Banjir 2025 dan Krisis Lingkungan

5 hours ago 2

Jakarta -

Dalam satu dekade terakhir informasi soal banjir yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia sudah menjadi pemberitaan rutin media. Sejumlah wilayah seperti Medan, Jakarta, dan Semarang hampir setiap tahun dilanda banjir. Sementara dalam beberapa waktu terakhir sejumlah daerah yang relatif tidak rawan bencana mulai dihantam banjir.

Banjir di Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 2018 misalnya diakibatkan karena kerusakan hutan di Sungai Aek Sibontar sehingga ketika intensitas hujan tinggi dengan durasi yang cukup lama mengakibatkan debit air naik dan jebolnya tanggul menyebabkan banjir. Lalu banjir bandang di Sentani, Jayapura pada 2019 juga disebabkan deforestasi di Cagar Alam Pegunungan Cycloop yang mengakibatkan erosi, rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), dan kekeringan yang berdampak pada ancaman banjir ketika hujan dengan waktu yang lama dan curah hujan tinggi.

Kemudian banjir di Manado pada 2023 diakibatkan karena deforestasi pada kawasan hutan di sekitar Danau Tondano yang terus meningkat dari waktu ke waktu yang mengakibatkan erosi dan rusaknya sedimentasi di bagian hulu DAS Tondano. Dan, terbaru adalah banjir yang terjadi di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (Jabodetabekjur) pada awal Maret 2025 juga dipicu oleh deforestasi akibat alih fungsi hutan menjadi kawasan pertanian, perumahan, tempat pariwisata, dan aktivitas lain yang merusak hutan di DAS hulu Sungai Ciliwung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibat dari deforestasi ini mengakibatkan perubahan lanskap hutan yang dulunya hijau kini terlihat gundul. Adapun hutan di kawasan DAS Ciliwung pada 2010 adalah 15 ribu hektar sementara akibat kerusakan hutan tinggal 8 ribu hektar pada 2022. Tidak hanya itu, kerusakan DAS di hulu Sungai Ciliwung menjadi kawasan komersil dengan nilai ekonomis yang tinggi mengakibatkan carut-marut bentuk tata ruang wilayah. Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi satu soal utama. Kemudian persoalan lain adalah rendahnya resapan air karena penyempitan DAS pada kawasan hilir mengakibatkan banjir di wilayah Jabodetabekjur.

Deforestasi

Pemicu utama dari terjadinya banjir di banyak wilayah di Indonesia adalah akibat deforestasi. Kerusakan hutan berlangsung sporadis dalam beberapa tahun terakhir berujung pada ketidaksiapan kita dalam menghadapi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, gelombang pasang, dan kekeringan.

Hal ini diakibatkan karena pemahaman kita tentang hutan hanya dilihat dari sisi ekonomi yang bernilai tinggi untuk pembangunan infrastruktur, pertanian, pariwisata, pertambangan hingga aktivitas mengelola hasil kayu untuk keuntungan. Sehingga paradigma soal hutan sekadar dipandang dari sisi antroposentrisme yang memusatkan segala sesuatu untuk kepentingan manusia. Padahal fungsi hutan tidak sekadar dilihat dari sisi ekonomi tapi juga dari perspektif ekoposentrisme sebagai fungsi keseimbangan alam dalam mengatur siklus hidrologi, pengatur curah hujan, temperatur, angin, dan kelembapan.

Akibatnya ketika pemanfaatan hutan dilakukan eksploitatif hanya demi kepentingan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan dampak ekologi ditimbulkannya sesungguhnya itu adalah bentuk malpraktik kehutanan. Tentu malpraktik kehutanan adalah bentuk penyimpangan ekologi yang harus diantisipasi karena bisa memakan korban kematian, luka-luka, orang hilang hingga rusaknya rumah tempat mereka tinggal akibat bencana. Banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, angin puyuh, gelombang dingin, kekeringan hingga gelombang panas adalah dampak nyata bencana yang diakibatkan oleh malpraktik kehutanan.

Sialnya korban pertama ketika banjir terjadi adalah masyarakat kelas menengah dan masyarakat kelas bawah. Utamanya perempuan dan anak yang harus menerima fakta selain rusak dan hilangnya harta bendanya milikinya juga berdampak psikologis akibat stres melihat kondisi rumah rusak yang ditinggali selama ini. Ini belum termasuk pada dampak korban jiwa atau cedera luka-luka dari anggota keluarga mereka yang secara psikis akan menghadirkan trauma yang panjang akibat bencana.

Krisis Lingkungan

Hutan dieksploitasi, laut ditimbun, dan bumi dikeruk. Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana bahkan menjadi masalah paling mengkhawatirkan pada abad ke-21 ini selain krisis politik dan krisis ekonomi. Dampaknya pelbagai bencana terjadi di Indonesia yang mengakibatkan kesengsaraan, pemiskinan, dan kematian sehingga setiap pemangku kepentingan perlu memahami kebijakan lingkungan.

Blaikie & Brookfied (1987) menyebutkan bahwa kebijakan lingkungan sebagai satu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan antara masyarakat dan ekologi sehingga dalam mengatasi bencana akibat krisis lingkungan penting untuk mendudukkan para aktor yang menjadi pemangku kepentingan yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, LSM dan masyarakat.

Dalam konteks bencana banjir di wilayah Jabodetabekjur, setiap pemangku kepentingan harus memiliki pemahaman yang sama bahwa bencana yang terjadi karena krisis lingkungan akibat deforestasi di DAS hulu Sungai Ciliwung. Sehingga kebijakan yang diambil terdiri dari tiga opsi yaitu kebijakan jangka pendek, kebijakan jangka menengah dan kebijakan jangka panjang.

Kebijakan jangka pendek adalah soal kesiapan pemerintah daerah dalam mengatasi banjir dalam hal evakuasi, penyediaan bantuan logistik, dan pembersihan pascabanjir. Artinya dalam penanganan banjir di daerah Jabodetabekjur sangat penting memastikan kesiapan daerah. Utamanya daerah yang belum siap secara infrastruktur kelembagaan dan pengalaman dalam penanganan bencana.

Misalnya, Kota Depok yang hingga saat ini belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sehingga garis koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus dilakukan sehingga aktivitas penanganan bencana atau pascabencana bisa dilaksanakan secara cepat dan tepat. Sementara kebijakan jangka menengah berkaitan dengan antisipasi bencana yaitu memetakan wilayah rawan bencana, membangun tanggul dan kesadaran terhadap masyarakat akan pentingnya menjaga hutan dan merawat lingkungan.

Terakhir kebijakan jangka panjang adalah melakukan reboisasi atau penghijauan terhadap hutan di wilayah hulu DAS Ciliwung yang selama ini mengalami kerusakan akibat deforestasi. Bahkan tindakan ekstrem perlu dilakukan melalui kordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum untuk membongkar bangunan atau aktivitas usaha yang selama ini berada di kawasan hutan atau DAS yang bisa memicu terjadinya banjir.

Andar Abdi Saragih ASN Kementerian Kehutanan

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial