Jakarta -
Langkah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melarang produksi dan distribusi air kemasan dengan volume di bawah 1 liter masih menuai pro dan kontra. Sejumlah pakar dan praktisi menyebut kebijakan pembatasan yang tertuang melalui Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih tersebut tidak menyelesaikan masalah sampah. Hal ini mengingat komponen sampah di Bali tidak hanya berasal dari kemasan air.
Koordinator organisasi lingkungan, Nol Sampah, Wawan Some menyayangkan SE tersebut hanya bersifat parsial karena hanya melarang peredaran plastik air kemasan. Padahal, menurutnya jenis plastik yang banyak beredar dan benar-benar menjadi limbah adalah sachet bukan kemasan air minum.
"Jadi kalau alasan (penerbitan SE) karena sampah plastik banyak tidak tepat, padahal sebenarnya beberapa survei yang dilakukan paling banyak itu sachet yang ukurannya kecil," kata Wawan Some dalam keterangan tertulis, Kamis (24/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wawan menjelaskan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK mencatat timbulan sampah di Bali pada tahun 2024 mencapai 1,2 juta ton. Komposisinya sampah organik seperti sisa makanan dan ranting kayu sebesar 68,82 persen, sedangkan limbah anorganik semisal plastik dan kertas sebanyak 28,01 persen. Limbah plastik menyumbang 13,64 persen dari komposisi sampah anorganik.
Sedangkan, menurut data organisasi lingkungan, Sungai Watch, terkait sampah di Bali dan Banyuwangi, limbah air kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Masih lebih banyak kemasan sachet (5,5 persen), kantong plastik (15,2 persen) dan plastik bening (16,2 persen). Kecuali kemasan sachet, semua jenis sampah plastik ini masih memiliki nilai ekonomis karena bisa di daur ulang.
Merujuk pada data tersebut, Wayan menyebut seharusnya Pemprov Bali tidak melarang produksi dan peredaran air kemasan di bawah 1 liter. Dia menilai botol air kemasan justru merupakan limbah dengan tingkat daur ulang yang tinggi karena memiliki nilai ekonomi dan berukuran besar sehingga mudah dikumpulkan.
Dia melanjutkan setiap botol air kemasan juga memiliki nilai masing-masing mulai dari tutup dan kemasan karena memiliki jenis plastik plastik yang berbeda. Berbeda dengan kemasan sachet yang memerlukan proses sehingga membutuhkan biaya tambahan, akibatnya tidak dilirik oleh para pemulung.
Keberadaan SE tersebut juga dinilainya akan merugikan masyarakat luas, terlebih yang bergantung pada komoditas sampah air kemasan seperti pemulung. Wawan mengatakan pelarangan produksi dan distribusi itu berpotensi merugikan perekonomian mereka.
"Pemulung di TPA ini butuh pekerjaan dan hidup dari situ, mereka nggak pernah juga minta ke pemerintah. Jadi seharusnya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan," katanya.
Senada, Koordinator Program Sensus Sampah Plastik, Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN), Muhammad Kholid Basyaiban mempertanyakan SE nomor 9 tahun 2025 yang sama sekali tidak melarang produksi dan distribusi kemasan sachet. Dia mengungkapkan data sensus yang dilakukan BRUIN juga mendapati bungkus sachet sebagai sampah yang paling sering terjaring operasi. Sachet, kata dia, mendominasi total 25.733 sampah plastik yang dikumpulkan oleh lembaga pemerhati lingkungan tersebut.
Dia pun mengaku heran pelarangan malah menyasar kemasan air yang sudah jelas memiliki ekonomi dan mudah didaur ulang. Kholid mengatakan barang buangan sachet merupakan kategori limbah beresidu yang sangat sulit didaur ulang.
Dia membeberkan berdasarkan temuan brand audit BRUIN pada April 2024 lalu, sampah dari kemasan sachet di Bali sangat dominan di samping limbah unbranded seperti kantong kresek dan styrofoam.
"Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu," tegas Kholid.
Meskipun mendukung SE pemerintah Bali untuk mengurangi limbah plastik sekali pakai, namun dia menyayangkan langkah penanganan sampah yang diambil Gubernur Bali Wayan Koster. Dia mengaku kecewa dengan Pemprov Bali yang tidak mengikutsertakan pelarangan distribusi produk sachet di Bali.
"Justru sampah sachet yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak bisa didaur ulang sama sekali tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produknya di Bali," katanya.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini