Jakarta -
Anggota DPR RI menyoroti program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang disebut bisa meraup Rp 1 miliar. Anggota Komisi VI Fraksi PDI-P Darmadi Durianto pun mempertanyakan keuntungan tersebut didapatkan dari mana.
Menurut dia, model bisnis Koperasi Desa Merah Putih yang dapat memicu perang harga karena bersifat homogen. Seperti diketahui, program tersebut mewajibkan 7 uni bisnis, seperti kantor koperasi, kios sembako, unit simpan pinjam, klinik kesehatan, apotek, pergudangan, dan logistik.
Dengan bisnis model seperti itu, dia meragukan koperasi dapat raup untung Rp 1 miliar. Dia pun membandingkan dengan BUMDes, di mana hanya 26 BUMDes dari 80.000 yang mendapatkan keuntungan di atas Rp 1 miliar. BUMDes yang berhasil yakni sekitar 56% itu di bidang keuangan, 40% bergerak di bidang perdagangan dan jasa, serta 4% di ketahanan pangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bapak datang dengan Rp 1 miliar dengan bisnis modelnya tidak ada, bapak meyakinkan siapa? Ini yang harus dipaparkan jadi jangan di media 80.000 itu omon-omon saja omong kosong hanya jumlah aja. Kita dukung program bapak presiden Prabowo tapi Bapak harus bisa menjaga ini agar jangan sampai merusak nama Presiden Prabowo itu penting jangan nanti gagal. Kalau gagal bapak yang kena," kata Darmadi saat Rapat Kerja bersama Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi, di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (26/5/2025).
Menanggapi hal itu, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan pihaknya memang mendapatkan pertanyaan terkait sumber keuntungan program tersebut. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, nilai tambah dari memangkas tengkulak dan rentenir mencapai Rp 300 triliun di desa.
"Jadi menurut data, termasuk dari Kementerian Pertanian, nilai tambah middle man rentenir tengkulak ini Rp 300 triliun diambil dari desa. Dari mulai selisih harga sampai misalnya beli wortel Rp 500, dijual di kota Rp 5.000. Nilai orang tengah ini terlalu besar. Jadi ketika saya bilang Rp 1 miliar per desa ini untung, hitungannya begini. Kalau dari Rp 300 triliun itu kita pangkas 30% aja itu sudah Rp 90 triliun, dari efisiensi jalur distribusi yang kita bisa ciptakan," jelas Budi Arie.
Kemudian, nilai tambah dari pupuk bersubsidi. Menurut Budi Arie, harga pupuk bersubsidi dari pabrik hingga beredar di pasaran mempunyai rentang harga yang jauh. Harga pupuk subsidi dari pabrik hanya Rp 2.300 per kg. Sementara, harga di pasaran mencapai Rp 4.800 per kg.
"Yang kedua prof, subsidi pupuk itu Rp 43 triliun prof. Harga pupuk dari pabrik itu Rp 2.300, ditambah ongkos angkut Rp 300-400, tergantung jarak, sekitar Rp 2.700 atau Rp 2.600. Sekarang di pasar, harga pupuk bersubsidi itu Rp 4.800, deltanya terlalu besar, dan itu sangat merugikan buat masyarakat rakyat atau petani pupuk bersubsidi," terang Budi Arie.
Kemudian, nilai tambah dari LPG 3 kg. Menurut Budi Arie, banyak masyarakat yang belum mendapatkan harga LPG 3 kg yang tidak sesuai harga subsidi.
"Belum subsidi LPG yang nilainya juga hampir Rp 100 triliun, di mana ternyata petani atau masyarakat membeli dengan harga yang besar, bukan harga subsidi. Jadi selama ini, ini ide Kopdes Merah Putih ini begini Prof, ini ide presiden untuk membuat barang2 yang disubsidi negara ini efektif, efisien, sampai ke masyarakat.
Terkait bisnis koperasi yang dinilai monopoli, Budi Arie menjelaskan dalam peraturan undang-undang, hanya dua lembaga yang diperbolehkan untuk monopoli, yakni BUMN dan Koperasi.
"Koperasi dibenarkan untuk BUMN. Minggu lalu saya bertemu dengan KPPU, karena ini koperasi adalah lembaga ekonomi yang sesuai dengan ideologi negara maka dia boleh monopoli. Kenapa boleh monopoli? Karena koperasi milik orang banyak, bukan milik 1-2 orang. Sampai sekarang uu kita masih memperbolehkan koperasi melakukan monopoli, Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 pasal 50," imbuh Budi Arie.
(acd/acd)