AI dan Anak-anak, Pelarian Emosional Tapi Lukai Hubungan Sosial

8 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Semakin canggih teknologi, semakin banyak anak yang mulai menjadikan kecerdasan buatan (AI) sebagai teman curhat. Tak sedikit yang merasa lebih nyaman menumpahkan isi hati ke aplikasi berbasis AI dibanding bercerita kepada orang tua atau teman sebaya.

Fenomena ini sekilas terlihat tidak berbahaya. Namun, para psikolog memperingatkan bahwa kebiasaan ini bisa berdampak serius dalam jangka panjang, terutama pada kemampuan anak menjalin hubungan yang sehat dan mempercayai orang lain saat dewasa.

"Ketika anak lebih memilih curhat ke AI daripada ke orang tua atau teman, ini bisa menjadi sinyal bahwa ia merasa lebih aman secara emosional dengan sistem yang tidak menilai atau menghakimi," ujar psikolog klinis anak Sarah Aurelia Saragih saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (17/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sarah menekankan, interaksi yang tidak melibatkan manusia seperti percakapan dengan chatbot atau asisten digital tidak mengajarkan anak keterampilan penting dalam relasi sosial. Anak tidak belajar bagaimana menghadapi konflik, menanggapi empati, atau membangun kelekatan emosional secara nyata.

"Jika dibiarkan, ini bisa menumbuhkan pola penghindaran dalam relasi sosial. Anak tahu cara bicara, tapi tidak tahu cara menjalin hubungan," kata Sarah.

Realitas sosial yang terdistorsi

Psikolog klinis Arnold Lukito turut mengungkapkan kekhawatirannya terhadap fenomena ini. Menurutnya, anak-anak yang terbiasa mendapatkan respons cepat dan penuh pengertian dari AI bisa mengalami distorsi realitas sosial.

"AI terasa sangat responsif, cepat, dan seolah paham betul apa yang dirasakan anak. Padahal, itu bukan gambaran realistis dari hubungan antar-manusia," kata Arnold.

Hal ini bisa mengganggu pembentukan keterikatan emosional yang sehat atau secure attachment. Dengan AI, anak terbiasa mendapatkan validasi tanpa syarat dan ketersediaan 24 jam, yang tentu tidak terjadi dalam dunia nyata.

Ketika dihadapkan pada interaksi manusia yang lebih kompleks, mereka bisa merasa frustrasi, merasa tidak dipahami, atau bahkan memilih untuk menarik diri.

"Ini berisiko menimbulkan trust displacement, yaitu ketika anak lebih mempercayai mesin dibanding manusia dalam hal keintiman emosional," jelasnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya..


Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial