Jakarta -
Artificial Intelligence (AI) telah menjadi pencapaian terbesar umat manusia pada abad ke-21. AI dapat diartikan sebagai kecerdasan buatan yang memungkinkan teknologi komputer untuk mensimulasi kecerdasan manusia. Berbagai aktivitas yang dijalani umat manusia di seluruh penjuru dunia telah dibantu oleh AI sejak ditemukannya internet. AI telah membantu menangani mulai dari urusan bisnis, pendidikan, hingga kesehatan baik skala kecil maupun global.
AI telah menjadi topik utama bukan hanya oleh individu sebagai pengguna, melainkan juga oleh para pebisnis maupun penguasa. Topik utama yang sering dibahas adalah paradoks dari AI. Di satu sisi AI telah membantu umat manusia menjalani aktivitas harian. Namun, pada sisi lain AI juga menjadi momok dari tersebarnya misinformasi dan disinformasi.
Pembahasan mengenai AI mulai menghangat sejak terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat (AS). Trump sebagai sosok yang dikenal konservatif ini menggandeng seorang tokoh terkaya di dunia yaitu Elon Musk. Elon terkenal sebagai pemilik media sosial X, pendiri Tesla dan SpaceX --seperti halnya dengan tokoh-tokoh terkaya di dunia lainnya yang juga berasal dari AS seperti Mark Zuckerberg (META), Jeff Bezos (Amazon), Sam Altman (ChatGPT), Tim Cook (Apple), dan Sundar Pichai (Google). Para penguasa bisnis teknologi dunia ini turut hadir di dalam pelantikan Trump sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah Shou Zi Chew (CEO TikTok) yang juga turut hadir dalam pelantikan tersebut. Sebelumnya, AS mengeluarkan kebijakan kontroversial yaitu melarang TikTok beroperasi di negara itu. Sempat terdengar kabar sebagai bentuk hubungan bisnis, Trump menyarankan Elon untuk membeli TikTok tersebut.
Sebagai bentuk tindak lanjut dari hubungan Trump dan para pebisnis teknologi raksasa tersebut, Trump mengumumkan investasi sebesar USD 500 miliar untuk proyek AI. Sungguh angka yang sangat besar dan memiliki implikasi yang juga besar. Namun, apa yang harus dipelajari dari fenomena ini dan apa yang harus disikapi terhadap AI?
Ancaman Serius Demokrasi
AI sudah lama dihubungkan dengan ancaman serius terhadap demokrasi. Merujuk kepada artikel Journal of Democracy pada 2023 yang berjudul How AI Threatens Democracy, AI memiliki implikasi terhadap kebangkitan otoritarianisme baru. Hal tersebut tentunya terlepas dari pro dan kontra antara demokrasi dan otoritarianisme yang selalu disandingkan antara persaingan geopolitik dunia.
Hubungan antara AS dan China yang selalu memanas, saat ini memang memiliki persaingan dalam hal teknologi kecerdasan buatan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa China sudah menerapkan sebuah teknologi berbasis AI yang dapat mengontrol seluruh aktivitas warganya. Hal tersebut memang merupakan ancaman terhadap demokrasi, terutama kebebasan berpendapat dan masa depan demokrasi (Kreps & Kriner, 2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh lagi dalam buku terbarunya yang berjudul Nexus, Yuval Noah Harari menyebutkan AI berpotensi menjadi totalitarianisme baru dunia masa depan. Fenomena ini didasari oleh kemampuan AI yang mengadopsi algoritma dalam pemrosesan data. Sehingga bagi para pemilik data yang terintegrasi dalam skala besar memungkinkan pemiliknya menjadi penguasa dunia. Maka, tidak mengherankan bahwa Trump melakukan investasi besar ini untuk mencoba menguasai dunia dengan mengandalkan teknologi berbasis AI tersebut.
Efek ganda dari AI tidak semata hanya dilihat dari pencapaian dalam bidang teknologi, melainkan juga menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi. Ancaman terhadap demokrasi melalui AI sudah menjadi bentuk dari otoritarianisme baru. Keberadaan TikTok memang cukup mengundang perhatian dunia. Apalagi aplikasi media sosial ini dihubungkan dengan data yang terintegrasi dengan pemerintah China (Aynne Kokas, 2022). Hal tersebut yang mungkin menjadikan AS mencoba untuk mengakusisi kepemilikan tersebut.
Terobosan Regulasi
Terlepas dari persaingan antara AS dan China, AI memang seharusnya mendapatkan perhatian penuh bagi seluruh stakeholder, terutama bagi para pemilik dan pendirinya. Niatan Trump untuk berinvestasi dan menarik beberapa pesohor bisnis teknologi AS ke dalam pemerintahannya patut untuk diwaspadai.
Sebagai bentuk dari tindakan awal dan preventif atas dampak baruk dari AI datang dari Uni Eropa (UE). UE belum lama ini melakukan terobosan dalam mengeluarkan regulasi terkait AI karena Menyadari dampak buruk dari informasi, keraguan, dan pembusukan demokrasi (democratic decay) sebagai efek degeneratif AI (Cupac & Sienknecht, 2024). Dampak dari AI yang berpotensi menyebarkan misinformasi dan disinformasi dapat membahayakan kelangsungan demokrasi.
Kebebasan seseorang dalam menggunakan AI telah berdampak buruk bagi lingkungan sekitar. Salah satunya tersebarnya berbagai posting-an video-video palsu (deep fake) yang baru-baru ini dialami oleh beberapa pesohor dunia termasuk Presiden Prabowo. Tentunya hal ini patut menjadi perhatian bagi para pembuat regulasi dalam mengontrol penggunaan dan pemanfaatan AI.
Efek degeneratif dari AI juga memiliki implikasi bagi pemilihan umum. AI dapat menyebarkan kebohongan, mempengaruhi persepsi pemilih, bahkan kecurangan dalam pemilihan. Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan mengenai pelarangan menggunakan foto AI dalam kampanye. Tentunya putusan ini merupakan angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Tetapi, perlu tindakan lebih jauh lagi dalam memitigasi dampak buruk dari AI.
Diperlukan regulasi yang cocok dan tepat dalam menangkal dampak buruk dari AI. Kesadaran dari pemerintah dan DPR dalam membuat regulasi dan peraturan mengenai tantangan dan peluang dari AI harus menjadi perhatian --sembari mengaktifkan alarm tanda waspada dari proyek besar-besaran Trump dan pebisnis teknologi AI. Ini bukan berarti menjauhkan diri dari AI, tetapi mencoba mencari cara untuk menangkal dampak buruk yang mengarah ke otoritarianisme jenis baru.
Gennta Rahmad Putra mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu