Hasto Divonis 3,5 Tahun Penjara, Djarot Singgung 'Kasus Segede Gajah'

5 hours ago 1
Jakarta -

Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menyinggung ada kasus korupsi besar yang luput dari penanganan.

Sebagaimana diketahui, Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto menjatuhkan hukuman penjara kepada Hasto selama 3 tahun 6 bulan. Hakim juga menghukum Hasto membayar denda Rp 250 juta. Apabila denda tak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

"Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan," kata Hakim Rios Rahmanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hakim menyatakan Hasto bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Hakim menyatakan Hasto tak terbukti melakukan perbuatan merintangi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor.

Hakim menyatakan tak ada hal pemaaf dan pembenar dalam kasus suap. Hakim menyatakan Hasto harus dijatuhi hukuman atas perbuatannya dalam kasus suap.

Hasto Sediakan Rp 400 Juta untuk Suap PAW Harun Masiku

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto divonis hukuman penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025). Hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah memberi suap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. Hasto di persidangan vonis (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto Kristiyanto terbukti menyediakan uang Rp 400 juta untuk menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Uang suap itu digunakan untuk operasional pengurusan penetapan PAW Harun Masiku.

"Menimbang bahwa dengan demikian bahwa pernyataan terdakwa yang tidak menyerahkan dana Rp 400 juta rupiah tidak dapat diterima dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah terdakwa yang menyediakan dana tersebut untuk operasional suap kepada Wahyu Setiawan," kata hakim saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (25/7).

Dalam pertimbangannya, hakim menyebut ada bukti autentik mengenai komunikasi dana operasional Rp 400 juta yang disiapkan Hasto. Hakim menyebut dana Rp 400 juta diserahkan oleh anak buah Hasto, Kusnadi, yang bersumber dari Hasto.

"Menimbang berdasarkan analisis komprehensif terhadap bukti komunikasi yang autentik, inkonsistensi pernyataan saksi antara persidangan terdahulu dengan persidangan ini serta analisis linguistik yang memperkuat interpretasi komunikasi, majelis berkesimpulan bahwa dana Rp 400 juta yang diserahkan Kusnadi kepada Doni Tri Istiqomah pada 16 Desember 2019 berasal dari Terdakwa bukan dari Harun Masiku sebagaimana yang dipersidangkan terlebih dahulu," ujar hakim.

Minta Tangkap Harun Masiku

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto divonis hukuman penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025). Hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah memberi suap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. Foto: Ari Saputra/detikcom

Djarot menilai akan adil jika buron Harun Masiku juga ikut ditangkap bersamaan dengan hukuman yang Hasto dapatkan. Ia menilai putusan yang dijatuhi ke Sekjen PDIP ini belum fair.

"Tidak ditemukan fakta bahwa itu uang dari Sekjen, dari Mas Hasto. Kalau mau fair betul, ya tangkaplah Harun Masiku itu, jangan kemudian Mas Hasto dikorbankan. Inilah praktek dari politisasi hukum," kata Djarot di DPP PDIP, Jakarta, Minggu (27/7/2025).

Djarot mengatakan apa yang terjadi pada Hasto kental dengan nuansa politik. Meski begitu, dia tetap menghargai vonis yang telah diketok hakim.

"Ini persoalan politik, dan Pak Sekjen itu adalah menjadi tahanan politik. Karena berbeda dengan penguasa, berbeda dengan raja yang tidak mau dikritik, maka dicari-carilah kesalahannya," ujarnya.

Djarot menegaskan bahwa posisi Sekjen PDIP masih dijabat oleh Hasto. Jika nantinya ada perubahan, akan diputuskan dalam kongres nantinya.

"Kalau posisi Sekjen nanti kita tunggu di Kongres. Karena posisi Mas Hasto sekarang ini masih Sekjen PDI Perjuangan," katanya.

Djarot Singgung 'Kasus Segede Gajah'

Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat Foto: Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat (Adrial/detikcom)

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menyinggung soal kriminalisasi terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Djarot menyebutkan ada kasus korupsi besar, termasuk di Sumatera Utara dan Blok Medan, yang justru luput dari penanganan.

Hal itu dikatakan Djarot di acara diskusi untuk memperingati Kudatuli di DPP PDIP, Jakarta, Minggu (27/7). Djarot awalnya menyinggung soal praktik hukum yang dinilainya tebang pilih.

"Yang mengkritik, yang berbeda dikriminalkan, cari-cari salahnya sampai ketemu. Masukkan penjara. Kemarin terjadi kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto cari sampai ketemu masukkan penjara," kata Djarot.

Djarot mengumpamakan kasus korupsi yang besar itu sebagai gajah. Namun kasus-kasus tersebut tidak ditangani dengan optimal.

"Kasus korupsi infrastruktur di Sumatera Utara, lewat. Kasus blok apa? Banyak banget kasus-kasus yang segede gajah seperti itu, kasus korupsi segede gajah itu, lewat. Seperti kata pepatah, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, kutu di seberang pulau kelihatan," sebutnya.

Djarot menegaskan bahwa seseorang boleh menginginkan kekuasaan atau menjadi kaya, tapi tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang merugikan rakyat. Termasuk jika orang ingin kekuasaan jangan melanggar konstitusi.

"Boleh, orang itu kaya boleh, tapi jangan kaya karena korupsi. Bukan kaya karena nyolong duitnya rakyat. Jangan kaya karena mengeruk sumber-sumber daya alam dan membikin rakyat menderita dan alam lingkungan dirusak. Betul? Jangan, dong," ujar Djarot.

Menurut Djarot, praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi justru makin terang-terangan terjadi saat ini. Ia mengingatkan agar kekuasaan tidak disalahgunakan.

"Dulu waktu reformasi, dulu waktu 27 Juli, kita bersama-sama rakyat menghantam itu KKN. Betul nggak? Sekarang luar biasa. Balik lagi, nih, malah terang-terangan. Terang-terangan, nih. Nepotismenya terang-terangan. Betul nggak? Korupsi terang-terangan, kolusinya juga terang-terangan. Ini yang membuat kita harus merefleksikan diri," tegasnya.

Saksikan Live DetikPagi:

(dwr/fas)


Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial