan serta memburuknya hubungan dengan rezim Taliban di Kabul, yang juga memicu sentimen anti-Afganistan di kalangan masyarakat Pakistan. Sejak 2023, pihak berwenang Pakistan telah melakukan serangkaian pengusiran dan deportasi, meskipun mendapat protes dari PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia, serta mengabaikan potensi risiko bagi para migran anti-Taliban yang kembali ke Afganistan.
Saat ini, UNHCR memperkirakan sekitar tiga juta warga Afganistan masih tinggal di Pakistan, dengan sekitar 1,4 juta di antaranya memiliki dokumen resmi.
Taliban: Deportasi bertentangan dengan prinsip Islam
Di saat yang sama, rezim Taliban juga mengkritik sikap Islamabad, menyebut penindakan terbaru ini sebagai "deportasi paksa".
"Tidak diragukan lagi bahwa deportasi paksa terhadap para migran Afganistan dan tindakan sepihak ini bertentangan dengan semua prinsip internasional, Islam, dan bertetangga," kata Abdul Motalib Haqqani, juru bicara Kementerian Migrasi dan Repatriasi yang dikelola Taliban, dalam sebuah pernyataan, pada Selasa (08/4).
"Karena hal ini menyangkut dua negara, penting untuk bekerja sama dalam mekanisme yang disepakati bersama guna memastikan kepulangan warga Afganistan ke tanah air mereka secara bermartabat," ujarnya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Melarikan diri dengan baju tidur
Warga Afganistan yang tersisa di Pakistan menghadapi pelecehan dan hidup dalam ketakutan terus-menerus akan penangkapan.
"Selama penggerebekan dari rumah ke rumah di Islamabad bulan lalu, saya mengetahui bahwa polisi berada di gedung kami tepat saat visa saya habis masa berlakunya," ujar Latifa Yaqoubi, anggota Gerakan Cahaya Kebebasan Perempuan Afganistan, kepada DW.
"Karena panik, saya lari ke arah ladang, bahkan tidak sadar apa yang saya kenakan. Begitu merasa aman dari jangkauan mereka, saya menyadari bahwa saya telah melarikan diri dengan memakai sandal dan baju tidur. Bagian tersulit adalah duduk di ladang sambil ditertawakan orang-orang yang lewat."
Warga Afganistan yang datang ke Pakistan setelah Taliban menguasai negara Kabul pada Agustus 2021. Para pengungsi ini bergantung pada perpanjangan visa untuk tetap tinggal di Pakistan. Ini suatu prosedur yang mahal, tidak pasti, dan seringkali mengalami penundaan signifikan.
Maria Noori, seorang aktivis yang bersembunyi, mengatakan bahwa komunitas internasional perlu bertindak.
"Pemerintah Pakistan telah mengurangi durasi visa menjadi hanya satu bulan, menciptakan lapisan penderitaan baru. Orang-orang diharapkan memperpanjang visa setiap bulan, yang secara finansial tidak mungkin dilakukan banyak orang. Bayangkan satu keluarga beranggotakan delapan orang, bagaimana mereka bisa membayar biaya perpanjangan berulang kali ketika mereka bahkan kesulitan untuk makan sehari-hari?" ujarnya kepada DW.
Para mantan pekerja NATO dalam bahaya
Para ahli hukum yang dihubungi DW sepakat bahwa para aktivis Afganistan di Pakistan membutuhkan bantuan segera.
"Keadaan terlihat suram, tidak hanya bagi warga Afganistan yang tinggal di Pakistan tetapi juga bagi para aktivis Pakistan yang mendukung mereka karena keduanya mengalami pelecehan dari pihak berwenang dan situasinya perlu mendapat perhatian secara kemanusiaan," kata Osama Malik, seorang ahli hukum hak pengungsi, kepada DW.
"Kebanyakan warga Afganistan di Pakistan bukanlah pendukung Taliban, dan banyak dari mereka sebelumnya bekerja dengan pasukan NATO, LSM asing, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka menghadapi risiko lebih besar akan penganiayaan dari penguasa de facto Afghanistan," tambahnya.
Ezatullah Bakhshi, kepala Lembaga Masyarakat Sipil dan Hak Asasi Manusia di Afganistan, tahu apa yang akan dia hadapi jika dikirim kembali ke seberang perbatasan. Sebelum dua kali penangkapannya di Pakistan, ia pernah dipenjara oleh Taliban karena upayanya mendukung komunitas yang terpinggirkan. Ia mengatakan Taliban kemungkinan besar akan mengeksekusinya.
"Selama saya ditahan oleh Taliban, saya mengalami penyiksaan fisik dan psikologis yang parah. Taliban memiliki dendam pribadi terhadap saya karena aktivitas saya, dan mereka bertekad untuk membungkam saya," kata Bakhshi.
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini