Kejahatan Pidana Melecehkan Perempuan di Media Sosial

2 months ago 59

“Apa itu pulen?” Binar menjeda kalimatnya ketika berbincang kepada detikX melalui sambungan telepon. “Aku pikir itu kayak guyonan internal anak remaja gitu, sampai belakangan aku tahu kalau itu kata-kata yang sensual dan melecehkan,” lanjutnya sembari menghela napas panjang.

Adik Binar yang berusia 15 tahun sedang asyik-asyiknya menggemari kegiatannya sebagai content creator. Kegiatan itu tak lepas dari pengawasan Binar. Makanya, Binar kerap memantau semua interaksi maupun komentar-komentar konten adiknya.

Tak menyangka, suatu hari, ia mendapati seseorang tak dikenal menuliskan kata ‘pulen’ di salah satu video adiknya yang sedang memasak. Sedikit aneh menurutnya. Sebab, masakan adiknya tak ada yang menyajikan nasi. Awalnya Binar membiarkannya, sampai muncul beberapa komentar lain yang menyebut kata serupa.

“Terus aku cari-cari dong artinya di TikTok, karena aku kan pakai TikTok cuma untuk mengawasi adikku aja. Kaget dong aku, ternyata itu kata-kata yang menurutku melecehkan. Ini anak-anak lho, kok bisanya digituin,” protes Binar.

Ia langsung memutuskan menghapus komentar-komentar itu dan melaporkan akun terkait. Namun, sejak saat itu, pikiran Binar jadi tak tenang. Sulit rasanya melarang adiknya berhenti menjadi content creatorketika di masa kini itu merupakan hal yang wajar.

Tak dimungkiri mungkin pada masa mendatang komentar-komentar sejenis akan muncul kembali. Binar gelisah, masih tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Dapat DM dari balasan story-ku gitu, biasanya kalau story-ku lagi foto OOTD atau nge-gym, dapat komentar tentang penampilan. Dan itu nggak yang kenal-kenal banget.”

“Apa ya, ini kan hal yang mengerikan. Tapi, kalau mau diproses hukum tuh, takut dianggap lebai. Eh, belum lagi ngeluarin duit, ke sana-kemari, belum tentu kelar ini masalahnya,” tandas Binar.

Pengalaman lain juga pernah dialami perempuan bernama samaran Sindy, seorang pemengaruh di bidang kesehatan dan kebugaran. Seperti biasa, Sindy membagikan kegiatannya di ruang olahraga melalui Instagram. Dari 2021 hingga 2024, ia beberapa kali menerima komentar melecehkan dari beberapa laki-laki yang menjadi pengikutnya.

“Dapat DM dari balasan story-ku gitu, biasanya kalau story-ku lagi foto OOTD atau nge-gym, dapat komentar tentang penampilan. Dan itu nggak yang kenal-kenal banget. Seperti pahanya bagus banget, bokongnya kenceng banget, bodinya bagus, paling parah ‘ngewe, yuk’,” ungkap Sindy melalui pesan teks.

Sedih, jijik, marah, bercampur aduk ketika membacanya, bahkan ketika kembali menceritakannya. Ingin sekali Sindy menyebarkan kelakuan orang-orang itu melalui media sosialnya, tetapi ia mengurungkannya karena tak ingin mencari keributan.

“Tapi, kalau misal terjadi lagi di masa mendatang, aku bakal block, report ke aplikasi terkait, dan kalau sudah keterlaluan, bakal spill minta dukungan ke pengguna lain,” kata perempuan berdomisili di Jakarta itu.

Ia berharap penanganan dan pencegahan platform semakin maju kelak. Misalnya bisa mendeteksi kata maupun tindakan pelecehan serta melarang pengguna terkait agar tak bisa lagi menggunakan akunnya.

Adapun Sari, pada hari ulang tahun sahabatnya, hanya ingin membagikan momen itu di media sosialnya. Tiba-tiba, entah kenapa, pengikutnya melonjak berbarengan dengan komentar ‘tobrut’ alias toket brutal. Sari menduga foto dan media sosial disebarkan seseorang sehingga tiba-tiba banyak orang tak dikenal mengomentari fotonya.

“Sedikit sedih, banyak marahnya. Karena siapa sih yang menyebarkan tautan fotoku, kenapa sih harus seperti itu, bahkan saat aku posting cuma untuk merayakan ulang tahun sahabatku,” ujar Sari.

detikX mendengar dua pengalaman lainnya dari Zizi dan Putri—bukan nama sebenarnya. Zizi pernah mendapatkan komentar melecehkan sampai dikirimi foto alat kelamin di Instagramnya. Sedangkan Putri mendapat komentar “makin menggoda” hingga “makin gede” dari teman lamanya ketika mengunggah foto di story WhatsApp.

Beberapa waktu lalu, Bernadya—seorang penyanyi kenamaan—juga tak lepas dari komentar-komentar melecehkan ketika sedang mengunggah video konsernya juga konten nostalgia mengunjungi Surabaya Town Square.

"Aku jarang banget speak up tentang ini. Cuma, menurut aku, sudah keterlaluan komen-komennya," ujar Bernadya, seperti diberitakan detikcom pada, Rabu 25 September 2024.

Bernadya mengaku menyayangkan hal tersebut karena pengunggah konten tak langsung menghapus komentar-komentar tersebut. Baru setelah kian parah, kolom komentar dinonaktifkan. Sayangnya, video itu telanjur menyebar, diunggah ulang, dan mendapat komentar-komentar serupa.

Komentar-komentar ketubuhan perempuan sebenarnya tak hanya diarahkan langsung kepada mereka. Komentar-komentar sejenis kerap digunakan berkedok bahan bercanda di media sosial.

Bukan hanya warga biasa, bercanda tentang ketubuhan perempuan di media sosial pernah pula dilakukan oleh Ridwan Kamil dan Pramono Anung pada masa lalu dalam cuitan akun X-nya.

Pramono Anung, misalnya, menulis di Twitter (sekarang X) tentang payudara berbunyi "kesamaan loket dan tok*t... kalau pengen tahu sama-sama diintip #nyantai ah.." pada 12 November 2010.

Ridwan Kamil pada tahun yang sama juga menuliskan cuitan bernuansa seksis, "Betenya menyusuri kemacetan Jakarta. Jam segini koq masih pamer susu sih. (Padat merayap susul menyusul)," tulisnya pada 20 Juli 2010.

Budaya Menormalisasi Pelecehan Masih Kuat

Apa yang dialami Bernadya dan banyak perempuan lainnya di media sosial, menurut SAFEnet, merupakan bentuk dari cyberbully dan flaming. Terkadang masih banyak korban belum menyadari mereka mendapatkan kekerasan dengan menerima kata-kata hinaan agresif dan melecehkan, salah satunya komentar terkait tubuh.

Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet Wida Arioka mengatakan cyberbully dan flaming tersebut masuk dalam kategori kekerasan berbasis gender online (KBGO). Merujuk data yang dihimpun SAFEnet pada 2023, flaming masuk dalam empat besar jenis KBGO yang kerap terjadi pada pengguna media sosial. Yang pertama merupakan image-based sexual abuse (IBA), dilanjut penyebaran konten intim tanpa consentsextortion, kemudian flaming.

SAFEnet juga memantau adanya istilah-istilah baru untuk melecehkan yang tersamar, seperti pulen yang berarti montok mengacu pada berat badan dan ukuran payudara. Toge pasar yang berarti toket gede paha besar, tobrut atau toket brutal, dengan maksud merendahkan seseorang.

“Sayangnya, kata-kata itu dianggap sebagai sesuatu yang lucu-lucuan gitu, bercanda gitu dan karena dianggap lucu-lucuan, lalu kemudian dinormalisasi sama orang-orang sehingga, kalau misalnya tiba-tiba ada yang speak up, lalu malah dikomentari lebai-lah. Kan jadinya si korban udah mau melawan kemudian dia jadi korban lagi,” terang Wida.

Selain itu, kata Wida, kekerasan sejenis itu bisa menguras mental korban sepanjang waktu. Berbeda dengan bully tradisional, yang hanya bisa dilakukan ketika korban bertemu pelaku, KBGO bisa terjadi sepanjang waktu atau 24 jam.

Guna mengatasinya, SAFEnet kerap melakukan aduan dan laporan kepada platform terkait untuk menindak akun maupun kegiatan di media sosial yang menunjukkan kekerasan. Meski sebenarnya sudah ada mesin untuk mendeteksi kegiatan yang termasuk kekerasan, terdapat keterbatasan mesin untuk menerjemahkan, terlebih jika istilahnya terlalu lokal.

Senada dengan SAFEnet, komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengatakan budaya pelecehan yang dinormalisasi dengan menggunakan kata-kata seksis memang masih mengakar di Indonesia.

Bahkan penggunaan kata-kata seksis justru turut dilestarikan oleh pemerintah melalui penggunaan istilah untuk nama aplikasi program-program mereka. Seperti Simontok, Sipepek, Sisemok, Siska kuintip, dan masih banyak lainnya, lantas berdalih agar masyarakat mudah mengingatnya.

“Sebenarnya kan bisa digunakan kata lain, tapi karena budaya kita masih misoginis dan patriarkis, ya menganggap itu wajar dan bahkan sebagai lelucon,” ujar Bahrul alias Cak Fu.

Sementara itu, Komnas Perempuan menyebut ada peningkatan KBGO beserta kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) dari 2023 ke 2024.

Di sisi lain, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut orang yang sengaja menggunakan kata-kata melecehkan tersebut sudah bisa diperkarakan untuk dipidanakan.

“Kata-kata melecehkan itu sudah bisa masuk pidana. UU TPKS. Mungkin ada yang belum tahu, itu bisa diancam pidana. UU TPKS dikuatkan di KSBE, kekerasan seksual berbasis elektronik, itu bisa dipenjara selama 4 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta,” terang Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA Eni Widiyanti.

Penting bagi para korban, menurutnya, untuk angkat bicara. Sebab, jika korban terus menormalisasi pelecehan, dikhawatirkan derajat kejahatannya akan meningkat ke kekerasan pelecehan yang lebih membahayakan.

Meski demikian, Eni mengakui hingga kini Kementerian PPPA masih terus mengedukasi instansi terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, juga UPT PPA, di 11 daerah. Sebab, jika mereka belum memiliki perspektif gender yang berpihak pada korban, penanganan malah bisa terhambat.

“Harus kita pahamkan dulu, jangan sampai begini, ketika aparat ini ternyata tidak paham kalau ini adalah kasus KBGO, itu malah meletakkan tuduhan itu ke si korban yang malah jadi pelaku pelanggaran undang-undang pornografi. Jadi penting untuk punya pengetahuan tentang bagaimana modus-modus dari kasus KBGO,” tegas Eni.

Eni melanjutkan, sebagai salah satu langkah pelaporan kasus, Kementerian PPPA menyediakan hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08-111-129-129. Nanti korban akan diarahkan ke UPT PPA lokal maupun pusat bergantung pada tingkatan kasus.

Selain itu, Kementerian PPA telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengatasi kekerasan yang ada di ranah digital, juga mengedukasi platform-platform terkait untuk lebih peka terhadap kasus-kasus KBGO.

Sementara itu, Plt Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Molly Prabawaty mengatakan penanganan yang dilakukan untuk mengatasi cyberbullying dan catcalling adalah memblokir situs maupun takedown konten yang ada di platform. Ini berdasarkan rekomendasi instansi sektor yang berwenang. Program lainnya yang dilakukan adalah Program Literasi Digital.

Sejak 2017 sampai 20 Desember 2024, terdapat 2.276 konten yang ditangani oleh Komdigi. Platform yang paling banyak ditemukan konten kekerasan adalah Twitter (X) dan Meta (Facebook/Instagram/WhatsApp).

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial