Jakarta -
Hakim Konstitusi Arsul Sani berbicara terkait legal standing atau kedudukan hukum pemohon yang mengajukan gugatan UU TNI. Arsul mengingatkan masyarakat tak ikut-ikutan mengajukan gugatan UU TNI hanya untuk populer.
Hal itu disampaikan Arsul dalam sidang panel 2 pengujian UU TNI, di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025). Arsul awalnya mengatakan setiap warga negara berhak mengajukan gugatan. Namun, kata dia, tak semua warga negara memiliki legal standing.
"Baiknya para pemohon ini supaya punya keyakinan bahwa saya ini memiliki kedudukan hukum atau kami ini memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon, sebaiknya juga dilihat putusan-putusan sebelumnya," kata Arsul Sani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arsul meminta para pemohon memperhatikan putusan-putusan MK terkait uji formil. Dia pun mencontohkan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Saat itu, kata Arsul, terdapat enam pemohon. Namun, dia mengatakan dalam putusan tersebut tak semua pemohon memiliki legal standing atau kedudukan hukum.
"Itu dipelajari juga apa kata Mahkamah terkait dengan kedudukan pemohon yang kebetulan di putusan 91, itu ada pemohon yang tidak diberi legal standing atau kedudukan hukum, ada yang diberi legal standing," ujarnya.
Diketahui, gugatan UU TNI banyak diajukan oleh mahasiswa. Arsul mengatakan setiap mahasiswa berhak mengajukan gugatan. Namun, kata dia, Mahkamah belum tentu dapat memberikan legal standing kepada para mahasiswa itu.
"Gimana kalau selama proses pembentukan itu (UU TNI), diskusi aja nggak, apalagi menulis surat pendapat atau usulan kepada DPR, demo juga nggak ke DPR, maksudnya agar didengar. (Dia) kuliah dan kemudian ngobrol-ngobrol di kantin gitu, terus setelah undang-undangnya jadi, mengajukan uji formil, apa harus juga diberikan kemudian kedudukan hukum yang mahasiswa seperti ini?" ujar Arsul.
"Berbeda kalau mahasiswa itu begitu mau ada proses, bikin diskusi, FGD, seminar, hasilnya disampaikan, kok ditutup pintu pagar DPR nya, terus demo. Nah beda dengan mahasiswa yang kuliah, abis kuliah terus ngobrol-ngobrol, yang diobrolin tentang cewek atau apa segala macem, tiba-tiba undang-undangnya disahkan, kemudian mengajukan permohonan formil, balapan lagi, kayak racing itu dulu duluan," sambungnya.
Arsul mengatakan para pemohon harus bisa meyakinkan MK jika memiliki legal standing. Hal itu, kata dia, juga harus disertai bukti-bukti yang kuat.
Menurutnya, hal itu juga berlaku kepada pemohon yang berstatus karyawan. Dia mengingatkan agar para pemohon tak ikut-ikutan mengajukan gugatan hanya untuk populer.
"Sama saja kayak pemohon karyawan. Anda harus tunjukkan concern-nya itu, pada saat RUU-nya dalam persiapan pembahasan, atau dalam proses pembahasan, anda sudah tunjukkan," jelasnya.
"Jangan juga selama ini asyik kerja, nggak pernah hadir, nggak pernah ngikutin, nggak pernah nulis artikel itu kan, bahkan sekedar nulis di medsos aja nggak, tiba-tiba ini mohon maaf ini kalau ada ya biar populer gitu ya, saya ajukan permohonan formil pengujian undang-undang," imbuh dia.
(amw/gbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini