Jakarta -
Peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember patutnya bisa menjadi lebih dari sekadar selebrasi. Data menunjukkan banyak perempuan dan ibu masa kini yang masih menghadapi tantangan besar dalam pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. Perlu direnungkan, sudah seberapa jauh kesiapan para perempuan dan ibu kita dalam menyongsong Indonesia Emas 2045?
Secara historis, Hari Ibu dicanangkan sebagai pengingat atas peran luar biasa perempuan dalam perjalanan bangsa. Sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga menuju satu abad kemerdekaan di 2045 nanti, peran perempuan dan ibu kian penting. Namun, sebelum menempuh perjalanan jauh menuju 2045, layak lah kita mengambil momen Hari Ibu 2024 ini untuk refleksi atas realitas perempuan Indonesia masa kini.
Tingkat Melek Huruf
Education is the most powerful weapon which you can use to change the world, sebuah kutipan masyhur Nelson Mandela yang menekankan pendidikan sebagai senjata manjur untuk mengubah dunia. Kabar bahagianya, angka partisipasi sekolah (APS) Nasional, salah satu indikator pendidikan, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, tantangan besar tetap ada. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung tingkat melek huruf perempuan pada 2024 adalah 95,66%, masih tertinggal dari laki-laki yang mencapai 97,69%. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan pada kemampuan paling dasar dalam pendidikan, yakni baca-tulis, belum sepenuhnya teratasi.
Kondisi ini disinyalir kerap muncul utamanya pada kelompok rentan, seperti perempuan dari wilayah terpencil, perempuan adat, dan penyandang disabilitas. Karenanya, kelompok tersebut berhak atas perhatian dan bantuan yang ekstra. Kemampuan baca-tulis harus dicapai oleh seluruh perempuan Indonesia agar mereka bisa belajar berbagai bekal penting kehidupan, seperti soal kesehatan dasar hingga cara mendidik generasi bangsa yang akan tumbuh dari rahimnya kelak.
Pernikahan Dini
Tahun 2024 ini, APS khusus perempuan usia 16-18 tahun adalah 76,41 persen. Artinya 23,59 persen sisanya (hampir seperempat) dari perempuan 16-18 tahun sedang tidak mengenyam pendidikan formal. Padahal, merujuk ke program wajib belajar 12 tahun pada RPJMN 2020-2024, dengan asumsi bahwa seseorang memulai sekolah dasar di usia 7 tahun dan tanpa adanya akselerasi, idealnya mereka masih berada di bangku pendidikan hingga usia 18 tahun.
Selain perkara ekonomi, penelitian terdahulu (misalnya Nguyen dan Wodon, 2014) menunjukkan bahwa pernikahan dini bisa secara signifikan mengurangi capaian perempuan dalam menyelesaikan sekolah. BPS menyebut lebih dari seperempat (tepatnya 25,08 persen) perempuan Indonesia usia 10 tahun ke atas melakukan perkawinan pertama (sebagai proksi pernikahan) saat masih berusia 16-18 tahun.
Padahal di usia 16-18 tahun, seyogianya perempuan masih harus belajar dan mempersiapkan masa depan, bukan justru menikah. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait perkawinan, yang menetapkan bahwa usia minimal menikah adalah 19 tahun baik bagi pria maupun wanita.
Pernikahan dini tak hanya bisa menghentikan pendidikan, tetapi juga membawa risiko besar bagi kesehatan reproduksi dan gizi. BPS mengungkapkan bahwa sebanyak 17,58 persen perempuan yang saat ini usianya 10-54 tahun dan pernah hamil, ternyata mengalami hamil pertama kali pada saat masih berusia 16-18 tahun.
Kehamilan di usia muda sejatinya bisa meningkatkan komplikasi kehamilan dan persalinan, baik bagi ibu maupun bayi. Pada ibu, dapat terjadi anemia, preeklampsia, dan perdarahan postpartum akibat kurangnya persiapan fisik dan psikologisnya dalam menjalani kehamilan di usia remaja. Akhirnya, bagi bayi pun, hal tersebut dapat menimbulkan berbagai konsekuensi mulai dari lahir prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) hingga stunting.
Pendidikan dan pengetahuan perempuan yang terbatas dapat berdampak pada buruknya kesehatan dirinya dan anaknya. Pada akhirnya, akibat kesehatan yang terganggu, mereka dapat kehilangan daya untuk berkontribusi secara ekonomi sehingga terjebak dalam kemiskinan.
Pada Maret 2024, BPS menyebut bahwa ada 9,20 persen perempuan sekaligus 11,44 persen penduduk usia 18 tahun ke bawah yang masuk dalam jurang kemiskinan. Kemiskinan ini, pada gilirannya, bisa kembali membatasi pendidikan dan kesehatan generasi berikutnya, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Lingkaran setan ini tidak hanya menjadi masalah khusus perempuan, tetapi juga menjadi persoalan bangsa. Indonesia menargetkan menjadi negara maju pada 2045 ketika bonus demografi mencapai puncaknya. Target tersebut hanya akan tercapai jika ada sumber daya manusia yang unggul. Artinya, target tak mungkin tercapai tanpa perempuan yang berpendidikan, sehat, dan berdaya, mengingat komposisi penduduk Indonesia hampir separuhnya (49,51% pada tahun 2024) adalah perempuan.
Dukungan Pemerintah
Menghadapi realitas ini, dukungan pemerintah dan para pemangku kepentingan mutlak diperlukan. Program pendidikan gratis, layanan kesehatan yang terjangkau, hingga pemberdayaan ekonomi perempuan harus diperluas. Tak hanya itu, masyarakat juga perlu mendukung dengan terus memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Perempuan jangan hanya dipandang sebagai penerima manfaat pembangunan. Sejatinya mereka adalah motor dan pilar penggerak pembangunan itu sendiri. Mulai dari mengurus rumah tangga, mendampingi tumbuh-kembang generasi bangsa, hingga bekerja, membuat kontribusi mereka dalam membangun negeri ini tidak dapat disangkal. Artinya, dengan memastikan perempuan berpendidikan, sehat, dan berdaya secara ekonomi, kita sebenarnya sedang membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan bangsa.
Peringatan Hari Ibu tak hanya menjadi saat yang baik untuk merayakan kaum ibu dan perempuan, tapi juga adalah momen tepat untuk refleksi atas realitas dan tantangan perempuan kita.
Ayunning Tieas, SST. M.Sc Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara
(mmu/mmu)