Hubungan Ekonomi Erat, tapi ASEAN Diminta Tak Lembek Hadapi China

1 week ago 19

Jakarta -

Negara-negara ASEAN dinilai penting untuk bisa meningkatkan persatuan dan menjalin kerja sama demi meningkatkan kekuatan maritim. Hal ini lantaran kawasan Asia Tenggara, tepatnya wilayah Laut China Selatan (LCS) menjadi tempat di mana kekuatan-kekuatan besar dunia saling berhadapan sehingga meningkatkan ketegangan kawasan.

Saat ini, China dinilai cukup agresif di kawasan LCS. Karena itu, upaya persatuan sangat penting bagi negara-negara ASEAN untuk bisa menghadapinya.

"Sebagian dari negara-negara ASEAN mengambil pendekatan lunak karena merasa lemah menghadapi China, atau merasa China terlalu penting, terutama secara ekonomi," tutur Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Ristian Atriandi Supriyanto, dalam keterangan tertulis, Selasa (20/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia khawatir bila terdapat anggapan di kalangan elit pemerintah negara-negara ASEAN bahwa perundingan dan pengakuan terhadap klaim China merupakan pengorbanan yang cukup kecil karena kerja sama dengan China dianggap memberi lebih banyak keuntungan.

Bagi ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, agresivitas China dalam sekitar 15 tahun terakhir ini menjadi salah satu faktor yang berkontribusi bagi terciptanya ketegangan di atas.

"Pada masa lalu, sejak zaman Deng Xiaoping hingga pemerintahan Hu Jintao, meski sudah memupuk kekuatan, China mempertahankan sikap 'low profile' dan berupaya menyembunyikan kekuatannya. Meski terjadi ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara, seperti konflik antara China dengan Vietnam tahun 1974 dan 1988, serta ketegangan dengan Filipina di tahun 1995, namun ketegangan saat itu tidak meningkat seperti saat ini," kata Johanes.

Namun, menurutnya, sejak 2012, China terlihat semakin memperlihatkan kekuatannya, dan bahkan aktif melakukan apa yang oleh para ahli disebut sebagai aktivitas zona abu-abu (greyzone), yaitu memobilisasi unsur-unsur maritim sipil dengan didukung oleh unsur Penjaga Pantai China dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat, untuk beraktivitas di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara Asia Tenggara.

Ia berujar bahwa beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia, pernah mengalami hal serupa, yaitu menjadi sasaran dari aktivitas pelanggaran hak berdaulat oleh China, yang dilakukan China dengan berdasar pada 10 garis putus-putus yang hanya dilandasi oleh apa yang China sebut sebagai 'hak sejarah,' yang sebenarnya tidak pernah disebutkan dalam hukum laut internasional, yaitu UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea).

Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian Maritim (Kapusjianmar) Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Laut (Seskoal), Laksamana Pertama (Laksma) TNI Salim, juga sepakat dengan pandangan bahwa Asia Tenggara saat ini sedang menghadapi tantangan yang muncul dari adanya rivalitas dua kekuatan besar dunia. Oleh karenanya, menurut perwira tinggi TNI AL itu negara-negara kawasan Asia Tenggara harus berupaya menghadirkan stabilitas dan kedamaian kawasan, antara lain dengan menggalakan dialog dan diplomasi maritim untuk menemukan solusi bagi sengketa-sengketa maritim regional.

"Salah satunya adalah dengan mengedepankan pemahaman mengenai UNCLOS dan kepentingan-kepentingan bersama, bukan hanya dalam konteks kawasan, tetapi juga kepentingan internasional," ujarnya.

Salim juga menekankan pentingnya penyelesaian dokumen kode prilaku (Code of Conduct) di LCS dan pembuatan aturan pencegahan tabrakan di laut di kawasan Indo-Pasifik (Indo-Pacific Prevention Collision at Sea atau IPCS).

Bagi Laksma Salim, kesatuan ASEAN merupakan salah satu kunci dalam menemukan solusi bagi tantangan yang sedang dihadapi kawasan Asia Tenggara di atas.

"ASEAN harus memperkuat kekuatan tawar (bargaining power) dalam berhadapan baik dengan China maupun Amerika Serikat, serta mengadopsi diplomasi aktif berdasarkan hukum internasional," tuturnya.

Diplomat madya Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia, Dino R Kusnadi, menyampaikan bahwa dalam konteks hubungan Indonesia China, diplomasi menjadi salah satu ujung tombak dalam membangun jembatan agar dapat terjadi proses peredaan bila terdapat ketegangan.

Dino juga menjelaskan bahwa China telah menjadi salah satu sahabat Indonesia sekaligus sumber investasi teratas bagi Indonesia. Namun menurut beliau, ini bukan berarti Indonesia telah menjadi condong atau tergantung pada China. Menurutnya, tingginya kerja sama ekonomi antara Indonesia dan China adalah fenomena saat ini saja, karena China menjadi salah satu negara yang dapat memberikan apa yang Indonesia butuhkan.

Dalam pandangan Dino, isu yang berlangsung di kawasan maritim Asia Tenggara perlu diselesaikan dengan cara ASEAN. "Ini karena ASEAN menginginkan untuk menunjukan ASEAN sebagai sentralitas, karena kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan di mana ASEAN berada," tuturnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial