Jakarta -
Perkembangan industri keuangan digital di Indonesia tampak semakin pesat dari tahun ke tahun. Layanan pembayaran daring, dompet elektronik, hingga aplikasi mobile banking berlomba-lomba menawarkan kemudahan bagi pengguna, sementara akses internet dan ponsel pintar kian meluas. Di tengah dinamika ini, Bank Indonesia (BI) mulai merumuskan visi besar yang melampaui sekadar e-money atau uang elektronik—yakni menerbitkan Central Bank Digital Currency (CBDC) bernama Rupiah Digital.
Lewat proyek yang disebut Proyek Garuda, BI menargetkan terciptanya mata uang digital resmi yang diakui secara hukum dan diatur langsung oleh bank sentral. Gagasan ini bukan tanpa alasan: pertarungan menjaga kedaulatan rupiah di era disrupsi mata uang digital swasta menuntut langkah strategis.
Meski berbagai pelaku pasar menyambut CBDC dengan rasa penasaran, sejumlah pertanyaan pun muncul. Apa perbedaan utama antara Rupiah Digital dan dompet elektronik umum seperti OVO, GoPay, atau DANA? Bagaimana dampaknya pada stabilitas sektor perbankan bila masyarakat bisa menyimpan uang digital langsung di platform milik bank sentral? Dan, sejauh mana kekuatan Rupiah Digital dalam menopang ekonomi digital yang ditargetkan tumbuh hingga 8%?
Demi menyingkap hal ini, kita perlu mencermati posisi Rupiah Digital di ranah fintech, memahami proses kolaborasi lintas sektor, serta menengok pelajaran dari negara atau entitas yang lebih dulu bereksperimen dengan mata uang digital.
Dalam industri keuangan saat ini, fintech memegang peran amat vital. Seiring berkembangnya internet banking, peer-to-peer lending, dan pembukaan rekening secara daring, perbankan konvensional dipaksa melakukan digitalisasi. Di sisi lain, start-up fintech memberikan alternatif layanan yang lebih cepat dan, kadang, lebih terjangkau bagi konsumen. Ketika BI mewacanakan Rupiah Digital, beberapa orang khawatir bahwa ini justru menciptakan persaingan baru antara bank sentral dan inovator fintech. Padahal, kolaborasi bisa menjadi kata kunci.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila mengacu pada literatur yang disusun Raskin & Yermack (2018), munculnya mata uang digital swasta atau cryptocurrency mendorong bank sentral di banyak negara untuk bergerak lebih adaptif. Tak hanya semata menjaga kewenangan moneter, bank sentral juga harus menyesuaikan desain sistem pembayarannya agar kompatibel dengan teknologi terdesentralisasi. Fenomena ini terbukti pula di Indonesia: rupiah digital diwacanakan agar tetap relevan di tengah kemunculan berbagai crypto assets.
Dengan mengokohkan posisi rupiah di ranah digital, BI dapat bekerja sama dengan perusahaan fintech untuk mengintegrasikan Rupiah Digital ke platform dompet elektronik, layanan pinjaman daring (pindar), dan fasilitas pembayaran lintas negara.
Riset yang dilakukan Peterson K. Ozili (2022) turut mendukung kemungkinan manfaat dari CBDC, yaitu peningkatan inklusi keuangan dan pengawasan transaksi. Berbeda dengan e-money berbasis simpanan di bank komersial, Rupiah Digital akan diterbitkan langsung oleh BI, sehingga proses audit dan compliance bisa lebih transparan.
Dalam konteks fintech, hal ini memberi peluang besar untuk menyalurkan dana pada masyarakat unbanked maupun underbanked, karena metode verifikasi identitas dapat memanfaatkan digital ID. Nantinya, pelaku fintech yang sudah terintegrasi Rupiah Digital dapat menawarkan produk keuangan (seperti pinjaman mikro, asuransi, dan tabungan) yang lebih mudah diakses.
Pengalaman M-Pesa dan Proyek mBridge
Untuk memahami signifikansi Rupiah Digital di pusaran fintech, sebaiknya kita meninjau pengalaman M-Pesa di Kenya dan inisiatif mBridge di kancah internasional. Meski M-Pesa bukan mata uang digital bank sentral, layanan ini dikenal sebagai pioner mobile money yang menjangkau jutaan orang tanpa akses perbankan. Masyarakat di pelosok Kenya dapat menyimpan dan mentransfer uang lewat pulsa telepon seluler. Keberhasilan M-Pesa menggarisbawahi bahwa kolaborasi teknologi dan keuangan mampu menggerakkan aktivitas ekonomi secara masif, bahkan sebelum terminologi "fintech" marak dibicarakan. Namun, M-Pesa dijalankan oleh swasta (Safaricom) dan "nilai uangnya" dijamin oleh rekening penampung di bank tertentu. Pada titik inilah, CBDC menawarkan keunggulan dalam hal legitimasi penuh dari bank sentral.
Di ranah internasional, mBridge merupakan proyek kerja sama antara beberapa bank sentral (termasuk Hong Kong, Tiongkok, Thailand, dan Uni Emirat Arab) serta Bank for International Settlements (BIS). Tujuannya adalah menguji coba mekanisme pembayaran lintas negara menggunakan wholesale CBDC. Indonesia, melalui BI, telah bergabung sebagai observer, menandakan niat kuat untuk mempersiapkan infrastruktur lintas batas di masa depan. Jika berhasil, penggunaan CBDC dapat memangkas biaya remitansi, menyederhanakan transaksi perdagangan internasional, serta meminimalkan kendala settlement time yang sering menghambat arus dana antarbenua.
Bergabungnya Indonesia dalam mBridge menjadi langkah strategis untuk menimba ilmu teknologi distributed ledger, memperdalam arsitektur teknis, sekaligus menyusun kebijakan lintas yurisdiksi. Integrasi ini selaras dengan pendapat Cumming et al. (2023), yang menyoroti besarnya pengaruh mata uang digital terhadap kinerja bisnis internasional. Bila Rupiah Digital dapat diakui dan digunakan dalam skema cross-border payment, bukan tidak mungkin ekspor-impor dan transfer dana lintas negara menjadi lebih efisien. Hal ini sekaligus menguntungkan ekosistem fintech lokal yang ingin berekspansi melampaui pasar domestik.
Dari sudut pandang industri fintech dalam negeri, hadirnya Rupiah Digital menghadirkan sederet peluang. Salah satunya adalah terciptanya satu ekosistem pembayaran yang benar-benar bersifat interoperable dan dipayungi otoritas moneter. Perusahaan fintech dapat mengembangkan produk pembayaran, pinjaman, atau investasi berbasis Rupiah Digital yang langsung "terhubung" dengan cadangan bank sentral. Arus transaksi pun bisa lebih cepat dan murah, sebab jalur perantara berkurang. Ini menarik bagi konsumen yang menginginkan efisiensi waktu dan biaya. Bagi UMKM, peluang memasuki pasar digital pun makin terbuka tanpa harus terhambat birokrasi panjang.
Namun, tak bisa dipungkiri munculnya kekhawatiran perbankan terkait potensi disintermediasi. Jika masyarakat dapat langsung bertransaksi melalui dompet Rupiah Digital dari bank sentral, lalu apa fungsi bank komersial? Inilah trade-off utama yang sering disinggung para ekonom. Meskipun begitu, industri bank punya kesempatan berinovasi. Misalnya, mereka bisa berfokus pada jasa value-added seperti penyaluran kredit, asuransi, manajemen kekayaan, serta layanan keuangan bermutu tinggi yang belum tentu dapat digarap langsung oleh bank sentral. Dalam jangka panjang, hal ini bahkan dapat memacu peningkatan efisiensi dan daya saing perbankan nasional.
Lebih jauh, tantangan lain datang dari sisi teknologi. Infrastructure readiness menjadi kunci kesuksesan. BI tak hanya perlu menyiapkan protokol teknis, tetapi juga menjalin koordinasi dengan operator telekomunikasi, penyedia jasa komputasi awan (cloud), dan lembaga keamanan siber agar ekosistem Rupiah Digital tak rentan diretas. Terkait hal ini, pelajaran dari keberhasilan M-Pesa atau dari konsep mBridge dapat diadaptasi dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Merujuk pada temuan Alt et al. (2024), fintech era modern mengarah pada layanan yang ubiquitous, artinya mudah diakses kapan saja dan di mana saja dengan dukungan konektivitas internet andal. Indonesia harus menyiapkan infrastruktur digital yang solid untuk mencapai standar layanan semacam itu.
Inklusi Keuangan vs Modernisasi Ekonomi
Pada titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Rupiah Digital berpotensi menjadi katalis utama pertumbuhan di sektor fintech. Dalam jangka menengah, kolaborasi BI dengan pelaku fintech dapat menggarap pasar yang selama ini belum tersentuh layanan keuangan. Di pelosok terpencil, masyarakat biasanya tak punya rekening bank atau sulit mengakses cabang fisik. Jika rupiah digital dilepas sebagai retail CBDC yang terintegrasi dengan mobile app, maka hambatan geografis bisa teratasi. Transaksi non tunai pun merambah sampai desa, menggerakkan roda ekonomi lokal.
Seiring terbangunnya infrastruktur, peluang menciptakan digital financial services makin luas. Penyaluran bantuan sosial dapat lebih tepat guna karena data transaksi dan identitas warga tersimpan secara terstruktur di platform digital. Potensi kecurangan subsidi dapat ditekan. Dari perspektif makroekonomi, BI pun memiliki alat yang lebih presisi untuk menganalisis kebijakan moneter, lantaran pergerakan rupiah digital terekam secara real-time. Bila ekosistem fintech nasional mampu merangkul inovasi ini, target pertumbuhan 8% bukan lagi sekadar wacana ambisius.
Pada akhirnya, keberhasilan Rupiah Digital bergantung pada kemampuan sinergi lintas sektor—bank sentral, perbankan, fintech, regulator lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga penyedia infrastruktur teknologi. Seluruh pemangku kepentingan perlu membangun kerangka kebijakan dan keamanan yang kokoh. Edukasi publik menjadi hal krusial agar pemanfaatan rupiah digital tepat sasaran. Bila rute ini dapat ditempuh dengan hati-hati dan kolaboratif, maka Rupiah Digital bisa menjadi titik balik yang mempercepat modernisasi sektor keuangan Indonesia, menjawab tantangan inklusi, sekaligus menciptakan ruang inovasi lebih luas bagi pelaku fintech Tanah Air.
Iswanda Fauzan Satibi dosen, pengamat financial technology
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu