Asia Tenggara Pasca Pelantikan Trump

1 month ago 27

Jakarta -

Donald Trump resmi dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (AS) ke-47, Senin (20/1) menggantikan Joe Biden setelah mengalahkan Kamala Harris dalam pemilihan umum. Sebelumnya, Trump juga pernah duduk sebagai Presiden AS sebelum dikalahkan Biden. Legitimasi kepemimpinan Trump kemungkinan besar akan lebih kuat mengingat Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat AS dikuasai oleh Partai Republik, partai yang mendukung pencalonan Trump.

Meski baru dilantik, Trump sudah mengeluarkan perintah presiden (executive orders) di antaranya AS memutuskan mundur dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), deportasi migran ilegal, mengetatkan perbatasan (khususnya bagian selatan yang bersinggungan dengan Meksiko), menghapus hak kewarganegaraan akibat lahir di AS (jus soli), dan meninggalkan keikutsertaan dalam Perjanjian Paris.

Langkah Trump ini mengindikasikan pendekatan sebagai pemimpin anti-multilateraliralis dan proteksionis. Multilateralisme diartikan sebagai kerjasama tiga negara atau lebih (Fukushima, 1999). Sementara itu, proteksionisme merupakan kebijakan untuk melindungi ekonomi negara dengan membatasi masuknya pengaruh dari luar (Abboushi, 2010).

Periode kedua Trump identik dengan kepemimpinan pada periode pertama. Pada periode sebelumnya, ia secara mengejutkan meninggalkan kemitraan Kemitraan Trans-Pasifik, kerja sama yang lama diusahakan oleh Barack Obama. Melihat manuver politik Trump periode kedua yang cukup "ekstrem", apa implikasi bagi Asia Tenggara?

Tiga Poin

Tidak dipungkiri, apapun kebijakan AS akan mempengaruhi dinamika politik, sosial, dan ekonomi dunia di berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara. Ada tiga poin yang perlu dijadikan perhatian. Pertama, politik internasional bergeser dari paradigma multilateralisme menjadi regionalisme atau kerja sama antarnegara berdasarkan kedekatan geografis atau kepentingan isu tertentu seperti ekonomi.

Sujiro Seam, Rabu (22/2) menyatakan bahwa Uni Eropa (UE) siap bergabung dalam Konferensi Tingkat Tinggi antara UE dan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 2025. Tidak hanya itu, UE berkomitmen mengintensifkan perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara UE dan negara Asia Tenggara. Pernyataan Seam menandakan langkah UE untuk bergeser ke kerja sama antar organisasi kawasan.

UE terlihat mewaspadai pernyataan Trump yang hendak menaikkan tarif ekspor ke UE sebesar 10%. Indonesia sendiri terlihat berusaha menyiasati pergeseran bentuk kerja sama dengan masuk ke BRICS, organisasi yang beranggotakan negara-negara yang melawan dominasi ekonomi AS, sebagai anggota penuh. Sementara Thailand, Vietnam, dan Malaysia mengikuti sebagai negara mitra BRICS.

Kedua, ketidakpastian perdagangan global cenderung meningkat. Tidak hanya dengan UE, Trump juga berencana menaikkan proteksi dagang terhadap China. Efeknya, negara-negara yang bermitra dengan China dan UE akan terimbas, apalagi jika mitra tersebut menyediakan bahan mentah atau setengah jadi bagi keduanya. Mitra keduanya antara lain adalah negara-negara Asia Tenggara.

Berdasarkan data Badan Kepabeanan China, pada Juli 2024, salah satu nilai perdagangan tertinggi dihasilkan dari perdagangan antara negara ASEAN dan China, yakni 80 juta dollar AS. Sementara itu, menurut BPS, Indonesia pada Oktober 2024, adalah mitra utama ekspor non-migas bagi China dan AS. Artinya, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perlu mewaspadai ketidakpastian perdagangan dunia akibat perang dagang yang diterapkan Trump. Belum lagi, bergabungnya Indonesia ke BRICS bisa memicu Trump untuk memberikan sanksi dagang bagi Indonesia.

Ketiga, absennya AS dalam Asia Tenggara berpotensi menghambat implementasi Kode Tata Berperilaku di Laut China Selatan (LCS). AS sebenarnya bisa berperan sebagai penyeimbang terhadap pengaruh China yang sangat kuat di LCS. Belum lagi, partisipasi Indonesia dalam BRICS dapat mempengaruhi kredibilitas Indonesia sebagai penengah dan inisiator Kode Tata Berperilaku di LCS.

Untuk mengantisipasi dampak negatif, menurut saya, Indonesia membutuhkan penyeimbang pengganti AS seperti Australia dan UE. Hubungan China-Australia yang naik turun dapat dimanfaatkan ASEAN untuk mengurangi pengaruh China di Asia Tenggara dengan mengintensifkan kerjasama politik dan ekonomi ASEAN-Australia. Selain itu, Indonesia perlu memanfaatkan momentum absennya AS dalam politik global dengan mendalami diplomasi ke negara-negara Oseania untuk memperkuat posisi politik di Papua.

Yohanes Ivan Adi Kristianto, S.I.P, M.A dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial