Dinamika Kembalinya Peran Militer dalam Urusan Sipil

4 hours ago 2

Jakarta -

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara militer dan politik telah mengalami dinamika yang signifikan. Salah satu babak yang paling menonjol adalah Dwifungsi ABRI, sebuah doktrin yang mengukuhkan peran ganda militer tidak hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga sebagai aktor politik dan pemerintahan. Konsep ini berkembang sejak era Orde Baru, di mana ABRI yang kala itu mencakup TNI dan Polri memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di berbagai lembaga negara, termasuk pemerintahan sipil, legislatif, hingga perusahaan milik negara. Akibatnya, militer tidak hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan, tetapi juga terlibat dalam perumusan kebijakan nasional.

Reformasi 1998 menjadi titik balik bagi dominasi militer dalam politik. Salah satu agenda utamanya adalah penghapusan Dwifungsi ABRI, yang secara resmi diakhiri melalui serangkaian perubahan regulasi, termasuk UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tren yang mengarah pada kembalinya peran TNI dalam sektor-sektor sipil mulai tampak kembali. Sejumlah kasus terbaru menunjukkan bahwa perwira militer masih menduduki posisi strategis di institusi pemerintahan dan badan usaha milik negara (BUMN) yang seharusnya diisi oleh kalangan sipil.

Per 2025, tercatat beberapa perwira TNI aktif yang ditempatkan dalam jabatan sipil, seperti Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya yang diangkat sebagai Direktur Utama Perum Bulog pada Februari 2025, Mayor Jenderal TNI Maryono sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan sejak Desember 2024, serta Mayor Inf Teddy Indra Wijaya yang ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet pada Oktober 2024. Selain itu, terdapat pula Mayor Jenderal TNI Irham Waroihan yang menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian sejak Desember 2024, serta Laksamana Pertama TNI Ian Heriyawan yang ditempatkan di Badan Penyelenggara Haji pada Desember 2024.

Tidak hanya itu, keterlibatan TNI dalam program-program sipil semakin meluas, bahkan di sektor yang tidak berkaitan langsung dengan tugas pertahanan negara. Salah satu contoh terbarunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pada Januari 2025, di mana TNI aktif terlibat dalam distribusi dan pelaksanaan program di berbagai daerah melalui Kodim, Lantamal, dan Lanud. Fenomena ini tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap semakin kaburnya batas antara militer dengan sipil.

Ketentuan Keterlibatan Militer dalam Urusan Sipil

Ketentuan mengenai keterlibatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil diatur secara tegas dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer.

Namun, terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2), yang memperbolehkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di 10 instansi tertentu, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Sekretariat Negara; Badan Intelijen Negara (BIN); Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN); Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas); Dewan Pertahanan Nasional; Mahkamah Agung; Dewan Keamanan Nasional; serta instansi lain yang terkait dengan pertahanan yang ditetapkan oleh Presiden.

Jika merujuk pada daftar pengecualian dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI, jabatan-jabatan yang saat ini diduduki oleh perwira TNI aktif seperti yang disebutkan di atas, sama sekali tidak termasuk dalam instansi yang diperbolehkan bagi prajurit aktif. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap aturan hukum yang berlaku.

Selain tugas pokoknya dalam Operasi Militer untuk Perang (OMP), TNI juga dapat menjalankan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Dalam ketentuan tersebut, terdapat 14 tugas OMSP, antara lain mengatasi gerakan separatisme bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, membantu tugas kepolisian dalam menjaga keamanan, serta membantu penanggulangan bencana.

OMSP ini pun harus didasarkan pada situasi darurat, yaitu ketika pihak sipil tidak lagi mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Pertanyaannya, apakah program-program sipil yang selama ini melibatkan militer benar-benar merupakan kondisi "darurat" yang membuat pihak sipil tidak mampu mengakomodasi? Jika tidak, maka keterlibatan TNI dalam sektor-sektor sipil patut dipertanyakan, terutama jika tidak sesuai dengan batasan yang telah diatur dalam perundang-undangan. Batasan perbantuan militer terhadap sipil pun sebenarnya masih "kabur."

Urgensi Penguatan Supremasi Sipil

Supremasi sipil adalah prinsip fundamental dalam demokrasi yang menempatkan sipil sebagai pengendali utama dalam pemerintahan. Hal ini tidak berarti meniadakan peran militer dalam kehidupan bernegara, tetapi lebih kepada penegasan bahwa militer harus tunduk pada kepemimpinan sipil. Dominasi militer dalam sektor sipil berpotensi menimbulkan sejumlah dampak negatif, salah satunya adalah terkikisnya prinsip supremasi sipil yang menjadi landasan utama dalam negara demokrasi.

Keterlibatan TNI dalam pemerintahan sipil, terutama dalam jabatan-jabatan strategis, berisiko menghidupkan kembali pola kekuasaan otoriter seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Bahkan, KontraS (2020) mencatat 157 kasus pelanggaran kebebasan sipil dari Oktober 2019 hingga September 2020, termasuk serangan terhadap hak berserikat (4 kasus), hak berkumpul (93 kasus), dan hak berekspresi (60 kasus), yang semakin mempersempit ruang sipil di Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa perluasan kewenangan ABRI berkontribusi pada meningkatnya serangan dan pembatasan terhadap hak-hak sipil.

Maka dari itu, penguatan supremasi sipil menjadi hal yang mendesak. Salah satu langkah utama yang perlu dilakukan adalah memperjelas batasan peran militer dalam mendukung urusan sipil melalui regulasi yang tegas. Selain itu, peran lembaga-lembaga pengawas juga harus diperkuat guna mengawasi praktik-praktik yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer dalam pemerintahan sipil.

Keterlibatan militer dalam urusan sipil berisiko menggerus demokrasi dan menghidupkan kembali pola otoritarianisme. Dominasi militer dalam birokrasi tidak hanya berisiko menekan ruang kebebasan sipil, tetapi juga dapat menghambat mekanisme checks and balances yang esensial dalam sistem pemerintahan demokratis. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya mengaburkan batas sipil-militer, tetapi juga membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam supremasi sipil dan hak-hak demokratis masyarakat.

Marsha Odelia mahasiswa Fakultas Hukum dan peneliti di Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial