Benarkah Kebijakan Trump Paksa Sekutu Asia Rangkul China?

2 days ago 6

Washington DC -

Sejak kembali menjabat presiden Amerika Serikat (AS) lebih dari enam minggu yang lalu, Donald Trump dengan cepat dan dramatis mengubah posisi negaranya terhadap perang Rusia di Ukraina, sehingga membuat Kyiv dan sekutu Washington di Eropa kecewa.

Pertemuan mengejutkan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy terjadi di Ruang Oval pada Jumat (28/02). Pernyataan AS yang menolak masuknya Ukraina ke dalam aliansi militer NATO, dan penghentian semua bantuan militer AS ke Kyiv minggu ini, dipandang oleh banyak pihak sebagai bagian dari upaya Washington untuk bekerja sama dengan Moskow dan menekan Kyiv agar menerima kesepakatan gencatan senjata dengan syarat dari Rusia.

Para pemimpin Eropa sedang mempertimbangkan tanggapan bersama, termasuk peningkatan dukungan untuk Ukraina hingga langkah-langkah untuk memperkuat militer nasional, dalam menghadapi tindakan Trump yang dapat membahayakan seluruh arsitektur keamanan pasca 1945 di benua itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekhawatiran meningkat di Jepang, Korea Selatan

Perkembangan dramatis ini juga diamati dengan cermat di Asia, dengan sekutu AS seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Filipina yang semakin khawatir mengenai komitmen Trump terhadap keamanan mereka.

Namun, tidak seperti para pemimpin Eropa, pemerintah di Tokyo dan Seoul sebagian besar tetap diam karena takut menarik perhatian seorang pemimpin, yang sangat bergantung pada keamanan dan perdagangan mereka.

Baik Jepang maupun Korsel sangat bergantung pada AS untuk pertahanan mereka, dengan lebih dari 80.000 tentara ditempatkan di kedua negara.

Mereka tidak mampu sepenuhnya menolak AS karena tetangga terdekat mereka, China, Korea Utara, dan Rusia, semakin kuat dan tegas secara militer.

Kini, Jepang dan Korsel melihat situasi global. Mereka bertanya-tanya apakah akan ditinggalkan oleh Washington dan "mendapat perlakuan seperti Ukraina dari Presiden China Xi Jinping," kata Jeff Kingston, direktur Studi Asia di Temple University di Tokyo.

Dia menunjukkan bahwa Tokyo dan Seoul telah menjadi "frenemies" atau teman rasa lawan, untuk waktu yang lama karena masalah sejarah.

Namun, "secara tidak sengaja, Trump mungkin telah meningkatkan solidaritas kedua negara ini karena mereka merasa terancam oleh diplomasi yang tidak menentu," kata Jeff kepada DW.

Nilai kecil dalam aliansi tradisional?

Bahkan di antara kaum konservatif di kedua negara yang mendukung kebijakan Trump sebelum pemilihan, ada ketidaksukaan yang semakin besar terhadap keputusan Trump dan ketakutan bahwa aliansi lama mereka tidak lagi bernilai bagi Trump.

Yoichi Shimada, seorang politisi dari Partai Konservatif sayap kanan, mengakui bahwa dia adalah pendukung Trump, sebelum presiden ke-47 itu kembali ke Gedung Putih.

Namun sekarang, ada keraguan serius tentang banyak keputusan Trump, dan mengira presiden AS itu akan segera menuntut harga yang lebih tinggi untuk penempatan pasukan AS di Jepang.

"Sementara pemahaman tradisional adalah bahwa pasukan ini ada untuk memajukan kebijakan keamanan Washington di kawasan ini, Trump melihat mereka sebagai alat untuk mendapatkan lebih banyak uang dari negara tuan rumah," kata Shimada.

"Dia tahu bahwa Jepang tidak dapat membuat kesepakatan keamanan atau semacamnya dengan China atau Korea Utara, jadi kami tidak punya pilihan selain setuju," katanya. "Saya menduga permintaan agar Tokyo membayar lebih akan datang kapan saja."

Sinyal poros AS lebih kuat ke Indo-Pasifik?

Langkah terbaru Washington juga telah mengirimkan peringatan ke seluruh Asia Tenggara, di mana beberapa negara dan wilayah bergantung pada janji keamanan AS dalam ketegangan mereka yang meningkat dengan Beijing.

Meskipun demikian, beberapa politisi dan komentator di kawasan ini percaya bahwa mereka melihat sebuah poros AS yang lebih kuat ke arah Asia, mereka "tidak boleh terlalu optimis tentang prospek itu," kata Khac Giang Nguyen, seorang rekan tamu di ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura, kepada DW.

Sejumlah pejabat senior di pemerintahan Trump telah menghabiskan beberapa tahun terakhir menyerukan agar AS memfokuskan kemampuan keamanan sepenuhnya pada kawasan Indo-Pasifik.

Pada Februari 2025 di Berlin, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengatakan bahwa "realitas strategis yang mencolok membuat Amerika Serikat tidak bisa hanya berfokus pada keamanan Eropa."

Washington, tambahnya, sekarang fokus pada China, yang memiliki "kemampuan dan niat untuk mengancam tanah air dan kepentingan nasional inti kami di Indo-Pasifik."

Makna bagi Taiwan

Pada Selasa (04/02), Elbridge Colby, calon Trump untuk menjadi wakil Menteri Pertahanan bidang kebijakan, mengangkat isu Taiwan ketika berbicara di depan Komite Angkatan Bersenjata Senat.

Dia menekankan bahwa Washington memiliki minat keamanan nasional yang penting di Taiwan, meskipun status pulau itu tidak "eksistensial" bagi Amerika Serikat.

"Kehilangan Taiwan, kejatuhan Taiwan, akan menjadi bencana bagi kepentingan Amerika," kata Colby.

Dia juga mengkritik pemerintah wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka menghabiskan "jauh di bawah" 3% dari PDB untuk pertahanan, padahal "mereka seharusnya menghabiskan lebih dari 10%."

Taiwan, sebuah pulau demokratis yang memiliki pemerintahan sendiri yang dipandang oleh Beijing sebagai provinsi China, adalah sumber utama ketegangan antara AS dan China.

Washington adalah pendukung internasional dan pemasok senjata Taiwan yang paling penting meskipun tidak ada hubungan diplomatik formal antara kedua belah pihak.

Beijing pun telah bersumpah untuk menguasai pulau itu, bahkan dengan kekerasan jika diperlukan. Taipei telah mencari hubungan keamanan yang lebih dekat dengan AS sejak Trump kembali berkuasa.

Peningkatan kemampuan dan kerja sama bidang pertahanan

Bagi banyak pihak di Asia Tenggara, dukungan nyata pemerintah Trump atas sudut pandang Rusia, termasuk memberikan suara dengan Moskow di PBB, telah mengirimkan sinyal yang jelas bahwa Washington saat ini "lebih mementingkan kekuatan mentah dan bukannya tatanan internasional yang berbasis aturan," kata Zachary Abuza, seorang ahli Asia Tenggara dan profesor di National War College Washington, kepada DW.

Negara-negara Asia Tenggara harus "sangat khawatir" bahwa Amerika Serikat akan meninggalkan mereka jika melakukan tawar-menawar dengan China, tambahnya.

Meskipun Trump memberlakukan tarif pada barang-barang China, dan Presiden Xi membalas dengan cara yang sama, beberapa analis di kawasan ini menduga bahwa Trump pada akhirnya akan mencari "kesepakatan besar" untuk mengakhiri ketegangan AS-China, yang akan membuat negara-negara Asia Tenggara tidak berdaya dalam perselisihan mereka dengan Beijing.

Joshua Espena, seorang peneliti di lembaga think tank International Development and Security Cooperation yang berbasis di Manila mengatakan kepada DW, bahwa sebagian besar negara di kawasan ini akan mengejar "otonomi yang sepaham".

Misalnya, Filipina, sekutu perjanjian AS dengan hubungan yang semakin renggang dengan China, akan berusaha untuk menjaga agar Washington tetap berada di pihaknya sementara Filipina mempercepat peningkatan kemampuan pertahanannya sendiri dan memperluas kerja sama keamanan dengan negara-negara lain di kawasan ini, seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

"Ini tidak akan mudah," kata Espena, seraya menambahkan bahwa sebagian besar negara Asia Tenggara, termasuk Filipina, memiliki aktor politik dalam negeri yang lebih memilih untuk tunduk pada China, yang kini menjadi kekuatan militer terbesar kedua di dunia.

"Pada akhirnya, tidak ada negara yang dapat menggantikan AS sebagai penyedia keamanan. Dengan demikian, mereka akan membulatkan tekad dan berharap yang terbaik," kata Ian Storey, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, kepada DW.

Asia Selatan jadi prioritas rendah?

Sejauh ini, kawasan Asia Selatan tampaknya tidak menjadi prioritas bagi pemerintahan Trump.

Pada February 2025, Trump bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi dan setuju untuk meningkatkan kerja sama pertahanan dengan New Delhi di tengah kekhawatiran bersama terkait peningkatan kemampuan militer China dan pengaruhnya yang semakin besar di Indo-Pasifik.

Namun, pemerintah AS sejauh ini tidak banyak bicara tentang keterlibatan dengan pihak lain di kawasan ini, termasuk Pakistan dan penguasa di Afganistan, Taliban.

Seorang peneliti di Brookings Institution, Madiha Afzal, mengatakan bahwa pemerintahan Biden telah berpaling dari Pakistan dan negara ini "tampaknya juga tidak masuk dalam radar Trump."

"Dampak terbesar dari Trump untuk Pakistan adalah pemotongan bantuan pembangunan, termasuk untuk pengungsi Afghanistan yang ditampungnya," kata Madiha Afzal kepada DW.

Pada Selasa (04/02), saat berpidato di hadapan sidang gabungan Kongres, Trump berterima kasih kepada Pakistan karena telah menangkap Mohammad Sharifullah, orang yang dituduh membunuh 13 anggota pasukan AS selama penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada tahun 2021.

Trump mengatakan bahwa Sharifullah sedang dalam perjalanan ke Amerika Serikat untuk menghadapi persidangan.

Beberapa jam setelah pidato Trump, Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif mengatakan bahwa Islamabad "akan terus bermitra erat dengan Amerika Serikat dalam mengamankan perdamaian dan stabilitas regional."

Azeem Khalid, seorang pakar hubungan internasional yang berfokus dalam hubungan Pakistan-China, mengatakan bahwa terlepas dari ketidakpastian Trump, Islamabad tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkan kemitraannya dengan AS.

"Meninggalkan Washington dapat mempersulit kemitraan keamanan dan pengaruh regional Pakistan, mengingat pengaruh global AS," dia menggarisbawahi, dan menambahkan bahwa dengan latar belakang ini, Islamabad kemungkinan besar akan memilih untuk menyeimbangkan hubungannya dengan Washington dan Beijing "untuk mengurangi risiko dan memaksimalkan manfaat."

Editor: Keith Walker

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

(nvc/nvc)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial