Jakarta -
Umat Muslim Indonesia akan menunaikan ibadah salat Idulfitri 1446 Hijriah pada 31 Maret 2025. Dalam rangkaiannya, setelah salat Id selesai akan dilaksanakan khotbah Idulfitri yang disampaikan oleh khatib dan wajib disimak oleh jemaah.
Bagi umat Muslim yang nantinya bertugas sebagai khatib, ada beberapa contoh isi khotbah Idulfitri 2025 yang bisa dijadikan rujukan, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Berikut ini contoh isi khotbah Idulfitri 2025:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh Khotbah Idulfitri 2025 dari Kemenag
Judul: Meluruskan Makna "Fitrah" dan Aktualisasinya dalam Kehidupan
Oleh: Dr. H. Khoirul Huda Basyir, Lc., M,Si
(Khotbah I: Dibuka dengan salam, takbir Idulfitri, pujian kepada Allah dan selawat untuk Rasullullah ﷺ)
Dalam suasana hari raya kemenangan yang khidmat berselimut rahmat dan kebahagiaan ini, marilah kita senantiasa mempersembahkan puji syukur yang setulus-tulusnya ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan nikmatNya kepada kita, sehingga di pagi hari yang cerah-ceria ini kita dapat menunaikan sholat Idul Fitri dengan tertib, khusyu' dan tadlarru'.
Hari raya Idul Fitri yang disambut oleh umat Islam di seluruh antero dunia dengan kumandang takbir dan tahmid yang menggema, menggelora memenuhi seluruh angkasaraya adalah wujud kemenangan dan rasa syukur kaum muslimin kepada Allah SWT atas keberhasilannya merawat fithrah dan mujahadah dalam mengelola hawa nafsu melalui ibadah shiyam selama satu bulan penuh di bulan Ramadlan yang baru saja berlalu. Allah SWT menegaskan:
"Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu semoga kamu bersyukur." (Al-Baqoroh : 185)
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Dalam momentum hari raya ini, marilah kita menghayati kembali makna fitrah kemanusiaan kita dan aktualisasinya dalam kehidupan. Kata "fitrah" sering disalahpahami dan dibuat rancu dengan kata "Fitri". Kata fitrah juga sering digunakan secara kurang tepat, misalnya zakat fitrah, padahal penggunaan istilah yang tepat adalah "zakat al-fithr" atau zakat fitri, bukan zakat fitrah. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Demikian pula, Idul Fitri kerap dimaknai sebagai "audah ila al-fithrah" atau kembali kepada fitrah dalam arti kesucian. Padahal, secara semantik, Idul Fitri itu artinya adalah "Hari Raya Makan", karena memang pada hari Idul Fitri umat Islam diharamkan berpuasa. Idul Fitri bukan kembali kepada kesucian, tetapi merayakan kemenangan dan kebahagiaan dengan menikmati kembali makanan dan minuman setelah berpuasa seraya bertakbir, bertahmid, bertasbih, bertahlil, bersilaturrahim, dan saling memaafkan.
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Makna fitrah dalam beberapa ayat dan hadis Nabi SAW menunjukkan arti 'asal kejadian, potensi dan kecenderungan alami, nature, atau watak kemanusiaan sebagaimana ciptaan atau hasil kreasi Allah. Ibarat komputer atau laptop, fitrah itu adalah "program bawaan" yang sudah diinstal oleh Allah ke dalam diri manusia bersamaan dengan "peniupan ruh-Nya".
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS ar-Rum/30:30).
Reaktualisasi makna fitrah menjadi sangat relevan, apabila dikaitkan dengan sejumlah hadis yang berkaitan dengan fitrah manusia. Karena, aktualisasi fitrah yang diteladankan Nabi SAW berkaitan erat dengan sunnah dan terkait erat dengan kemaslahatan kemanusiaan. Sejumlah fitrah manusia yang disebutkan dalam hadis menarik dikaji dan dikembangkan dalam konteks kehidupan manusia. Ammar bin Yasir meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"Fitrah itu ada sepuluh: berkumur, membersihkan hidung, bersiwak, mencukur kumis, memotong kuku, membasuh punggung jari, mencabut bulu ketiak, bersuci dengan air, berkhitan, dan memotong bulu kemaluan." (HR. Muslim).
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, fitrah kemanusiaan dapat dikategorikan menjadi fitrah beragama (berakidah tauhid), fitrah mencintai kebersihan, fitrah memelihara kesehatan, fitrah mencintai keindahan dan menjaga penampilan estetis, dan fitrah berinteraksi sosial dengan baik dan elegan. Ibn 'Asyur mengelompokkan fitrah manusia menjadi dua: fitrah jasadiyah dan fitrah 'aqliyah. Yang pertama adalah fitrah terkait dengan kelaziman fisik manusia, seperti berjalan dengan kaki, bekerja dengan menggunakan tangan; sebaliknya berjalan dengan menggunakan tangan dalam kondisi normal itu melawan fitrah. Sedangkan yang kedua adalah fitrah berpikir rasional, kritis dan kreatif, misalnya mendayagunakan akal untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Menurut Ibn al-Qayyim, fitrah itu sejatinya adalah hanifiyyah, kecenderungan yang lurus dan benar dalam beragama. Jadi, fitrah itu nilai-nilai kemanusiaan legasi Nabi. Mencintai Nabi idealnya dibuktikan dengan meneladani fitrah kemanusiaan yang diajarkan olehnya.
Lalu, bagaimana puasa Ramadhan didesain dan diorientasikan kepada pendidikan fitrah kemanusiaan yang memberi kemaslahatan dan kebaikan bersama? Puasa merupakan ibadah universal, lintas agama, budaya, bangsa, dan masa. Oleh karena itu, pensyariatan puasa dalam Islam dibarengi dengan penyebutan "sebagaimana puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum kalian" (QS al-Baqarah/2: 183). Hal ini menunjukkan bahwa ibadah puasa itu baik dan bernilai kebaikan untuk umat manusia, terutama orang beriman, karena memang yang dipanggil oleh Allah untuk merespon positif perintah berpuasa adalah orang-orang beriman (Ya ayyuha al-ladzina amanu).
Selain bertujuan meraih kualitas takwa yang prima, puasa Ramadhan yang disyariatkan Islam itu berorientasi kepada kebaikan. Setidaknya ada tiga kata "khair" (kebaikan) yang menyertai rangkaian ayat-ayat perintah puasa: "Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS al-Baqarah/2:184). Karena puasa Ramadhan itu berorientasi dan bermuara kepada kebaikan personal maupun kebaikan sosial, maka dapat ditegaskan bahwa esensi berpuasa itu merupakan aktualisasi fitrah kemanusiaan. Ramadhan itu ibarat kampus kehidupan. Regulasi dan kurikulum (norma, nilai, kewajiban, anjuran, dan larangan) dalam berpuasa Ramadan itu sarat dengan nilai-nilai Pendidikan fitrah kemanusiaan. Bangun tidur lebih awal untuk santap sahur, shalat subuh berjemaah, berdzikir, berdoa, tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga adzan maghrib, tarawih, tadarus Alquran, sedekah, i'tikaf, mengeluarkan zakat mal dan zakat fitri, semuanya adalah fitrah kemanusiaan, apabila diresponi secara positif, dijalani dengan penuh ketulusan dan kesabaran.
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Oleh karena fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan lain-lain, maka agar fitrah manusia itu tetap terpelihara dengan baik, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai agama dan akhlak karimah, sehingga diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta cakap dalam menyikapi dan menjawab berbagai tantangan kehidupan. Karena itu segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadan hendaknya tetap kita lestarikan dan bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi baik dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita sehingga fithrah yang telah kita rawat ini tetap terpelihara dengan baik hingga ahir kehidupan kita. Ramadan adalah madrasah kehidupan, sukses Ramadhan sesungguhnya tidak diukur pada saat sedang berlangsung akan tetapi justru dilihat dari sebelas bulan yang akan dijalaninya ke depan. Adakah ia mampu melakukan perubahan dan perbaikan dirinya menjadi pribadi muttaqin? adakah ia tetap konsisten menjaga amaliah kebajikan selama Ramadan? Semua berpulang kepada penghayatan dan komitmen diri kita.
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudera kehidupan, bahwa adalah merupakan sunnatullah bila hidup ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmah dan musibah, menang dan kalah, peluang dan tantangan yang acap kali menghiasi hidup kita. Orang bijak sering menyatakan, "hidup ini laksana roda berputar", sekali waktu bertengger di atas, di waktu lain tergilas di bawah. Sebagai seorang mukmin, tidak ada celah untuk menyatakan sikap frustasi dan menyerah dengan keadaan akan tetapi ia harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah, sebagaimana orang mukmin tak boleh hanyut dengan godaan dan glamornya kehidupan. Orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan marhamah, menegakkan dakwah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan. Bukankah Allah SWT telah berjanji:
"Dan janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman". (QS. Ali Imran: 140).
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin menggambarkan penghuni kehidupan dunia laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam proses perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua keresahan, antara mengingat perjalanan yang sudah di lewati dengan rintangan gelombang yang dahsyat dan antara menatap sisa-sisa perjalanan yang masih panjang di mana ujung rimbanya belum tentu mencapai keselamatan.
Gambaran kehidupan ini hendak mengingatkan agar kita senantiasa memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita punyai masih akan menghadapi tantangan zaman dan selera kehidupan yang menggoda haruslah kita pergunakan secara optimal untuk memperbanyak bekal guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak.
Suatu saat Luqman Al Hakim pernah memberikan petuah kepada putranya:
"Wahai anakku, sesunguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, oleh karenanya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakkal sebagai layarnya niscaya engkau akan selamat sampai tujuan".
Allahu Akbar 3X, Allah Maha Besar! Semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimbing kita semua agar tergolong hamba-hambanya yang mampu menahan diri sehingga menjadi pribadi yang selalu tumbuh untuk meraih sertifikat orang-orang yang berhasil mempertahankan kesucian diri dan memperoleh kemenangan di hari yang agung ini, berkenan mencurahkan hidayah dan ma'unahNya kepada bangsa Indonesia serta umat Islam pada umumnya untuk senantiasa mengamalkan syariatNya dan menghidupkan sunnah rasulNya dan semoga momentum Idul Fitri yang agung ini benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan baru masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak karimah, kebersamaan dan kasih sayang guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berharkat dan bermartabat, sejahtera dan berperadaban dalam ridla dan bimbingan Allah SWT. Amin, Ya Mujibassailin.
(Khotbah II: Ditutup dengan salam, takbir Idulfitri, pujian kepada Allah dan selawat untuk Rasullullah ﷺ)
Contoh Khotbah Idulfitri 2025 dari NU
Judul: Ramadhan Membentuk Pribadi Berkarakter, Disiplin, dan Peduli Lingkungan
Oleh: M. Tatam Wijaya
(Khotbah I: Dibuka dengan salam, takbir Idulfitri, pujian kepada Allah dan selawat untuk Rasullullah ﷺ)
Ma'asyiral Muslimin Jamaah Shalat Idul Fitri Yang Dirahmati Allah
Alhamdulillah. Di pagi yang cerah dan penuh berkah ini, segenap puji dan rasa syukur mari kita sanjungkan ke hadirat Allah. Atas perkenan dan segala nikmat-Nya, kita bisa menjalankan ibadah Ramadhan 1446 H. dan mengakhirinya dengan shalat sunah Idul Fitri secara berjamaah.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada panutan alam, Baginda Nabi Besar Muhammad saw., beserta keluarga, para sahabat, para tabi'in, hingga kepada kita selaku umatnya.
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah
Buah dari ibadah Ramadhan bukan sebatas menahan makan dan minum, tetapi sejauh mana ia berdampak signifikan terhadap pribadi yang menunaikannya.
Puasa hendaknya tak hanya menjadi seremonial tahunan, lalu memungkasnya dengan bangga, pestapora, atau foya-foya, tetapi juga harus membawa kita kepada pribadi berkarakter, bersabar, mampu mengendalikan diri, sehat lahir-batin, dan peduli terhadap sesama dan lingkungan.
Meski demikian, semua hikmah itu tidak bisa dipisahkan dari hikmah utamanya, yaitu mampu menghiasi keimanan dengan ketakwaan, sebagaimana pesan Al-Quran:
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Demikian pula hakikat lebaran, menurut Ibnu Rajab, bukan sekadar berganti baju baru, tetapi juga harus mampu menambah ketakwaan. Sebagaimana disebut dalam kitab Lathaiful-Ma'arif karya Ibnu Rajab, terbitan al-Maktab Al-Islami, Beirut, halaman 484:
"Lebaran bukan untuk orang yang berbaju baru, tetapi bagi orang ketakwaannya bertambah."
Walhasil, banyak hal yang harus dicapai dari ibadah puasa kita. Namun, mengingat terbatasnya waktu dan kesempatan, maka pada khutbah Ied yang singkat ini akan diuraikan tiga capaian saja, yaitu berkarakter, disiplin, dan peduli lingkungan.
Ma'asyiral Muslimin Jamaah Shalat Idul Fitri yang Dirahmati Allah
Dalam konteks umum, karakter mengacu kepada sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Ada juga yang mengartikan karakter sebagai tabiat atau watak. Dalam konteks ini, tentu karakter yang terbentuk adalah karakter Muslim yang didasari oleh keimanan dan ketakwaan yang kuat.
Maka selepas berpuasa, kita diharapkan menjadi pribadi yang berkarakter, memiliki sifat, tabiat, akhlak, dan pekerti yang luhur, khas, dan berbeda dengan yang lain.
Kita tidak menutup mata bahwa hari ini bangsa kita sedang krisis moral dan nyaris kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang religius, santun, dan beradat ketimuran. Padahal, negara kita penganut agama Islam terbesar di dunia. Sayangnya, nilai-nilai agama seolah dikesampingkan.
Di sinilah pentingnya kita sebagai Muslim untuk kembali memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai luhur agama, baik dalam konteks hablum minallah maupun hablum minannas, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun bernegara.
Banyak kaum Muslimin yang belum sepenuhnya sadar bahwa beragama tidak bisa dilepaskan dari akhlak. Akibatnya, mereka banyak yang saleh secara spiritual, tetapi tidak secara sosial. Padahal, Rasulullah sendiri diutus untuk memperbaiki akhlak. Demikian sebagaimana yang diungkap dalam sabdanya:
"Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak," (HR. Ahmad).
Dalam hadits lain, pentingnya pembangunan akhlak dikaitkan langsung dengan kesempurnaan iman:
"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya," (HR. At-Tirmidzi).
Ini artinya, iman memiliki hubungan dengan akhlak. Dengan kata lain, agama tak hanya mengedepankan aspek ketuhanan dan spiritual, tetapi juga aspek kemanusiaan dan sosial. Dan puasa di bulan Ramadhan yang baru saja kita tunaikan diharapkan mampu menjembatani pembentukan karakter kita dan menginternalisasi nilai-nilai luhur keislaman.
Puasa Ramadhan telah mengajarkan kesederhanaan dan kesabaran mengendalikan diri. Jangankan yang haram, yang halal pun dibatasi dan tidak boleh berlebihan. Maka dengan ibadah puasa dan didikan Ramadhan, watak tamak, rakus, dan sifat buruk kita bisa hilang, setidaknya mampu dikendalikan.
Begitu pun sifat-sifat tercela lainnya, seperti mudah terprovokasi, mudah berkata kotor, mudah menghina, mencaci, menyebar hoaks, dengan puasa mestinya bisa dikalahkan. Demikian pula sikap korup di sebagian elit pejabat serta sikap brutal di kalangan generasi muda hendaknya bisa disembuhkan.
Ma'asyiral Muslimin Jamaah Shalat Idul Fitri yang Dirahmati Allah
Selanjutnya, puasa Ramadhan diharapkan mampu menjadikan kita sebagai pribadi yang disiplin dan taat aturan. Jamaah sekalian, pada saat berpuasa, sadar tidak sadar kita dilatih untuk patuh aturan. Dalam kaitan ini adalah aturan syariat. Berpuasa harus sesuai syarat dan rukun. Makan sahur dan berbuka sesuai waktu yang telah ditetapkan. Tak hanya itu, kita juga dilatih meninggalkan hal-hal yang mengurangi keutamaan dan pahala puasa.
Maka selepas Ramadhan kita seharusnya menjelma menjadi yang sosok yang patuh dan disiplin aturan. Berbicara kedisiplinan tentu mencakup segala bidang, dimulai dari aturan atau norma yang berlaku, setidaknya terhadap empat norma yang berlaku, yaitu norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum.
Hari ini kita sendiri mengaku sebagai penganut agama, tapi terkadang gemar mengabaikan aturan. Patuh pada norma tertentu, tapi suka melanggar norma yang lain. Di luar sana, banyak yang patuh terhadap aturan syariat, tetapi mengesampingkan aturan bernegara. Padahal, ketaatan terhadap pemerintah juga diperintah oleh agama. Demikian sebagaimana salah satu ayat Al-Quran:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil-amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu," (QS. An-Nisa [4]: 59).
Ma'asyiral Muslimin Jamaah Shalat Idul Fitri yang Dirahmati Allah
Terakhir, jamaah sekalian, puasa Ramadhan diharapkan mampu membuat kita peduli terhadap sesama dan lingkungan. Selama sebulan, kita belajar menahan lapar, turut merasakan bagaimana laparnya kaum lemah dan papa. Mengapa tak cukup juga menyadarkan kita akan derita mereka. Didikan zakat, infak, dan sedekah mengapa tak juga membiasakan kita di bulan-bulan biasa untuk menyantuni fakir-miskin, anak-anak yatim, atau orang-orang yang dilanda bencana.
Sekali lagi, ini semua mengajarkan kita agar menjadi hamba yang peduli dan memiliki jiwa sosial. Di saat yang sama, puasa juga harus membangunkan kita akan penyebab bencana dan kerusakan alam yang terjadi sekitar kita.
Sehingga inilah saatnya kita peduli dan beraksi nyata terhadap lingkungan sekitar. Mulai dari yang terkecil sampai hal yang lebih besar. Mulai menjaga sampah, sampai menanami lingkungan yang gundul dengan pepohonan. Keutamaannya pun cukup besar. Selain bisa menjaga kelestarian sebagai tempat kita tinggal, juga bernilai sedekah bagi kita. Bahkan, menjadi simpanan kebaikan pada hari Kiamat. Demikian seperti yang disampaikan Rasulullah SAW:
"Tiada seorang Muslim yang menanam pohon kecuali apa yang dimakan (orang lain) bernilai sedekah, apa yang dicuri darinya juga bernilai sedekah," (HR. Muslim).
Akhirnya kita memohon ampun kepada Allah atas segala kekurangan dan kekhilafan dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, seraya memohon taufiq dan petunjuk-Nya agar senantiasa diberi bimbingan dan perlindungan dalam setiap tindak tanduk dan perilaku kita.
Atas nama pribadi, khatib haturkan mohon maaf atas segala khilaf dan salah. Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1446 H.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali kepada fitrah dan meraih kemenangan, serta memasukkan kita semua sebagai golongan hamba yang benar-benar mencapai ketakwaan. Amin ya robbal alamin.
(Khotbah II: Ditutup dengan salam, takbir Idulfitri, pujian kepada Allah dan selawat untuk Rasulullah ﷺ)
Contoh Khotbah Idulfitri 2025 dari Muhammadiyah
Judul: Manusia, Tauhid, dan Kemuliaan
Oleh: Syafiq A Mughni (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
(Khotbah I: Dibuka dengan salam, takbir Idulfitri, pujian kepada Allah dan selawat untuk Rasulullah ﷺ)
Kaum muslimin yang berbahagia
Dalam kesempatan yang baik ini, marilah kita bersyukur kepada Allah SwT atas nikmat dan karunia yang dicurahkan kepada kita. Nikmat yang jumlah dan ragamnya tidak terhingga, dan nilainya yang luar biasa bagi kita itu wajib kita syukuri. Sekalipun mungkin kita pernah mengalami hidup susah akibat ujian atau cobaan yang menimpa kita, marilah kita jadikan itu sebagai momen untuk muhasabah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bersyukur adalah wajib hukumnya, tapi tidak semua orang bisa bersyukur, seperti kata Allah
dan hanya sedikit dari hambaku itu yang bersyukur.
Mudah-mudahan kita tergolong dalam hambanya yang bersyukur itu, sehingga akan mendapatkan tambahan nikmat baik secara kuantitas atau jumlah dan ragam nikmat, atau pun secara kuantitas, yaitu nilai dan berkah dari nikmat itu.
'Idul Fithri bermakna kembalinya fitrah. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai manusia yang mulya dan berstruktur terbaik secara jasmaniyah maupun ruhaniyah.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)." (Qs at-Tin ayat 4-5)
"Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." (QS al-Isra' ayat 70).
Tetapi setelah lahir di dunia ini, banyak manusia yang gagal mempertahankan fitrahnya itu, sehingga statusnya jatuh menjadi manusia yang berada di tingkat yang paling rendah
Kehidupan dunia yang penuh godaan dan rayuan, permainan dan kenaifan, menjadikan manusia lupa diri, menjadikan dirinya kotor, berlumuran dosa dan penyimpangan. Maka berbahagialah mereka yang tetap membuat jiwanya suci, dan celakalah mereka yang membuat jiwanya kotor.
Mudah-mudahan amalan dan ibadah kita selama Ramadhan bisa berhasil melakukan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), sehingga benar-benar fitrah itu kembali ke masing-masing diri kita.
Kembali kepada fitrah juga bermakna kembali kepada tauhid, yakni keyakinan atas kesesaan Allah SwT. Bertauhid bermakna meyakini bahwa Allah adalah rabb (tuhan) yang menciptakan dan memelihara alam semesta ini; juga berarti beribadah atau menyembah hanya Allah sebagai satu-satunya ilah (tuhan). Lebih dari itu, tauhid haruslah bertransformasi menjadi tauhid ijtimaiyah, yang hadir dalam dunia nyata yang harus kita wujudkan dalam bentuk pemulyaan, solidatitas, dan saling menghormati antar sesama manusia.
Dengan tauhid, kita harus berjuang melawan ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia lainnya, serta diskriminasi. Bertauhid juga bermakna menjauhkan dari dari kemusyrikan, takhayul dan khurafat, juga sinkretisme atau pencampuradukan aqidah dan relativisme agama atau memandang bahwa semua agama sama benarnya. Dengan demikian, maka tauhid tidak hanya berada pada tataran teologis (keyakinan), dan ritual (ibadah) tetapi juga pada tataran sosial (hubungan dengan manusia) dan tataran ekologis (hubungan dengan lingkungan) sekaligus.
Tauhid adalah fitrah manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT sejak penciptaan prototipenya ( عالم المثال ). Pada saat itulah Allah bertanya kepada manusia, "Apakah Aku bukan tuhanmu," maka manusia menjawab "ya, betul, kami bersaksi."
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab "Betul, kami bersaksi." Kami lakukan yang demikian itu, agar di hari kiamat kamu tidak katakan "Sesungguhnya kami lengah ketika itu." (Qs al-A'raf [7]: 172).
Mari kita mantabkan tauhid kita dengan keyakinan dan perbuatan sesuai dengan jalan atau garis yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Semangat tauhid itu harus memancar pada sikap setiap Muslim untuk memuliyakan manusia. Membangun persaudaraan, empati, solidaritas, dan saling menolong adalah manifestasi keimanan kita. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan inilah yang ditekankan dalam kehidupan pada bulan Ramadlan. Kita harus mampu mengekang hawa nafsu, seperti amarah, mengumpat, menyakiti orang lain, dan sebaliknya kita didorong untuk bersikap lemah lembut, bersedekah dan membayar fitrah. Apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW harus menyentuh kesadaran kita bersama. Nabi SAW bersabda:
"Wahai manusia, sebarluaskan perdamaian, berilah makan, jalinlah silaturrahim, dan shalatlah pada waktu malam ketika manusia sedang tidur, engkau akan masuk surga dengan damai." (HR Tirmidzi).
Hadis Nabi tersebut mengajarkan agar kita menjadi sumber kedamaian dan menegakkan perdamaian; mengajarkan kita memperhatikan nasib para fuqara' dan masakin serta orang-orang yang sedang menderita pada umumnya; mengajarkan kita untuk menyayangi sesama, dan tidak menunjukkan permusuhan; mengajarkan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah di keheningan malam. Islam sesungguhnya adalah agama kemanusiaan yang menjunjung tinggi kehormatan dan kemuliaan manusia.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT semenjak Nabi Adam AS sampai dengan Nabi Muhammad SAW untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Islam adalah agama yang mengajarkan kemajuan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kalau kita memahami ajaran Islam dengan benar dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, maka umat Islam akan menjadi umat yang maju. Kalau masih terbelakang, berarti ada yang salah dalam memahami dan mengamalkan Islam. Karena itu, mari kita terus belajar dan berjuang untuk mewujudkan ajaran Islam sehingga menjadi rahmat bagi dunia seisinya. Allah juga telah menitahkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang telah diciptakan bagi seluruh manusia
Dan demikian juga Allah menjadikannya sebagai umat yang terbaik, teradil, untuk menjadi bukti kebenaran dan keunggulan Islam bagi seluruh umat manusia
Dengan kualitas umat yang unggul, maka Allah memberikan mandat kepada kita untuk mengatur kehidupan di muka bumi ini supaya dunia menjadi aman dan damai. Umat Islam harus aktif dalam perjuangan mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Allah berfirman
Allah akan menagih apa yang kita lakukan selama hidup ini. Dengan peran sebagai khalifah di muka bumi, maka akan terlahir masyarakat dan negara yang baik. "Walau anna ahlal qura amanu wa ttaqau lafatahna alaihim barakatin minas samawati wal arrdl, wa lakin kadzdzabu faakhadznahum bima kanu yaksibun."
Seandainya suatu bangsa itu beriman dan bertaqwa, pasti akan Kami bukakan pintu barakah dari langit dan bumi." Sebaliknya, "Walakin kazzabu fa akhadzna hum bima kanu yaksibun." Tetapi karena mereka mendustakan, maka Kami hukum akibat dari apa yang mereka lakukan." Karena itu, umat Islam memiliki kewajiban dan tanggung jawab atas pengelolaan masyarakat dan negara atas landasan iman dan takwa, atas landasan budi luhur, dan menentang pengelolaan yang kotor, korup, dhalim, karena akan menyebabkan hilangnya berkah.
Kekayaan negara tidak akan membuahkan berkah bagi rakyat tetapi bahkan melahirkan penderitaan jika dilola dengan hawa nafsu dan keserakahan, tidak dilola dengan semangat akhlakul karimah agar mendapatkan ridla Allah SWT.
Kita bersyukur bahwa jumlah Islam mengalami perkembangan yang paling cepat dibanding pemeluk agama lain. Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa beliau akan bangga dengan umatnya yang banyak.
Umat Islam adalah umat yang paling cepat berkembang sehingga pada 2050 nanti atau sekitar 25 tahun lagi, umat Islam akan menjadi umat terbesar dibandingkan dengan umat agama lain.
Ini suatu hal yang menggembirakan. Namun demikian, dengan jumlah besar tanpa dibarengi kualitas, umat Islam akan menjadi umat yang terombang-ambing karena dikendalikan oleh minoritas yang kuat. Karena itu, tidak ada pilihan kecuali kita berjuang untuk meningkatkan kualitas umat Islam agar bisa berperan dalam menentukan arah kehidupan global.
Dengan kualitas yang baik dan ukhuwah yang kuat, insya Allah umat Islam akan berjaya. Jika kejayaan ini pernah terjadi di masa lampau pada masa keemasan Islam, maka tidak mustahil itu akan terjadi di masa-masa mendatang. Ini tergantung pada kesungguhan kita menghadirkan kembali masa keemasan itu.
Islamofobia (ketakutan terhadap Islam) masih terjadi sampai sekarang, bisa jadi karena pertumbuhan umat Islam yang luar biasa sehingga dipandang sebagai ancaman, tetapi juga bisa karena mereka tidak memahami Islam. Mereka memandang Islam agama teroris, radikal, dan terbelakang.
Dalam situasi seperti itu, maka umat Islam harus menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan keadilan. Islam adalah rahmat bagi semua manusia. Islam adalah agama yang mencerahkan, menuntun manusia dari alam kegelapan menuju alam terang benderang.
Dalam suasana 'idul Fithri ini marilah kita saling memaafkan, saling mendoakan agar semua amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT.
(Khotbah II: Ditutup dengan salam, takbir Idulfitri, pujian kepada Allah dan selawat untuk Rasulullah ﷺ)
Simak juga Video: Menag Imbau Umat Muslim Indonesia Jaga Keamanan Selama Lebaran
(wia/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini