Kinerja Dosen Membutuhkan Insentif, Bukan Efisiensi

1 month ago 32

Jakarta -

Beberapa waktu terakhir ramai polemik akibat kebijakan efisiensi oleh pemerintah, termasuk mengena kepada Kementerian Dikti dan Saintek. Efisiensi tersebut tampaknya juga mengena kepada kehidupan dan kinerja dosen. Seperti halnya sektor lain, kebijakan efisiensi diharapkan memberikan hasil happy ending, dan kinerja para dosen semakin meningkat khususnya menghasilkan produktivitas karya ilmiah.

Kebijakan efisiensi anggaran untuk mendorong kinerja dosen harus didukung sepenuhnya. Proses ini hendaknya terus hidup melalui quality control untuk menghasilkan continuous improvement dalam manajemen perguruan tinggi (PT). Peran anggaran dari pemerintah (APBN) merupakan stimulus bagi riset dosen yang bermutu dan memproduksi luaran akademik berdaya saing.

Data Statistik Pendidikan Tinggi 2023 menunjukkan jumlah dosen secara keseluruhan mencapai 331026 orang. Berdasarkan jabatan akademik, mereka terdiri 85744 Asisten Ahli, 115702 Lektor, 33352 Lektor Kepala, dan 11252 Profesor. Berdasarkan nomor registrasi, dosen NIDN (Nomer Induk Dosen Nasional, dosen tetap aktif di suatu PT) sebanyak 297844 orang, dosen NUP (Nomer Urut Pendidik, sebutan untuk dosen tidak tetap) 15565 orang, dan dosen NIDK (Nomer Induk Dosen Khusus, sebutan untuk dosen kontrak dengan perjanjian kerja, biasanya dosen berusia pensiun) sebanyak 17617 orang.

Dosen NIDN adalah dosen berusia aktif dan penuh waktu, menjalankan tridarma PT. Dosen NIDN menjadi andalan PT untuk menunjukkan mutu dan kinerjanya. Dosen NIDN berhak atas akses terhadap program-program pemerintah untuk pembinaan dosen dan pengembangan kariernya. Dosen NIDN memenuhi syarat untuk mengajukan sertifikasi, dan bila lulus sertifikasi akan menerima tunjangan profesi dari pemerintah sesuai dengan ketentuan. Jelasnya, kinerja dosen NIDN dituntut mampu menjalankan visi misi pendidikan tinggi melalui kebijakan anggaran pemerintah.

Kehidupan dan Karier Dosen

Seorang dosen yang aktif (NIDN) dalam publikasi ilmiah dan karier jabatan akademiknya konsisten naik (sejak Asisten Ahli hingga Guru Besar), dapat menjadi model bagaimana kebijakan anggaran disusun. Karier seorang dosen adalah akumulasi sepanjang hidup dari aktivitas tridarma PT yang bermutu dan konsisten membangun kompetensi keilmuan (pendidik sekaligus ilmuwan, sebagai amanah UU 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Aktivitas itu akan berjalan bila dosen fokus (wajib studi S3) melakukan riset, publikasi, membangun komunikasi akademik dengan kolega, seminar, dan aktivitas tridarma lainnya.

Sejauh ini, anggaran pemerintah (terutama Kemendikti Saintek) untuk mendukung kinerja dosen antara lain beasiswa studi S3, hibah riset dan pengabdian, insentif publikasi dan luaran ilmiah, atau penghargaan lainnya. Saya secara pribadi pernah menikmati program-program tersebut, dan banyak dosen lainnya masuk list penerima hibah atau insentif sejenis. LPPM setiap PT telah memiliki budaya bagaimana menggerakkan dosen untuk meraih hibah tersebut.

Anggaran pemerintah juga diberikan dalam wujud tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan, yang langsung masuk rekening si dosen. Tunjangan itu bertujuan untuk membangun kinerja dan kompetensi dosen. Peraturan Menristek Dikti No 20 tahun 2017 tentang pemberian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor, Pasal 3 menyatakan tunjangan profesi diberikan kepada dosen setelah memenuhi aktivitas tridarma PT sebesar 12 hingga 16 SKS setiap semester.

Makna sebenarnya, tunjangan itu bukan seperti makan siang gratis, tetapi dosen dituntut memenuhi kinerja. Hasil survei Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP, 2022) menunjukkan tunjangan profesi telah digunakan dosen untuk biaya penelitian mandiri (72.1% dosen), penerbitan jurnal nasional (67.7% dosen), dan penerbitan jurnal internasional (53.3%).

Dosen penerima tunjangan profesi adalah dosen yang lulus program sertifikasi dosen. Saya belum menemukan data jumlah dosen yang tersertifikasi, namun dari hasil survei PSKP (2022) jumlahnya diperkirakan 70 persen. Jumlah keseluruhan dosen NIDN adalah 297844 orang, 162180 orang diantaranya non ASN. Sehingga dosen penerima tunjangan profesi keseluruhan diperkirakan sekitar 208 ribu orang, termasuk 113 ribu dosen non-ASN.

Tahun 2025 ini, pemerintah memberikan tunjangan kinerja kepada dosen. Namun, kebijakan ini menyisakan catatan; dosen non-ASN belum menerima tunjangan kinerja seperti halnya dosen ASN. Dosen lain, meski jumlahnya tidak banyak, dapat memanfaatkan hibah kerja sama riset dari sumber lain baik secara individu atau dikoordinasikan oleh PT. Sangat banyak kreasi dan improvisasi yang dapat dimanfaatkan dosen dari berbagai peluang kerja sama dengan institusi lain.

Efisiensi Anggaran Tidak Relevan

Mempertimbangkan kondisi kehidupan dan kinerja dosen, sebenarnya belum semua dosen menerima manfaat dari anggaran pemerintah. Kurang lebih 90 ribuan dosen NIDN belum tersertifikasi, yang kebanyakan adalah Asisten Ahli dan Lektor. Mereka ini sangat membutuhkan pembinaan dan pendampingan. Isu kesenjangan kesejahteraan antara dosen ASN dan non ASN juga mencuat, dengan pemberian tunjangan kinerja hanya untuk ASN. Padahal tugas dan indikator kinerja antara dosen ASN dan non ASN tidak berbeda.

Mengasumsikan anggaran sebagai input, dan karier dosen sebagai outcome, maka dari sini dapat dievaluasi sejauh mana efisiensi penggunaan anggaran. Idealnya seorang dosen yang sudah menerima anggaran dari berbagai program insentif dan tunjangan dari pemerintah akan linear dengan peningkatan karier dalam jabatan akademik. Dengan waktu, cepat atau lambat maka seorang dosen akan konsisten naik dari Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan mencapai puncaknya Guru Besar. Semakin cepat karier dosen berkembang, menandakan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran pemerintah. Visi peningkatan mutu PT juga cepat dicapai sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi.

Dosen tersertifikasi menjalani penilaian beban kinerja dosen (BKD) mengikuti Pedoman Operasional (PO) BKD 2021. Saat ini, penilaian BKD sudah terintegrasi dengan penilaian angka kredit (PAK, untuk kenaikan jabatan akademik) menggunakan platform Sister (Sistem Terintegrasi). Hasil penilaian BKD secara administratif merupakan instrumen pembayaran tunjangan profesi. Setiap tiga tahun, dosen dinilai kinerjanya apakah telah melaksanakan kewajiban khusus menghasilkan publikasi karya ilmiah.

Idealnya, dosen yang memenuhi kewajiban khusus dapat mengusulkan kenaikan jabatan akademik setiap tiga tahun, atau meleset katakan lima tahun. Ini dapat menjadi tantangan bagi manajemen kampus untuk mengevaluasi mengapa jabatan akademik dosen lebih dari lima tahun tidak naik. Pertanyaan lanjutannya, apakah kewajiban khusus dosen benar-benar tercapai, sehingga tidak memenuhi syarat untuk naik jabatan akademik. Pertanyaan ini terkonfirmasi oleh temuan survei PSKP (2022); ada kinerja dosen tersertifikasi belum berubah setelah menerima tunjangan.

Manajemen PT perlu membangun mekanisme insentif untuk mendorong kinerja dosen lebih produktif. Dosen yang berkinerja tinggi, yang konsisten menulis dan publikasi, serta menaikkan jabatan akademiknya harus diberikan reward. Hal ini wajar karena ukuran mutu atau akreditasi prodi dan PT mengandalkan portofolio mereka. Sebaliknya dosen yang kariernya macet, joke-nya "asisten ahli forever" atau "lektor forever" membutuhkan pendampingan –asah, asih dan asuh- dan/atau langkah-langkah disinsentif untuk meningkatkan kinerja profesionalnya. Leadership dalam manajemen PT perlu mengembangkan budaya akademik untuk mengelola hal ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Iwan Nugroho Guru Besar, Ketua Tim Penilaian Angka Kredit (PAK) Universitas Widyagama Malang, asesor BKD

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial