Teheran -
Parlemen Iran membuka proses pemakzulan terhadap Menteri Keuangan negara itu. Hal itu dilakukan buntut inflasi tinggi dan mata uang yang anjlok.
Dilansir AFP, Minggu (2/3/2025), rial Iran diperdagangkan pada lebih dari 920.000 terhadap dolar AS di pasar gelap. Angka itu jeblok jika dibandingkan dengan kurang dari 600.000 pada pertengahan tahun 2024.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyampaikan pembelaannya kepada anggota parlemen atas Menteri Ekonomi dan Keuangan Abdolnaser Hemmati, yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur Bank Sentral Iran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sedang dalam perang (ekonomi) skala penuh dengan musuh," kata Pezeshkian.
Dia tetap membela Hemmati. Dia mengatakan masalah ekonomi tak bisa disalahkan ke salah satu orang saja.
"Masalah ekonomi masyarakat saat ini tidak terkait dengan satu orang dan kita tidak dapat menyalahkan semuanya pada satu orang," ujarnya.
Parlemen diperkirakan akan memberikan suara pada pemakzulan tersebut pada sore hari, dengan setiap pemecatan memerlukan dukungan mayoritas dari badan yang beranggotakan 290 orang. Banyak anggota parlemen yang bersuara lantang saat mereka bergantian mengecam menteri yang mereka yakini bertanggung jawab atas situasi ekonomi yang buruk.
"Orang tidak dapat menoleransi gelombang inflasi baru, kenaikan harga mata uang asing dan barang-barang lainnya harus dikendalikan," kata seorang anggota parlemen, Ruhollah Motefakker-Azad.
"Orang tidak mampu membeli obat-obatan dan peralatan medis," kata anggota parlemen lainnya, Fatemeh Mohammadbeigi.
Pezeshkian menjabat pada bulan Juli dengan ambisi untuk menghidupkan kembali ekonomi dan mengakhiri beberapa sanksi yang dijatuhkan Barat. Namun, depresiasi rial semakin meningkat terutama sejak jatuhnya sekutu Iran Bashar al-Assad dari Suriah pada bulan Desember.
Sehari sebelum pemerintahannya digulingkan di Damaskus, satu dolar diperdagangkan di pasar gelap Iran dengan harga sekitar 717.000 rial.
"Nilai tukar mata uang asing tidak riil, harganya disebabkan oleh ekspektasi inflasi," kata Hemmati dalam pembelaannya.
"Masalah terpenting ekonomi negara ini adalah inflasi, dan itu adalah inflasi kronis, yang telah mengganggu ekonomi kita selama bertahun-tahun," tambahnya.
Sanksi yang dipimpin AS selama puluhan tahun telah menghantam ekonomi Iran. Inflasi di Iran mencapai dua digit yang menyebabkan kenaikan harga konsumen sejak Washington menarik diri dari kesepakatan nuklir penting tahun 2015 pada tahun 2018.
Kesepakatan tersebut, yang secara resmi disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama, mengatur pelonggaran sanksi dan pengembalian investasi Barat ke Iran sebagai imbalan atas peningkatan batasan pada aktivitas nuklir negara tersebut.
Presiden AS Donald Trump, yang kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari, telah menghidupkan kembali kebijakannya tentang 'tekanan maksimum' terhadap Iran yang selanjutnya memperketat pembatasan terhadap republik Islam tersebut.
Ekonomi Iran sejak tahun 2018 telah berada di bawah tekanan dari inflasi yang tinggi, pengangguran yang serius, dan depresiasi mata uangnya, yang sangat membebani warga Iran sehari-hari. Sejak 2019, Bank Dunia menyebut inflasi di Iran telah berada di atas 30% per tahun.
Pada tahun 2023, inflasi mencapai 44%. Menurut konstitusi Iran, pemberhentian menteri akan berlaku segera dengan penunjukan pejabat sementara hingga pemerintah memilih penggantinya.
Pada bulan April 2023, anggota parlemen memilih untuk memberhentikan Menteri Industri saat itu Reza Fatemi Amin karena lonjakan harga yang terkait dengan sanksi internasional.
(haf/imk)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu