AAUI Tak Masalah Peserta Asuransi Tanggung 10 Persen Klaim Ditunda

6 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) tak mempermasalahkan penundaan penerapan skema pembagian risiko (co-payment) klaim asuransi kesehatan.

Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan pihaknya menilai positif permintaan Komisi XI DPR agar skema co-payment diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), dari yang hanya diatur dalam Surat Edaran (SE) OJK saat ini.

"Karena ini juga menyangkut harkat masyarakat banyak, jadi untuk lebih kuatnya dituangkan di dalam POJK. Makanya diundur sampai POJK terbit sambil dilakukan sosialisasi yang pas," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita hormati lah apalagi yang minta perubahan dari SE ke POJK kan DPR," sambungnya.

Menurut Budi, pengaturan skema co-payment dalam POJK nantinya bisa lebih memberikan penjelasan yang jelas kepada masyarakat sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman.

Budi mengatakan skema co-payment bukan hal yang baru dalam dunia asuransi. Skema itu katanya sudah banyak diterapkan dalam asuransi kumpulan.

Asuransi kumpulan adalah jenis asuransi yang dirancang untuk memberikan perlindungan kepada sekelompok orang, bukan hanya satu orang saja. Biasanya, asuransi kumpulan ini diberikan oleh perusahaan, organisasi, atau komunitas kepada karyawan atau anggotanya.

Namun, hal yang menjadi persoalan, sambung Budi, skema co-payment tidak langsung bisa membuat tingkat premi turun. Penurunan tingkat premi katanya juga harus melihat rasio kerugian (loss ratio) perusahaan asuransi yang menunjukkan perbandingan antara total klaim yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi dengan total premi yang diterima.

"Perusahaan asuransi kan enggak semuanya mengalami untung, ada yang rugi. Nanti kan ada hitungannya dari aktuaria. Kalau perusahaan yang loss ratio-nya sudah 128 persen, ya kalau diminta turun lagi (premi) kan repot walaupun ada co-payment," katanya.

Namun, Budi tak ingin skema co-payment disalahartikan. Co-payment katanya merupakan edukasi ke masyarakat bahwa dalam mitigasi risiko juga diperlukan tanggung jawab pribadi alias self-insurance.

Karenanya, ia berharap skema co-payment bisa disosialisasikan dengan baik.

"Jadi jangan merasa masyarakat terbebani dengan adanya co-payment, karena kan itu ada batas maksimalnya," katanya.

OJK awalnya memberikan waktu bagi perusahaan asuransi untuk menerapkan co-payment paling lambat 31 Desember 2026.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan penyesuaian batas waktu itu berlaku bagi produk asuransi kesehatan yang masih berjalan.

[Gambas:Video CNN]


Sedangkan untuk produk asuransi kesehatan baru wajib menerapkan co-payment mulai 1 Januari 2026 sesuai dengan SE OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.

Ogi menjelaskan dengan skema co-payment, pemegang polis paling sedikit menanggung sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim dengan batas maksimum sebesar Rp300 ribu untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim.

(fby/agt)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial