Ironi Kebijakan Pelestarian Hutan

1 day ago 5

Jakarta -

Akhir-akhir ini terdapat pernyataan pejabat publik yang cukup kontroversi terkait dengan kelestarian hutan di Indonesia. Pertama, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menganggap bahwa lahan sawit harus diperluas. Perluasan lahan sawit dianggap bukan menjadi bagian deforestasi karena sama-sama pohon dan mampu menyerap karbon. Kedua, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengidentifikasi terdapat lahan hutan cadangan seluas 20 juta hektar untuk lahan pangan dan energi.

Pernyataan mereka menjadi cukup ironis karena mereka berada di posisi yang akan menjadi pengambil kebijakan. Kekhawatirannya, pernyataan tersebut menjadi dasar untuk menentukan kebijakan pelestarian hutan. Aspek ekonomi akan lebih difokuskan dibandingkan keberlanjutan lingkungan. Padahal, kawasan hutan di Indonesia mempunyai peran vital di tingkat regional dan dunia.

Laju Deforestasi

Hutan mempunyai fungsi penting bagi alam dan kehidupan manusia. Fungsi yang ada di hutan antara lain penyediaan sumbe rdaya, pencegahan bencana, pengendalian kualitas udara, pendukung keanekaragaman hayati. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan Indonesia mencapai 120,4 juta hektar (ha) pada 2023. Sekitar separuhnya merupakan hutan produksi dengan luas 68,8 juta ha (57,1%), sisanya berstatus hutan lindung 29,5 juta ha (24,5%), dan hutan konservasi 22,1 juta hektar (18,4%).

Masalah deforestasi merupakan salah satu isu utama lingkungan hidup di Indonesia. Hutan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit, pertambangan, permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya sehingga luasannya semakin berkurang. Data dalam Buku Deforestasi KLHK menunjukkan bahwa deforestasi netto pada 2021-2022 mencapai 104.032,5 hektar. Angka tersebut menurun dibandingkan total deforestasi netto pada 2020-2021 sebesar 120.705,8 hektar. Tingkat deforestasi tertinggi pada 2021-2022 berada di Provinsi Kalimantan Timur dan Utara yaitu 13.758 hektar.

Dampak Deforestasi

Deforestasi menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat. Pengurangan tutupan hutan dapat menimbulkan menurunnya kemampuan penyerapan air, kemampuan penghasil oksigen dan kemampuan mendukung kehidupan flora dan fauna.

Kemampuan penyerapan air yang berkurang berakibat pada keseimbangan neraca sumberdaya air. Kondisi ini dapat mengganggu siklus air, yang mana dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekeringan. Kualitas air juga menurun karena limbah atau pun zat pencemar yang masuk dalam tubuh air sudah beragam. Selain itu, penurunan fungsi penyerap air dapat meningkatkan sedimentasi dan erosi tanah.

Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor menjadi bukti dampak penggundulan hutan. Bencana alam berdampak pada kehidupan manusia berupa korban jiwa, luka dan mengungsi, serta kerugian ekonomi negara. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan kerugian akibat bencana pada 2022 mencapai 1,06 triliun.

Kondisi kualitas lingkungan hidup akan berubah seiring dengan penggundulan hutan. Kemampuan untuk penyerapan karbon akan menurun sehingga kualitas udara akan menurun. Alih fungsi hutan penyebab utama pelepasan emisi gas rumah kaca. Berbagai studi akademisi menunjukkan bahwa alih fungsi akan lebih besar menghasilkan pelepasan CO2, CH4, dan N2O yang signifikan dalam tiga dekade pertama. Dalam jangka panjang, mampu menimbulkan perubahan iklim tingkat regional bahkan dunia.

Penurunan keanekaragaman hayati juga menjadi dampak akibat deforestasi. Perubahan ekosistem akibat alih fungsi membuat sebagian flora dan fauna tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Konflik satwa dengan manusia menjadi bukti bahwa habitat satwa semakin terdesak akibat alih fungsi lahan. Konflik sosial juga akan muncul karena permasalahan persetujuan masyarakat asli, sengketa lahan dan sebagainya. Salah satu kasus adalah konflik warga asli dan perusahaan sawit di kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, yang berujung pada tewasnya salah satu warga.

Sawit Bukan Pelindung

Pernyataan sawit mempunyai fungsi yang sama dengan pohon lainnya dan tidak menyebabkan deforestasi perlu menjadi perhatian. KLHK justru tidak memasukkan tanaman sawit menjadi tanaman hutan. Bahkan dalam Permen LHK nomor 23 tahun 2021 tentang Pelaksanaan rehabilitasi Hutan dan Lahan, tanaman sawit tidak dimasukkan dalam tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Penggantian tanaman hutan menjadi tanaman sawit menyebabkan ekosistem berubah. Hal ini dikarenakan ekosistem sawit merupakan mono-cropping, yang mana jenis tanamannya seragam. Perubahan ekosistem tersebut dapat berdampak pada jenis flora fauna yang dapat bertahan. Variasi keanekaragaman hayati di ekosistem perkebunan sawit akan jauh lebih minim dibandingkan ekosistem hutan.

Kebijakan Tata Ruang

Tata ruang menjadi kunci penting bagaimana pemanfaatan ruang sesuai dengan aturan. Penyusunan tata ruang sudah mempertimbangkan aspek akademis dan politis sehingga harus ditaati. Arahan tata ruang diprediksikan masih akan mampu sesuai kondisi daya dukung dan daya tampungnya selama 20 tahun ke depan.

Kawasan untuk lindung dan budi daya sudah diarahkan lokasi masing-masing pemanfaatannya. Semua pihak harus menghormati kesepakatan arahan pemanfaatan ruang sehingga tidak terjadi pelanggaran. Jangan sampai demi kepentingan ekonomi sesaat kemudian terjadi "permainan" untuk pelanggaran pemanfaatan yang tidak sesuai arahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Monitoring, audit, dan penindakan pelanggaran penataan ruang harus ditegakkan tanpa terkecuali. Hal ini agar pihak yang akan melanggar pemanfaatan ruang mendapatkan efek jera.

Kepentingan Bersama

Kebijakan pemerintah harusnya tidak berorientasi investasi jangka pendek dan jangka menengah. Investasi perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya memang cukup tinggi. Walaupun begitu, aspek keberlanjutan lingkungan juga menjadi hal penting. Keberlanjutan lingkungan akan memastikan ketersediaan sumberdaya alam secara kuantitas dan kualitas bagi generasi yang akan datang.

Semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, harus mempunyai tujuan yang sama terkait pelestarian hutan. Hal ini agar kebijakan di semua level yang dikeluarkan dapat saling berkesinambungan demi tujuan yang sama yaitu kelestarian lingkungan hidup. Apabila, setiap pihak mempunyai kepentingan masing-masing maka hanya akan terjadi ketidakharmonisan. Ego sektoral dan ego wilayah perlu dikesampingkan demi kepentingan besar bersama. Jangan sampai anak cucu kita hanya melihat hutan dan keanekaragaman hayati hanya dari gambar dan dongeng.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gilang Adinugroho alumnus Fakultas Geografi UGM, konsultan Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Lingkungan Hidup

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial