Jakarta -
Fenomena "Kabur Aja Dulu" tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Istilah ini merujuk pada tren anak muda yang memilih merantau atau pindah ke luar negeri demi mencari peluang yang lebih baik di mana kondisi di dalam negeri tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan baik secara aspek ekonomi, sosial hingga politik.
Fenomena serupa sudah lama terjadi di India dan memiliki dampak besar bagi negara tersebut. Dengan mempelajari bagaimana India menangani fenomena ini, alih-alih pemerintah merespons secara negatif, justru Indonesia dapat mengambil pelajaran dalam menghadapi tantangan serupa untuk dijadikan suatu peluang bagi kebermanfaatan negara dan rakyat.
Sejarah Panjang
India memiliki sejarah panjang migrasi, baik domestik maupun internasional. Sejak era kolonial, banyak orang India bermigrasi ke berbagai negara untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pada masa kolonial Inggris, orang India dikirim sebagai pekerja kontrak ke Malaysia, Afrika Selatan, Fiji, dan Karibia. Setelah kemerdekaan pada 1947, kaum profesional India merantau ke Inggris, Amerika Serikat, dan Timur Tengah demi peluang ekonomi yang lebih baik.
Hingga saat ini, fenomena tersebut berubah dalam istilah "Brain Drain" terjadi, di mana tenaga ahli India lebih memilih bekerja di Silicon Valley, Eropa, atau negara maju lainnya. Faktor utama yang mendorong fenomena ini adalah keterbatasan lapangan kerja, ketimpangan ekonomi, dan daya tarik kehidupan di luar negeri yang lebih menjanjikan.
Dampak Sosial yang Beragam
Migrasi besar-besaran masyarakat India memberikan dampak sosial yang beragam. Dari sisi positif, diaspora India kuat di berbagai negara, memperkenalkan budaya India ke dunia, dan mendukung ekonomi melalui remitansi. Namun, di sisi negatif, disparitas sosial di dalam negeri meningkat karena banyak daerah kehilangan tenaga kerja produktif.
Dari sisi ekonomi, remitansi dari pekerja India di luar negeri menjadi salah satu sumber devisa terbesar negara. Bank Dunia mencatat bahwa India menerima lebih dari 100 miliar dolar AS dari remitansi pada 2022. Namun, ada dilema besar; di satu sisi, peluang migrasi tenaga kerja India mendorong pertumbuhan ekonomi melalui remitansi dan transfer teknologi. Di sisi lain, tantangan kehilangan tenaga kerja terampil membuat India harus berjuang menjaga daya saing industri domestiknya.
Menjadi Isu Besar
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena "Brain Drain" di India telah menjadi isu besar selama beberapa dekade terakhir. Banyak lulusan terbaik dari universitas ternama seperti Indian Institute of Technology (IIT) dan Indian Institute of Management (IIM) memilih bekerja di luar negeri karena; pertama, gaji yang lebih tinggi --negara maju menawarkan kompensasi lebih baik dibandingkan industri domestik India. Kedua, keterbatasan peluang di dalam negeri; persaingan ketat dan kurangnya kesempatan di sektor tertentu. Ketiga, kualitas hidup yang lebih baik; fnfrastruktur, layanan kesehatan, lingkungan kerja hingga pendidikan lebih mendukung.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, India mengalami tren "Reverse Brain Drain," di mana para profesional kembali ke tanah air setelah mendapatkan pengalaman global. Ini didorong oleh; pertama, meningkatnya ekosistem start-up --kota seperti Bengaluru dan Hyderabad berkembang pesat sebagai pusat teknologi. Kedua, dukungan pemerintah; India memberikan insentif bagi profesional yang kembali. Ketiga, rasa nasionalisme, yaitu banyak diaspora India yang ingin berkontribusi bagi negara setelah bertahun-tahun di luar negeri.
Mengelola Migrasi Tenaga Kerja
India memiliki berbagai kebijakan untuk mengelola migrasi tenaga kerja guna memastikan kesejahteraan para pekerja migran serta memanfaatkan diaspora untuk pembangunan nasional. Salah satu langkah yang diterapkan adalah eMigrate System, sebuah portal online yang memfasilitasi tenaga kerja migran dan memastikan perlindungan mereka selama bekerja di luar negeri.
Selain itu, India menyelenggarakan Pravasi Bharatiya Divas (PBD), acara dua tahunan yang bertujuan mempererat hubungan dengan diaspora India sekaligus menarik investasi dari mereka. Untuk menjaga keterikatan dengan warga India yang telah menjadi warga negara asing, pemerintah menyediakan Overseas Citizenship of India (OCI), sebuah status khusus yang memungkinkan mereka tetap berkontribusi bagi tanah air.
Di sisi lain, guna membantu pekerja migran yang mengalami kesulitan di luar negeri, India memiliki Indian Community Welfare Fund (ICWF) yang memberikan berbagai bentuk bantuan. Pemerintah juga menjalin perjanjian bilateral dengan negara tujuan migrasi untuk memastikan perlindungan dan hak-hak tenaga kerja India tetap terjaga.
Selain itu, guna mengatasi tantangan "Brain Drain," India menerapkan Reverse Brain Drain Initiative, yaitu program insentif bagi diaspora yang ingin kembali ke India dan berkontribusi dalam pembangunan nasional. Dengan berbagai kebijakan ini, India berupaya mengelola migrasi tenaga kerja secara strategis agar memberikan manfaat maksimal bagi negara dan warganya.
Indonesia Dapat Belajar
Indonesia dapat belajar dari pengalaman India dalam mengelola fenomena migrasi dengan menerapkan berbagai strategi yang lebih terarah dan komprehensif. Pertama, pemerintah perlu merancang kebijakan migrasi yang strategis, yaitu dengan melihat migrasi sebagai peluang, bukan hanya tantangan. Dengan pendekatan yang tepat, migrasi dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi melalui remitansi, transfer pengetahuan, dan jaringan global.
Kedua, Indonesia harus mampu memanfaatkan diaspora untuk pembangunan nasional, sebagaimana India berhasil membangun hubungan erat dengan komunitas warganya di luar negeri. Dengan memperkuat keterlibatan diaspora, Indonesia dapat menarik investasi, memperluas jejaring internasional, dan meningkatkan citra bangsa di kancah global.
Ketiga, untuk mengurangi fenomena "Kabur Aja Dulu," pemerintah perlu meningkatkan daya saing domestik dengan menciptakan lebih banyak peluang kerja dan memperbaiki ekosistem ekonomi agar lebih kompetitif. Jika lapangan kerja di dalam negeri lebih menjanjikan, maka potensi tenaga kerja berkualitas tidak akan mudah terbuang ke luar negeri.
Terakhir, pemerintah harus memastikan kesejahteraan migran dengan memberikan perlindungan maksimal bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, termasuk jaminan hak-hak mereka melalui perjanjian bilateral dengan negara tujuan. Dengan menerapkan strategi ini, Indonesia dapat mengelola migrasi tenaga kerja secara lebih efektif dan menjadikannya sebagai aset bagi pembangunan nasional.
Fenomena "Kabur Aja Dulu" bukanlah hal yang unik bagi India. India telah mengalaminya selama ratusan tahun dan menemukan cara untuk mengelola dampaknya, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan belajar dari India, Indonesia dapat mencari strategi terbaik agar migrasi tidak hanya menjadi jalan keluar individu, tetapi juga kekuatan bagi negara.
Sudah saatnya Indonesia merancang kebijakan yang tidak hanya mencegah "kaburnya" tenaga kerja muda, tetapi juga memanfaatkan potensi mereka untuk pembangunan nasional.
Mohd. Agoes Aufiya dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang, mahasiswa doktoral di Jawaharlal Nehru University
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu