Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mencabut sanksi terhadap Suriah setelah jatuhnya rezim Bashar Al Assad. Suriah memuji keputusan Trump, sementara Israel kecewa.
Dirangkum, Kamis (15/5/2025), Trump mengungkapkan keputusan 'pengampunan' kepada Suriah ini diputus setelah dia berdiskusi dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, serta Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Trump mengatakan rencana ini saat memberi sambutan di Forum Investasi Saudi di Riyadh.
"Suriah telah mengalami banyak tragedi, perang, dan pembunuhan selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya pemerintahan saya telah mengambil langkah pertama untuk memulihkan hubungan normal antara Amerika Serikat dan Suriah untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade," kata Trump sebagaimana dilansir CNN, Rabu (14/5).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pencabutan sanksi itu diketahui adalah kemenangan bagi pemerintah Suriah yang saat ini dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, yang merebut kekuasaan setelah kekalahan telak rezim Assad pada Desember tahun lalu.
Trump kemudian mengungkapkan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Suriah. Pertemuan ini akan berlangsung di Turki pada akhir pekan ini.
"Sanksi itu brutal dan melumpuhkan serta berfungsi sebagai fungsi penting - benar-benar penting - pada saat itu. Namun, sekarang saatnya mereka bersinar," kata Trump.
"Jadi, saya katakan, 'Semoga berhasil, Suriah.' Tunjukkan kepada kami sesuatu yang sangat istimewa," imbuhnya.
Trump menyatakan harapan bahwa pemerintahan baru Suriah "mudah-mudahan akan berhasil menstabilkan negara dalam menjaga perdamaian."
Suriah Memuji
Ahmed al-Sharaa (Foto: DW (News)
Dalam pidato terbarunya yang disiarkan televisi Suriah, seperti dilansir AFP, Kamis (15/5), Al-Sharaa menyebut langkah Trump itu "merupakan keputusan yang bersejarah dan berani, yang meringankan penderitaan rakyat, berkontribusi pada kelahiran kembali, dan meletakkan dasar bagi stabilitas di kawasan tersebut".
Trump secara mengejutkan mengumumkan pencabutan sanksi terhadap Suriah saat berbicara dalam Forum Investasi Arab Saudi-AS di Riyadh pada Selasa (13/5), yang disebutnya akan memberikan negara itu "kesempatan menjadi hebat."
Sehari setelah itu, Trump bertemu dengan Al-Sharaa di Riyadh, yang menjadi pertemuan pertama antara pemimpin AS dan Suriah dalam seperempat abad terakhir.
Putra Mahkota Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) turut menghadiri pertemuan itu, yang juga dihadiri oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara virtual.
Tidak hanya itu, Trump juga mengatakan bahwa AS sedang menjajaki normalisasi hubungan dengan Suriah setelah dirinya bertemu Al-Sharaa.
Al-Sharaa, dalam pidatonya, mengucapkan terima kasih kepada MBS yang menyelenggarakan pertemuan itu, juga kepada Erdogan -- yang menjadi pendukung utama pemerintahan baru Damaskus -- atas perannya dalam pertemuan tersebut.
"Rakyat Suriah, jalan di depan kita masih panjang. Hari ini kita memulai pekerjaan nyata, yang dengannya Suriah akan terlahir kembali," cetus Al-Sharaa.
Perang sipil yang berkecamuk di Suriah sejak tahun 2011 lalu, telah menewaskan lebih dari setengah juta orang, memaksa jutaan orang lainnya mengungsi dan menghancurkan negara tersebut. AS menjatuhkan rentetan sanksi keuangan yang luas terhadap Suriah selama perang berlangsung.
Saat mengumumkan rencana pencabutan sanksi-sanksi itu, Trump tidak memberikan indikasi bahwa AS akan mencoret Suriah dari blacklist negara sponsor terorisme -- penetapan sejak tahun 1979 atas dukungan negara itu terhadap militan Palestina yang sangat menghambat investasi.
Israel Kecewa
Netanyahu dan Trump saat bertemu di Gedung Putih pada April lalu (Foto: REUTERS/Kevin Mohatt/File Photo Purchase Licensing Rights)
Keputusan Trump itu mengguncang asumsi Israel tentang posisi negara mereka dengan AS, sekutu terpentingnya. Terlebih diungkapkan seorang pejabat Tel Aviv bahwa Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu telah meminta Trump untuk tidak mencabut sanksi terhadap Suriah saat berkunjung ke Washington bulan lalu.
Keputusan Trump untuk mengabaikan permintaan Israel selama kunjungannya ke Timur Tengah pekan ini, dipandang sebagai penanda meningkatnya fokus pemerintahannya pada kesepakatan bisnis yang menguntungkan dengan negara-negara Teluk yang kaya.
Bahkan sebelum Trump memulai kunjungannya, Israel sudah gelisah soal pembicaraan AS dengan musuh bebuyutannya Iran dan soal keputusan Trump untuk menghentikan pengeboman terhadap Houthi di Yaman, terlepas dari tekad kelompok yang didukung Iran itu untuk terus melancarkan serangan terhadap Tel Aviv.
Para pejabat Israel "dipaksa" untuk terdiam dan menyaksikan AS berunding untuk mencapai kesepakatan dengan kelompok Hamas demi memulangkan sandera Amerika-Israel, Edan Alexander -- sandera Amerika terakhir yang masih ditahan di Jalur Gaza.
Para pejabat Israel terkesan berhati-hati dan menghindari kritikan apa pun terhadap pemerintahan AS. Netanyahu sejauh ini belum memberikan komentar, selain berterima kasih kepada Trump karena membantu pembebasan Alexander.
"Amerika Serikat merupakan negara yang berdaulat," kata juru bicara Kementerian Luar Israel minggu ini, ketika ditanya apakah ada kekhawatiran bahwa Tel Aviv telah dikesampingkan terkait pembebasan Alexander yang dilakukan menyusul pembicaraan tanpa melibatkan negara Yahudi tersebut.
(lir/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini