Jakarta -
Polemik mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) yang diduga dieksploitasi belum berakhir. Terbaru, diduga ada pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) terhadap mantan pemain OCI.
Kabar dugaan eksploitasi ini muncul ketika mantan para pemain OCI datang ke kantor Kementerian HAM pada Selasa (15/4). Mereka datang untuk mengadukan soal dugaan eksploitasi tersebut. Dugaan eksploitasi kemudian diusut Kementerian HAM.
Saat audiensi, mereka diterima oleh Wamen HAM Mugiyanto. Mereka mengaku mendapat kekerasan hingga dugaan perbudakan selama menjadi pemain OCI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dugaan Pelanggaran HAM
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM (Dirjen PDK HAM) Kementerian HAM Munafrizal Manan dalam konferensi pers di KemenHAM, Rabu (7/5/2025), mengatakan pihaknya menduga ada pelanggaran hukum dan HAM usai pihaknya menggali sejumlah informasi ke pelapor, terlapor, hingga sejumlah lembaga lain.
"Berdasarkan kronologis yang disampaikan oleh Pengadu dan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM pada tahun 1997, Kementerian HAM berpendapat adanya dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia dalam kasus ini," kata Munafrizal.
Pertama, yaitu ada dugaan pelanggaran terhadap hak anak untuk mengetahui asal usulnya. Ada pula dugaan pelanggaran anak terkait hak mendapat pendidikan.
Kemudian, ada dugaan kekerasan fisik yang mengarah pada penganiayaan. KemenHAM juga menduga adanya kekerasan seksual, hingga dugaan praktik perbudakan modern.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM (Dirjen PDK HAM) Kementerian HAM Munafrizal Manan (Foto: Adrial Akbar/detikcom)
"Adanya dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia berdasarkan fakta peristiwa yang disampaikan oleh Pengadu dan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM pada tahun 1997," kata Munafrizal.
Lebih lanjut, temuan dari KemenHAM, OCI menerima penyerahan anak untuk dititipkan dan dibesarkan. Namun informasi ini perlu pencarian fakta lebih lanjut terkait kebenarannya.
"Sejak tahun 1970 OCI menampung anak-anak yang berusia 2 sampai 6 tahun yang ditempatkan di beberapa rumah milik HM yang selanjutnya dilatih dan diarahkan menjadi pemain sirkus di OCI," ucapnya.
Rekomendasi KemenHAM
KemenHAM menyampaikan 4 rekomendasi terkait kasus ini. Rekomendasi yang pertama, meminta Komnas HAM menelusuri apakah ada pelanggaran HAM berat masa lalu di kasus ini.
Kedua, ada rekomendasi bagi Bareskrim Polri untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan tindak pidana dalam kasus ini. Polisi juga diminta menelusuri untuk memastikan kapan pastinya OCI berhenti beroperasi hingga melakukan ekspose perkara yang hasilnya diumumkan ke publik.
"Melakukan pemeriksaan atas adanya dugaan tindak pidana atas kasus ini dengan bertitik tolak pengungkapan pada apa yang dialami oleh mantan pemain sirkus OCI generasi-generasi akhir," ujar Munafrizal.
Selanjutnya, ada rekomendasi untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk memberikan terapi psikologis kepada eks pemain sirkus OCI. Rekomendasi terakhir yaitu, perlu adanya pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan dasar permintaan resmi dari DPR.
Namun, rekomendasi ini hanya bersifat mengikat kepada kementerian atau lembaga pemerintah. Namun tidak mengikat Komnas HAM karena lembaga tersebut bukan pemerintah.
"(KemenPPA) memfasilitasi trauma healing terhadap mantan pemain sirkus OCI sebagai bentuk pelaksanaan penanganan perlindungan hak perempuan dan perlindungan anak," tuturnya.
Kementerian HAM juga memberikan sejumlah opsi penyelesaian kasus ini. Pertama yaitu melalui pendekatan pelanggaran HAM berat masa lalu, yang perlu adanya pembuktian dari Komnas HAM terlebih dahulu.
Opsi kedua yaitu pendekatan hukum pidana hingga perdata. Namun keduanya memiliki sejumlah tantangan seperti kasus yang terjadi sudah lama.
"Kementerian Hak Asasi Manusia bersedia membersamai para Pengadu menyampaikan laporan ke Polri," sebutnya.
Kemudian, ada pendekatan penyelesaian melalui restorative justice, hingga mediasi. KemenHAM, kata dia, bersedia menjadi pihak ketiga untuk mediasi.
"Perlu ada regulasi yang mengatur tata kelola bisnis hiburan, khususnya bisnis hiburan sirkus guna mencegah terulangnya kasus semacam ini pada masa mendatang," ucapnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya
Ada 'Uang Kekeluargaan' tapi Ditolak
Pihak OCI berupaya menempuh secara kekeluargaan dengan eks pemain sirkusnya. Pihak OCI memberikan uang kekeluargaan Rp 150 juta per orang namun ditolak.
"Kami pikir sudah menawarkan yang terbaik untuk mereka sebagai tanda penyelesaian secara kemanusiaan. Kedua sebagai tanda satu keluarga besar tidak hitung-hitungan matematis karena gimana cara hitungnya. Kami kemarin sampai menawarkan Rp 150 juta untuk memberikan kepada mereka," ujar kata kuasa hukum OCI Hamdan Zoelva.
"Mengapa? Karena bagaimana pun juga mereka berjasa, terhadap keluarga, kedua mereka kami anggap sebagai keluarga. Karena itu kami ajak kemarin untuk tetap sebagai keluarga besar dari eks OCI," tambahnya.
OCI juga menjanjikan akan memfasilitasi dan memberi akses kepada eks pemain apabila ingin membuka usaha di Taman Safari.
"Kami berikan terbaik sebagai satu keluarga besar. Tapi apa? Mereka ngotot, menolak. Saya bilang silakan, kalau ada yang mau menempuh jalur hukum, kita siap karena saya yakin sekali dengan bukti-bukti yang ada, tidak ada masalah apapun. Sudah pernah ada yang lapor polisi tapi kan SP3, karena tidak ada buktinya," ucapnya.
Lebih lanjut, dia juga menyebut penolakan itu dikarenakan eks pemain OCI meminta uang dengan nilai yang lebih besar. "(Mereka minta) Rp 700 sekian juta. Saya bilang ini apa-apaan, ayo kita berhadapan secara hukum kita hitung-hitungan," tutur Hamdan.
Klaim Punya Bukti Ortu Serahkan Anak
Pihak OCI mengklaim menemukan bukti bahwa orang tua eks pemain OCI menyerahkan anak sukarela. Salah satu alasannya karena keterbatasan ekonomi.
Diketahui mantan pemain OCI, Vivi Nurhidayah pernah membuat laporan terkait penggelapan asal-usul orang. Laporan itu teregister dengan LP/60/V/1997/Satgas tertanggal 6 Juni 1997. Vivi melaporkan tentang Pasal 277 KUHP tentang Tindak Pidana Penggelapan Asal-usul Orang.
Hamdan Zoelva mengatakan, berawal dari laporan itu, Vivi sejak kecil dididik dan menjadi bagian keluarga Frans Manansang. Singkatnya Vivi sering tampil menjadi pemain sirkus, lalu menghilang pada 1996.
Hamdan Zoelva menyebut pada saat itu keluarga Manansang mencari Vivi. Kemudian Vivi ditemukan di Semarang bersama pacarnya bernama Roby. Vivi enggan diajak kembali ke keluarga Manansang dan mengaku sudah menikah dengan Roby.
"Dan tidak berapa lama keluarlah berita yang ramai. Vivi bercerita rupanya dengan Pak Muladi, anggota Komnas HAM saat itu, sekarang almarhum. Dan itulah mulai saya ikut menangani kasus ini karena tuntutannya tidak jelas asal-usul, ada penyiksaan, dan tidak dikasih sekolah dan seterusnya," jelas Hamdan.
Hamdan Zoelva mengaku bersama Komnas HAM saat itu mencari kebenaran serta melakukan verifikasi dan menemukan bukti. Bahwa, eks pemain OCI sebagian besar diserahkan orang tuanya ke OCI untuk dididik.
"Mengapa menyerahkan? Di surat keterangan para ortu minta untuk dipelihara, didik, dan dibesarkan karena mereka tidak mampu untuk membesarkan. Itu rata-rata karena semua dokumen ada. Itu hasil penyelidikan Komnas HAM. Rata-rata motif ekonomi," ucapnya.
Zoelfa mengklaim anak-anak yang didik oleh OCI diberikan pendidikan standar. Yakni bahasa indonesia, bahasa inggris, dan matematika. "Tetapi pendidikan sangat besar pendidikan keterampilan. Jadi pendidikan dilaksanakan seperti itu, tetapi setelah rekomendasi HAM ada yang disekolahkan secara formal. Seperti Debora ada ijazahnya," tutupnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini