Jakarta -
Saya sering mendengar kisah sesepuh yang terbiasa hidup dengan penuh perjuangan. Meski saya juga tidak tahu, cerita itu memang benar terjadi atau hanya kisah biasa yang dilebih-lebihkan. Tentang bagaimana mereka harus menempuh jarak jauh untuk menimba air, mengisi kamar mandi pondok, atau berkelana ke beberapa wilayah dengan fasilitas yang serba terbatas.
Bahkan kakek buyut saya pun pernah berkisah bahwa dulu dia sering jalan kaki ketika mau balik pondok, dari kampung halaman saya, Sumenep menuju Kamal, Bangkalan. Kira-kira jauhnya mencapai 150 kilometer. Saya tak berani menyangkal, selain karena akses kendaraan yang terbatas pada masa itu, ditambah kemiskinan yang membuatnya harus punya effort lebih untuk mencari ilmu.
Tapi, sehebat-hebatnya kisah orang dulu, saya tak pernah mendengar cerita-cerita tentang sesepuh jalan kaki ke luar negara, termasuk Mekah. Yang saya dengar hanyalah tentang kisah perjalanan ke Mekah pada masa lampau (sekitar abad 15 Masehi) menggunakan jalur laut. Pada akhir abad ke-15, orang Melayu di Nusantara telah melakukan perjalanan jalur laut menuju Mekah. Jalur Maritim Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah telah dikenal pada masa itu sebagai rute menuju tanah suci. Itu pun ditempuh berbulan-bulan lamanya.
Hingga konon, pada 1858, jamaah dari Jakarta (dulu dikenal sebagai Batavia) melakukan perjalanan ke Jedah dengan kapal uap. Namun, tetap saja, mereka mengalami tantangan yang besar, seperti cuaca buruk, kondisi kesehatan, atau bekal yang tidak cukup. Maka, agak kaget ketika saya melihat fenomena tak lazim akhir-akhir ini. Banyak orang dari Indonesia berbondong-bondong ke Mekah dengan menggunakan sepeda ontel hingga dengan cara yang lebih nekat, jalan kaki.
Ternyata kesan dramatis yang selalu saya dengar dari kisah-kisah orang terdahulu, tentang perjuangan mereka atau tentang orang Melayu dan Batavia menuju Mekah, kalah dengan fenomena yang terjadi belakangan tersebut. Mereka berani jalan kaki, tanpa bekal yang memadai pula.
Salah Tafsir Agama
Satu hal yang tak dipahami oleh mereka bahwa beragama bukan tentang menunaikan lima rukun Islam. Ada prasyarat di setiap rukun. Agama pun mengatur itu demi kebaikan umat. Orang bisa salat ketika berada dalam keadaan normal atau punya kondisi fisik yang kuat. Kalau ada udzur, ada dispensai hukum. Puasa juga untuk yang punya kemampuan, tak diperkenankan bagi mereka yang sakit-sakitan, atau bahkan bisa menjadi haram dalam keadaan tertentu. Zakat diwajibkan bagi harta yang sudah mencapai syarat tertentu, misal mencapai satu nisab. Kewajiban zakat bisa saja gugur sebab ada prasyarat yang tak dilaksanakan.
Begitu juga haji, wajib dilaksanakan bagi yang mampu. Mampu di sini (dalam konteks fikih) merujuk kepada setidaknya empat aspek; finansial, fisik, keamanan, dan administratif. Sebagaimana salah satu hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, mampu adalah punya bekal dan kendaraan.
Fenomena berangkat ke Mekah dengan cara ekstrem bukan hanya tidak memperhatikan empat aspek tersebut, namun juga abai terhadap keselamatan diri sendiri. Mereka membawa bekal seadanya bahkan memungut pemberian orang di jalan, pun tanpa kendaraan yang memadai.
Melakukan ibadah haji adalah kebaikan, namun mengancam keselamatan (dengan tidak mengindahkan administrasi dan kondisi diri sendiri) adalah sesuatu yang buruk. Padahal, dalam kaidah fikih jelas, menolak keburukan lebih baik daripada melakukan kebaikan. Jika ada mafsadah yang lebih besar mengintai, maka pilihan naik haji dilarang. Apalagi, dalam rukun Islam, naik haji adalah prioritas terakhir.
Memang, ada yang berhasil sampai ke Tanah Suci dengan bersepeda. Seperti yang dialami oleh Habibi Noor Mohammad, pria asal Malang yang tiba di Mekah setelah 83 hari melakukan perjalanan. Namun, yang perlu diketahui, Habibi bukanlah pesepeda biasa; ia adalah seorang penggemar olahraga ekstrem yang telah berpartisipasi dalam beberapa event ultra cycling di Indonesia.
Dalam perjalanannya pun tak sepenuhnya ia tempuh dengan bersepeda; ia menaiki pesawat ketika melewati Myanmar dan beberapa wilayah Timur Tengah karena alasan keamanan (konflik). Beberapa masalah pun diakuinya ketika di perjalanan, seperti cuaca ekstrem dan kondisi fisik. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak punya fisik kuat dan belum terbiasa?
Bagi saya, ada kecelakaan interpretasi yang sedang dialami oleh orang-orang. Dan, ini perlu dipahami demi kebaikan mereka sendiri.
Atensi Publik
Fenomena tak lazim ini juga didukung oleh atensi publik yang turut membiarkan hal berbahaya tersebut berkedok dukungan dan perhatian. Meski banyak yang mengecam, namun tak sedikit yang memberikan uang bekal dan 'nyawer' di live Tiktok.
Konten-konten dan live Tiktok menuju Mekah sekarang tak sedikit --untuk tidak mengatakan tumpah ruah. Setiap hari beranda medsos dihinggapi posting-an serupa. Bahkan mereka mendapat glorifikasi sosial, perhatian, mendapatkan gift, atau bekal uang di tengah perjalanan.
Perjalanan mereka pun selalu dilengkapi selebaran tulisan bertuliskan 'Goes to Makkah'. Sehingga orang-orang tahu dan akhirnya berempati. Ada yang tidak disadari publik di sini. Mereka menaruh empati tanpa melihat konsekuensi yang lebih besar.
Pada akhirnya bagaimana? Atensi ini turut melahirkan Fear of Missing Out (FOMO), lalu menjadi tren baru di kalangan masyarakat, terlebih di dunia konten. Agak mirip dengan konten mandi lumpur yang sempat viral beberapa waktu lalu. Modusnya sama, mengonversi empati publik menjadi keuntungan pribadi.
Pada akhirnya, fenomena jalan kaki atau bersepeda ke Mekah menjadi hal yang tabu dan justru melunturkan nuansa agamis yang sampai sekarang dipercaya oleh orang-orang. Agama tidak seekstrem itu, maka lakukanlah semampu yang kita bisa, tanpa memaksa apalagi membahayakan diri sendiri.
Jadi, fenomena perjalanan ke Mekah dengan berjalan kaki atau bersepeda, mencerminkan adanya kesalahpahaman dalam memahami ajaran agama dan konsep "kemampuan" dalam ibadah haji. Meskipun terlihat sebagai bentuk ketulusan spiritual, perjalanan ini sering mengabaikan aspek keselamatan, kesiapan finansial, dan administrasi yang menjadi syarat utama haji.
Di sisi lain, tren ini semakin diperparah oleh glorifikasi di media sosial, di mana publik tidak hanya memberikan perhatian tetapi juga dukungan finansial, yang pada akhirnya dapat mendorong lebih banyak orang untuk mengikuti jejak serupa. Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana Fear of Missing Out (FoMO) dan mekanisme algoritma media sosial dapat mempengaruhi keputusan individu, terkadang tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Aqil Husein Almanuri Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Nasy'atul Mutallimin
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu