Akhir Tahun yang Kelam untuk VOC

1 month ago 18

Hampir dua abad, perusahaan dagang Hindia Timur atau Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) berjaya dengan memperdagangkan rempah-rempah di Nusantara (Indonesia). Tapi keperkasaan kongsi dagang Belanda itu tumbang atau gulung tikar akibat mental korup para pejabatnya. VOC berhenti operasi menjelang Tahun Baru, 31 Desember 1799.

Sejarah mencatat, VOC dibentuk oleh pemerintah Belanda pada 20 Maret 1602. Kongsi dagang tersebut sukses meraup cuan besar. Keuntungannya bisa memakmurkan Negeri Kincir Angin tersebut. VOC memiliki hak untuk memonopoli perdagangan rempah, bahkan bisa mendanai peperangan, membuat perjanjian di kerajaan lokal di Asia Tenggara, hingga mencetak mata uang sendiri.

Dikutip dari CNBC, 20 Agustus 2024, kongsi dagang VOC memiliki valuasi (nilai aset, investasi dan saham) terbesar di dunia saat itu. Bahkan laman Visual Capitalist mencatat, nilai saham VOC mencapai 78 juta gulden pada 1637.

Bisa dikatakan valuasi VOC melebihi gabungan perusahaan terbesar dunia sekarang, yaitu Apple, Microsoft, Google, dan sebagainya. Sejarawan Lodewijk Petram dalam The World's First Stock Exchange (2014), menilai valuasi VOC sebesar US$ 1 triliun pada masa kini atau setara dengan Rp 15.000 triliun.

Kekayaan yang diperoleh VOC tak hanya berasal dari rempah-rempah Nusantara saja, melainkan eksplorasi kekayaan di sejumlah negara lainnya, seperti Ceylon (Sri Langka), India, Formosa (Taiwan), Vietnam, Siam (Thailand) dan Jepang. Mereka memonopoli jual beli rempah, seperti pala, lada, cengkeh, kayu manis, teh, sutra dan porselin Cina selama 12 tahun. Belum lagi ekplorasi tambang emas.

Pemerhati sejarah Marco Ramerin dalam laman Colonial Voyage, 18 Februari 2014, menyatakan, VOC dibentuk oleh Staten-Generaal atau Republik Federasi Belanda (Republik Tujuh Belanda Bersatu/Tujuh Provinsi). Kongsi dagang ini merupakan gabungan dari enam perusahaan swasta atau Voorcompagnie.

Sementara menurut sejarawan Kim Martins dalam World History, 31 Oktober 2023, VOC terbentuk atas dukungan dari pengacara dan politisi, Johan van Oldenbarnevelt, yang berhasil membujuk keenam perusahaan swasta untuk bergabung. Oldenbarnevelt memandang kongsi dagang tersebut menjadi usaha ekonomi dan cara mendanai perjuangan kemerdekaan Belanda.

Sebab, kala itu, beberapa provinsi di wilayah Belanda berusaha untuk bebas dari kungkungan Spanyol di wilayah Selatan. Belanda terlibat dalam Perang Depalan Puluh Tahun (1568-1648) melawan Spanyol. Namun van Oldenbarnevelt yang dikenal sebagai Bapak Pendiri VOC ini dieksekusi mati saat umurnya 71 tahun karena dianggap berkhianat pada 1619.

VOC diberi Octrooigebied atau Zona Perdagangan. Tujuannya tak hanya berdagang, tapi harus bisa melawan musuh-musuh Republik. Selain itu harus bisa mencegah negara-negara Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris dan Perancis memasuki wilayah perdagangan Hindia Timur (Nusantara dan Asia Tenggara).

Struktur VOC memiliki enam dewan regional atau kamar dagang yang berkantor di Amsterdam, Middelburg, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Dari keenam perwakilan kamar dagang itu duduk sebagai Dewan Direksi atau Dewan Tujuh Belas yang dikenal dengan sebutan Heeren XVII. Lembaga yang berisi 17 perwakilan kamar dagang ini tersebut.

Untuk memimpin Heeren XVII akan ditunjuk secara bergilir dari masing-masing perwakilan kamar dagang, kecuali dari Amsterdam. Ke-17 anggota Dewan Direksi VOC ini berasal dari Amsterdam sebanyak 8 orang, 4 orang dari Middelburg, dan 1 orang perwakilan masing-masing dari Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen.

Sejak dibentuk, operasi VOC di Hindia Timur cukup sukses. Pada 1603, kapal dagang VOC merebut dan mengusir kapal dagang Portugis di Malaka. Di tahun yang sama untuk pertama kalinya mendirikan pos perdagangan permanen di pelabuhan Banten.

Dua tahun kemudian, kekuatan kapal dagang VOC berhasil menguasai Maluku dengan mengusir Portugis di Ambon, Ternate, dan Tidore pada 1605. Hingga akhirnya VOC mendirikan markas besarnya di Ambon mulai 1605. Pada 1610, VOC membentuk jabatan Gubernur Jenderal agar bisa mengendalikan urusan mereka di Asia Tenggara.

Untuk mengawasi kerja Gubernur Jenderal dibentuk Dewan Hindia Timur atau Raad van Indie atau Dewan Hindia. Ketika Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC, markas VOC dipindahkan ke Batavia (Jakarta) sejak 1619. Dia bersama 19 armada kapalnya berhasil menguasai pelabuhan Jayakarta dan mengusir pasukan Kesultanan Banten pada 30 Mei 1619.

Tak cukup menguasi Nusantara, VOC lalu menguasai wilayah lainnya. Mereka membangun pangkalan angkatan laut di sepanjang rute Eropa hingga timur. VOC menaklukan Portugis di Malaka (1641), Ceylon (1656-1658) dan pantai Malabar (1661-1663). Lalu kongsi dagang tersebut memperluas jaringan perdagangannya ke Afrika, Arab, Teluk Persia, India, Cina dan Jepang di Timur Jauh.

Selama 197 tahun VOC beroperasi, mereka mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan serta pengerahan pasukannya yang besar. Setidaknya ada 317.000 orang yang berlayar dari daratan Eropa ke Asia dan Nusantara antara 1602-1700. Jumlah itu meningkat menjadi 650.000 orang antara 1700-1795. Dana yang keluar untuk pembuatan kapal dan perlengkapannya mencapai 370 juta gulden (1640-1700). Lalu meningkat menjadi 1.608 juta gulden pada 1700-1795.

Pada periode-periode tersebut, nilai pembelian barang-barang yang dikirim ke Eropa dari Asia 205-667 juta gulden. Sedangkan nilai jual barang-barang yang dikirim pulang ini mencapai 577 juta gulden pada periode pertama, dan 1.633 juta gulden pada periode kedua.

Cuan VOC dari perdagangan rempah-rempah juga melimpah. Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit.

Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan, Batavia semakin dibanjiri penduduk dari luar, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial. Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC.

Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus ‘Dewan Tujuh Belas’ yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja.

Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda, para pemegang saham terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen dan kas merosot tajam.

Sementara para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku gila hormat yang cenderung feodalis. Pada 24 Juni 1719, Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya.

Misalnya semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran.

Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota Dewan Hindia, kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak.

“Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran,” seperti dikutip dari tulisan Sardiman AM dan Amurwarni Dwi Lestariningsih dalam buku ‘Sejarah Indonesia’ terbitan Kementerian Pendidikan dan Budaya (2017).

Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi.

Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan.

Untuk menjadi karyawan VOC juga harus ‘menyogok’. Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar 3.500 gulden, bagi orang yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (perdagangan). Padahal gaji resmi sebagai onderkoopman hanya 40 gulden per perbulan. Untuk menjadi Kapitein harus menyogok 2000 gulden, menjadi Kopral harus membayar 120 gulden, begitu seterusnya.

Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangannya diubah menjadi Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi).

Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut.

Oleh karena itu, pada 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu, sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir, Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Selain bangkrut karena persoalan internal, VOC juga konflik dengan Inggris dan Perusahaan Hindia Timur Britania atau British East India Company (EIC). Angkatan Laut Inggris menghancurkan armada Belanda, dan rutenya antara Asia dan Eropa terganggu parah pada tahun 1780.

Meskipun Belanda tanpa henti menyingkirkan pesaing asing dari Kepulauan Rempah (Maluku), hal itu menimbulkan kerugian ekonomi. VOC juga terlibat dalam politik lokal yang menguras keuangan, khususnya perang suksesi Jawa (1703-1755).

Faktor lainnya adalah rempah-rempah tidak lagi diminati. Barang-barang lain seperti teh, kopi, dan gula memperluas pasar internasional dan menyaingi rempah-rempah dalam hal kepentingan ekonomi. Makanan dan gaya penyajian baru muncul, membuat rempah-rempah tidak lagi menjadi barang mewah yang diinginkan.

Demikian pula, penyelundupan mengakibatkan tanaman dan benih dibudidayakan di tempat lain. Pala, yang aslinya berasal dari Kepulauan Rempah-rempah, dibawa ke Karibia, dan Inggris membawa cengkeh dan pala dari Asia Tenggara ke India.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial