Jakarta -
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya Titik Triwulan Tutik memberikan catatan kritis terkait Revisi Undang-undang TNI, Polri, hingga Kejaksaan. Menurutnya, RUU tersebut bukan bersifat memperkuat pengawasan tetapi justru berlomba-lomba menambah kewenangan masing-masing.
Dikutip laman resmi UIN Sunan Ampel, Sabtu (15/3/2025), Titik membeberkan pasal-pasal yang ia kritisi di masing-masing RUU tersebut. Apa saja?
RUU Kejaksaan
Terhadap RUU Kejaksaan, Titik memberikan beberapa catatan kritisnya terkait dengan kewenangan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali yang tertuang dalam pasal 30C huruf h. Titik menyebut pasal itu telah dibatalkan oleh MK yang dalam amar putusannya menyatakan, bahwa kewenangan jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertimbangan MK bahwa penambahan kewenangan jaksa mengajukan PK menimbulkan ketidakpastian hukum, dan juga melanggar hak atas pengakuan, jaminan, dan perlindungan kepastian hukum yang adil. Pasal ini seharusnya menjadi materi dalam RUU Kejaksaan yang dihapus," ujarnya.
RUU TNI
Titik mengkritisi 2 pasal dalam RUU TNI ini. Pertama, Pasal 47 ayat (2) yang mengatur bahwa Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
"Ketentuan ini membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua kementerian atau Lembaga. Hal ini sebagaimana pada masa pemberlakuan Dwi Fungsi ABRI di era Orde Baru," ujarnya.
Selain itu, Titik juga menyoroti pasal 53 ayat (1) mengatur tentang penambahan usia pensiun anggota TNI, bahwa Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 tahun bagi perwira dan paling tinggi 58 tahun bagi bintara dan tamtama. Ia mengatakan pentingnya memperhitungkan dampak perpanjangan usia pensiun itu.
"Hal ini perlu memperhitungkan dampaknya, apakah perpanjangan usia pension tersebut akan meningkatkan efektivitas kerja personel di usia lanjut termasuk juga pertimbangan dari aspek fisik, psikis, dan kapasitas," ujarnya.
RUU Polri
Titik membeberkan pasal-pasal yang dinilai memunculkan konflik kewenangan. Di antaranya:
Pertama, pasal-pasal yang cenderung adanya perluasan dan konflik kewenangan (Overlapping), seperti Pasal 14 ayat (1) huruf d, Pasal 14 ayat (1) huruf e, Pasal 14 ayat (1) huruf f, Pasal 14 ayat (1) huruf l, Pasal 14 ayat (1) huruf n, dan Pasal 14 ayat (1) huruf m.
Kedua, pasal-pasal yang membuka ruang polri melakukan tindakan apapun tanpa proses hukum antara lain Pasal 16 ayat (1) huruf q (penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber).
Ketiga, pasal-pasal yang mengancam pihak asing/luar (negeri) yang bersolidaritas terhadap kondisi demokrasi dan HAM di Indonesia, antara lain Pasal 16A huruf d (deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing).
Keempat, pasal-pasal yang memuat perluasan eksesif kewenangan intelkam dan konflik kewenangan antara lain Pasal 16B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 16A.
Kelima, pasal-pasal yang memberi peluang Polri untuk berbisnis, antara lain: Pasal 14 (1) huruf a (bisnis jasa penjagaan & pengawalan), Pasal 14 (2) huruf c (berbisnis dismart city).
Keenam, pasal-pasal yang memungkinkan menjadikan Polri sebagai lembaga superbody, antara lain Pasal 16 ayat (1) huruf n (superbody dalam penyidikan), Pasal 16 ayat (1) huruf p, Pasal 14 ayat (1) huruf h, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g (superbody investigator).
Ketujuh, pasal-pasal yang rentan penyalahgunaan kewenangan penyadapan antara lain 14 ayat (1) huruf o.
Kedelapan, pasal-pasal yang terhalangnya regenerasi dan potensial menjadikan polisi institusi politik, yaitu Pasal 30 tentang batas usia pension anggota Polri yang diperpanjang.
Titik mengatakan meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri, juga dinilainya tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian (selaku pengawasan internal) serta Komisi Kepolisian Nasional (selaku pengawasan eksternal) sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran.
"Sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi kepolisian," ujar Titik.
Secara keseluruhan, Titik mengatakan revisi ketiga RUU itu bukan hanya untuk sekadar penambahan kewenangan, tapi juga harus disertai proses pengawasan terpadu baik internal maupun eksternal.
"Karena kekuasaan atau kewenangan tanpa pengawasan akan melahirkan kesewenang-wenangan," ujarnya.
Lihat juga Video Komisi I DPR Gelar Rapat Tertutup di Hotel Fairmont Bahas RUU TNI
(eva/idh)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu