Diskusi di Riau, Rocky Gerung Cerita soal Pohon 'Datang' ke Pengadilan

2 weeks ago 16

Kampar -

Filsuf Rocky Gerung menjadi pembicara dalam diskusi publik terkait permasalahan perusakan lingkungan yang terjadi Provinsi Riau. Rocky Gerung (RG) mengatakan bahwa sama halnya dengan manusia sebagai subjek hukum yang berhak untuk menuntut hak hukumnya.

Hal ini ia sampaikan ketika menjadi pembicara dalam diskusi soal lingkungan di Pulau Tongah, Tanjung Belit, Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, pada Kamis (19/6/2025). Diskusi ini digelar dalam rangkaian 'Bakti Religi dan Peduli Lingkungan' yang digelar oleh Polda Riau, dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Bhayangkara ke-79.

Diskusi yang dihadiri oleh Gubernur Riau Abdul Wahid, Wakapolda Riau Brigjen Jossy Kusumo yang mewakili Kapolda Riau, sejumlah bupati di Provinsi Riau, akademisi, pemerhati lingkungan, gerakan pramuka hingga masyarakat setempat. Diskusi ini juga menghadirkan Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagai pembicara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memulai diskusinya itu, RG bercerita tentang profesor di Arizona yang berdiri untuk membela hak-hak pohon pada tahun 1970. Profesor yang dimaksud adalah Christoper D Stone yang menjadi pengacara membela hak sebatang pohon sebagai bentuk penolakan penebangan hutan di Arizona kala itu.

"Kita ingat ada suatu peristiwa di tahun 70, ketika seorang profesor hukum di Arizona, diminta oleh sebatang pohon untuk menjadi lawyer dia di Arizona. Peristiwanya ada sebuah lokasi di hutan Arizona yang hendak dibabat oleh investor, untuk dijadikan taman rekreasi, lalu ribut karena menganggap bahwa pohon, batu itu adalah benda alam yang tidak mampu bersuara oleh karena itu dia akan ditebang untuk jadi tempat rekreasi," kata Rocky Gerung.

Hal ini kemudian menimbulkan perdebatan panjang, karena dalam paradigma antroposentrik, pohon hanyalah sebuah tumbuhan yang tidak bisa berbicara maupun berjalan ke pengadilan.

"Di antara debat panjang boleh nggak tempat itu dibuat untuk rekreasi, datang seorang profesor hukum "tidak boleh karena pohon berhak untuk protes", lalu timbul problem, untuk protes pohon itu harus datang before the law, artinya pohon itu harus berjalan seperti manusia datang di depan pengadilan lalu ajukan protes, pohon tidak bisa lakukan itu," katanya.

Untuk menggugat hak-hak pohon tersebut di depan pengadilan, maka Christopher membuat esai dengan tajuk 'Should Trees have standing?' yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah 'Apakah pohon bisa membela hak-haknya?'.

UAS dan Rocky Gerung mengisi diskusi Bakti Religi dan Peduli Lingkungan Polda Riau dalam rangka HUT Bhayangkara ke-79.UAS dan Rocky Gerung mengisi diskusi Bakti Religi dan Peduli Lingkungan Polda Riau dalam rangka HUT Bhayangkara ke-79. (Mei Amelia Rachmat/detikcom)

"Bunyi paper itu seingat saya 'Should Trees Have Standing?' kira-kira apakah pohon punya hak untuk berdiri di depan pengadilan untuk mempertahankan eksistensinya? ribut. pada waktu itu belum ada hukum lingkungan, kita belum mengenal subjek lingkungan, subjek hukum waktu itu hanya manusia antroposentris, belum batu belum pohon, tetapi sang profesor mengerti bahwa dia dipanggil alam semesta untuk menyelamatkan pohon itu supaya tidak ditebang, maka akal pikiran dia muncul, dia bikin persamaan dengan anak lumpuh yang tidak bisa berbicara tapi dia berhak untuk dapat warisan bapak ibunya, seorang cacat yang tidak bisa berdebat dengan oligarki lawyer-lawyer di pengadilan, tapi dia berhak untuk mempertahankan warisan adabnya demi tuah dan marwah," paparnya.

Esai Christopher D Stone ini kemudian membuat pikiran seluruh dunia terbuka bahwa sesuatu yang tidak punya kemampuan berbicara harus dibantu oleh mereka yang punya kemampuan berbicara.

"Jadi sama seperti seorang anak atau seorang kawan keluarga yang cacat yang tidak mungkin mendalilkan pikirannya dia dibantu oleh LBH, atau Walhi, dibantu oleh polda untuk mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin dia ucapkan karena cacat fisik atau cacat ineteleknya," katanya.

Tulisan dari Christopher D Stone itu kemudian membuahkan teori legal standing untuk membela hak-hak lingkungan melalui masyarakat adat yang kemudian berkembang menjadi organisasi lingkungan hidup dan LSM.

"Nah saudara sekitar tahun 1970, akhirnya pohon itu diberi hak untuk mempertahankan diri melalui masyarakat adat yang melindungi atau yang menghidupi pohon itu. Itulah dimulai teori legal standing dari pohon," imbuhnya.

"Sekarang sudah biasa di dalam ilmu lingkungan, filsafat tentang lingkungan, hak pohon untuk tetap hijau, hak batu untuk tetap bulat. Hak bukit untuk hijau, itu yang membuat ilmu lingkungan itu mengerti bahwa subjek lingkungan itu bukan cuma orang, bahkan cacing, gajah, rumput, punya legal standing," ia memungkaskan.

(mei/dhn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial