Jakarta -
Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China semakin panas. Kedua negara dengan kapasitas ekonomi besar itu saling berbalas mematok tarif impor yang tinggi.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan untuk menaikkan tarif impor bagi China menjadi 125% pada Rabu, hanya beberapa jam setelah China menaikkan bea masuk atas barang-barang AS menjadi 84%. Dengan alasan kurangnya rasa hormat terhadap AS, Trump membedakan China dari negara-negara lain.
Kala negara lain termasuk Indonesia mendapatkan penundaan kebijakan tarif impor tinggi, tarif buat China justru diketok makin besar nilainya. Hal ini diumumkan Trump secara langsung lewat media sosialnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China kepada Pasar Dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dibebankan ke China oleh Amerika Serikat menjadi 125%, berlaku segera," kata Trump dalam unggahan media sosialnya dikutip dari CNN, Kamis (10/4/2025).
Saling serang tarif antara AS dan China mengancam kenaikan harga bagi konsumen di AS dan menggagalkan upaya China untuk menyegarkan kembali ekonominya yang lesu. Banyak pihak menilai respons China menandakan tekadnya untuk tidak tunduk pada tekanan Trump, meskipun ada risiko.
"Jika AS bersikeras untuk lebih meningkatkan pembatasan ekonomi dan perdagangannya, China memiliki kemauan yang kuat dan sarana yang melimpah untuk mengambil tindakan balasan yang diperlukan dan berjuang sampai akhir," kata Kementerian Perdagangan China sebelum mengumumkan kenaikan tarif terbarunya, dikutip dari AP.
Dilihat dari neraca perdagangan, AS selama ini mengekspor barang dengan total US$ 199 miliar ke China. Sementara itu, negeri Paman Sam mengimpor barang dari China hingga US$ 463 miliar. Jelas neraca dagang AS dengan China mengalami defisit besar sekali.
Ekspor utama AS ke China pada 2024 meliputi kacang kedelai, pesawat terbang, farmasi, dan semikonduktor. Di sisi lain, ponsel, komputer, mainan, dan pakaian termasuk komoditas yang jadi impor utama dari China oleh AS. China yang selama ini menjadi raksasa manufaktur dunia merupakan sumber impor utama AS sejak 2022.
Kronologi Perang Tarif
Mulanya, Trump memang sudah mengenakan tarif 10% ke semua barang impor dari China pada Februari. Keputusan ini dikaitkan dengan dugaan peran negara itu dalam membantu imigrasi ilegal dan memasukkan fentanil ke AS. Tak lama kemudian, tarif tersebut dinaikkan menjadi 20%.
Nah pada 2 April lalu, Trump mengumumkan pemberlakuan tarif impor ke banyak negara, saat itu China dikenai tarif sebesar 34% yang mulai berlaku 9 April. Indonesia sendiri kala itu terkena tarif impor hingga 32%.
Sebagai balasan, China justru mematok balik tarif 34% terhadap produk impor dari AS. Pemerintah AS pun meminta China membatalkan tarif tersebut, dan bernegosiasi. Namun China tetap teguh tak mau melakukannya.
Tak terima, AS kembali menaikkan tarif impor barang dari China. Penambahan dilakukan sampai 50%, alhasil bila diakumulasi tarif yang ditetapkan Trump ke China melonjak jadi 84%. Bila ditambah dengan tarif 20% yang sudah ada sejak bulan Februari maka tarif barang impor dari China ke AS menjadi 104%.
Merespons hal itu, China kembali melawan dengan membalas tarif yang ditetapkan AS senilai 50%. Jadi bila ditotal secara resmi, China mematok tarif impor untuk barang asal AS sebesar 84%.
Trump pun kembali menyerang China, per hari Rabu kemarin dia menambahkan lagi nilai tarif impor untuk China hingga menjadi 125%. Sampai saat ini belum ada informasi balasan dari pemerintah China soal besaran tarif baru yang ditetapkan Trump.
Padahal di waktu yang sama, Trump sebetulnya memangkas sementara seluruh tarif tinggi yang ditetapkan ke berbagai negara menjadi hanya 10%, tak terkecuali Indonesia yang awalnya terkena tarif 32% pun ikut dipangkas. Penundaan tarif tinggi itu berlaku hingga 90 hari ke depan.
(hal/acd)