Jakarta -
Dalam beberapa hari ini, dunia maya dan dunia nyata penuh dengan isu korupsi petinggi Pertamina, yang dituduh melakukan oplosan atau blending BBM, khususnya jenis Pertalite 90 (bersubsidi) dengan Pertamax 92 non subsidi yang diduga merugikan negara ratusan triliun rupiah (Rp 193,7 triliun), seperti yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung. Sehingga Kejagung harus menahan, sampai hari ini ada 9 orang pejabat perusahaan sub holding dan anak perusahaan Pertamina. Saat ini Kejagung Agung masih terus memeriksa beberapa pejabat Pertamina yang terkait.
Oplosan merupakan Bahasa Jawa yang artinya mencampur dan tidak berkonotasi negatif. Sayangnya Kejagung menggunakan istilah oplos ini dengan konotasi negatif. Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam produksinya memang harus melalui proses oplosan berkali-kali, mulai dari penggunaan nafta di-blending dengan senyawa Mehil Tersier Butir Etil (MTBE) dan beberapa zat aditif lainnya hingga menjadi BBM bensin yang dijual di publik dengan berbagai jenis, seperti Pertalite 90 (BBM bersubsidi), Pertamax 92, Pertamax 95 dan Pertamax 98 (Turbo). Jadi proses oplosan atau blending tidak bersifat negatif karena memang harus dilakukan secara scientific.
Patut diduga pihak Kejagung kurang paham dengan istilah oplos, sehingga pernyataan Kejagung membuat publik panik dan melakukan berbagai komentar dan aksi yang kurang pas dan pada akhirnya merugikan Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) Indonesia. Sebenarnya yang terjadi, kemungkinan ada korupsi di proses pengadaan dan distribusi BBM dan/atau crude (minyak mentah) impor yang memang sudah sejak puluhan tahun dikorupsi tanpa ada tindakan hukum bagi pelakunya karena patut diduga hasil korupsinya banyak dinikmati oleh para pengambil keputusan dan politisi yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulisan ini bukan untuk membahas masalah korupsinya karena itu tugas Kejagung. Saya akan mencoba memberikan penjelasan supaya publik tidak sesat dan menganggap bahwa produk Pertamax RON 92 Pertamina buruk karena dioplos dengan Pertalite, lalu konsumen memboikot tidak membeli. Apalagi dikaitkan dengan kerusakan puluhan kendaraan di Jabodetabek beberapa bulan lalu, sebagai akibat buruknya kualitas BBM Pertamax 90 di SPBU.
Kalau itu, harus dicari tahu apa yang dilakukan oleh SPBU-nya dengan menelusuri asal usul awal Pertamax 92, mulai dari kilang BBM hingga transporter dan SPBU-nya lalu bandingkan produk yang sama dengan yang dikirim ke SPBU lain. Dalam kasus ini murni kasus korupsi, bukan kasus kualitas.
Tragedi impor BBM dan Crude
Saat Menteri ESDM dijabat Sudirman Said (2014) pada era Presiden Jokowi jilid pertama, dibentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau Tim Pemberantasan Mafia Migas yang dipimpin oleh (alm.) Faisal Basri. Masalah tata kelola ini sudah hangat dibicarakan hingga membubarkan anak perusahaan Pertamina (Petral) yang sangat digdaya dalam pengadaan impor BBM dan crude yang berkantor di Singapura. Tetapi sayang, hanya sampai batas dibubarkan Petral tanpa ada pencidukan para pentolannya yang sampai hari ini masih bebas berkeliaran di tingkat pengambil keputusan negara ini.
Saat ini kebutuhan BBM di Indonesia sekitar 1,5 juta barel per hari (disarikan dari beberapa sumber). Indonesia resmi menjadi pengimpor BBM mulai 2004. Sementara produksi BBM dalam negeri antara 2003 - 2023 rata-rata produksi BBM 750 ribu barel per hari. Gap terlalu besar, sehingga ada defisit sebesar kira-kira 750 ribu barel per hari yang harus dipenuhi melalui impor. Jadi selain kita impor produk BBM, juga mengimpor crude yang akan diolah di kilang milik Pertamina.
Masalahnya tidak semua produksi minyak di kilang dalam negeri itu milik pemerintah. Dikutip dari paper M. Kholid Syeirazi, selama 2002 - 2023, jatah pemerintah (government entitlement) dari produksi rata-rata hanya 51,1%. Sisanya milik kontraktor, termasuk Pertamina. Pada 2023 dari 605 ribu barel per hari (bph), 265 ribu bph produksi Pertamina langsung dikirim dan diolah di kilang Pertamina.
Sedangkan untuk kontraktor lain dikenakan peraturan Domestic Market Obligation (DMO) sesuai dengan Pasal 2 angka 18 PP Nomor 53 Tahun 2017 dan PMK Nomor 118/PMK.02/2019. Kedua peraturan ini dimaksudkan untuk mengatur kewajiban penyerahan minyak dan/atau gas bumi (25%) oleh kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO). Sisanya terserah kontraktor, boleh di ekspor atau dibeli oleh Pertamina sesuai dengan harga pasar.
Untuk lebih mengawasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri, muncullah Permen ESDM No. 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Namun, meskipun produksi kontraktor BBM dalam negeri diambil Pertamina, kebutuhan BBM domestik masih defisit. Artinya Indonesia tetap harus impor dan di sinilah korupsi itu patut diduga terjadi karena sistem pengawasannya lemah, misalnya lelang BBM tidak melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP) dan penggunaan Internet of Things (IoT) atau cara-cara kreatif lain, seperti yang disampaikan Ahok di sebuah podcast yang beredar luas.
Impor minyak mentah atau crude oil ditangani oleh PT Kilang Pertamina International (KPI), sebuah sub holding Pertamina. Sedangkan impor BBM (produk kilang BBM) di tangani oleh sub holding Pertamina lain yang bernama PT Pertamina Patra Niaga (PPN). PT KPI mengolah bahan baku minyak menjadi berbagai produk kilang, seperti BBM, LPG, naftapropilene, propane, etane, dan berbagai produk petrokimia lainnya. Nah, semua senyawa hidrokarbon tersebut diproses dengan menggunakan tambahan beberapa aditif dan menghasilkan berbagai jenis produk kilang BBM dengan spesifikasi tertentu. Inilah yang namanya blending atau oplos dan proses ini legal karena ada standar dan peraturannya.
Dari beberapa pernyataan Kejagung yang saya kumpulan dari berbagai media, muncul pertanyaan saya mengapa PT PPN melakukan blending atau oplos --seharusnya PT kan hanya membayar tagihan impor produk jadi dan tinggal memasarkan ke publik melalui SPBU? Ini memang ada keanehan dan dapat saja menjadi sumber korupsi.
Kemungkinan lain, misalnya yang diimpor oleh PT PPN adalah BBM dengan RON 90 bukan RON 92 lalu di-blending dengan berbagai bahan kimia atau octane booster lalu jadilah RON 92 dan sesuai peraturan yang berlaku, hasilnya dikalibrasi oleh Lemigas.
Blending dilakukan di Terminal BBM Pertamina yang berada di Semarang atau Tanjung Uban atau Jakarta. Memang perlu ada penyelidikan khusus, karena patut diduga ada oknum di PT PPN dan PT KPI yang mengimpor BBM RON 90, tetapi dengan harga RON 92. Mereka berkomplot memutuskan volume impor, misalnya dengan menolak untuk menyerap produk kontraktor dalam negeri. Ini yang harus dibuktikan oleh Kejagung, bukan masalah oplosan atau blending-nya yang sudah sesuai dengan tata kelola.
Banyak pihak juga bingung, dari data yang kami kumpulkan, minyak hasil kilang domestik kita juga diekspor padahal kita kan net importer BBM. Bagaimana mungkin kita di dalam negeri membutuhkan BBM tetapi di luar DMO diekspor? Kemungkinannya produk BBM kilang kita kualitasnya prima, jadi diekspor saja karena harganya tinggi, lalu mengimpor produk karena harga lebih murah sehingga ada selisih keuntungan bagi kontraktor termasuk Pertamina. Persoalan ini juga harus disidik Kejagung, apa betul seperti itu dan terjadi korupsi karena kan seharusnya impor pasti lebih mahal karena ada pengenaan berbagai pajak atau bea masuk. Belum lagi cengkeraman mafia migas yang tidak tersentuh hukum. Ini yang perlu dilakukan penyidikan oleh Kejagung.
Langkah pemerintah
Lakukan penyidikan lanjut di proses produksi kilang, tata niaga impor dan ekspor, serta distribusi. Bukan masalah oplosannya karena oplos yang dimaksud Kejagung adalah blending dan itu sah. Data dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas sudah jelas, siapa saja pelaku atau mafia migasnya. Kejar dan hukum berat kalau terbukti dan/atau kelompoknya bersalah karena sudah merugikan negara lebih dari 12 digit.
Untuk pengawasan gunakan IoT dan untuk subsidi harus langsung. Artinya produk yang dijual tanpa subsidi, harga sama tetapi subsidinya menggunakan cash back kan data yang digunakan (MyPertamina) sudah menggunakan dasar NIK. Pembayaran cash back bisa diberikan langsung masuk ke akun konsumen yang berhak. Lalu Kejagung jangan lagi menggunakan tuduhan melalui penggunaan kata oplosan.
Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu