Jakarta -
Ketika dunia bergerak cepat dan cenderung mudah melupakan, nama negarawan Dr. Mahathir Mohamad justru terus diingat. Di usia 99 tahun, memasuki satu abad perjalanan hidupnya pada tanggal 10 Juli 2025, ia masih menulis, berbicara di forum internasional, mengkritik penguasa, dan tak jarang bercanda tajam di Twitter. Tak ada tanda-tanda pelambatan, seolah waktu memilih menyerah menghadapi keteguhan seorang Mahathir.
"Pada pertengahan tahun 2025, akan genaplah usia saya 100 tahun. Insya-Allah, jika saya masih bernafas, ia adalah satu perjalanan yang panjang dan penuh dengan dugaan. Alhamdulillah, setakat ini saya dikurniakan kesihatan yang agak baik, masih boleh berdiri, berjalan dan berfikir dengan waras. Satu abad adalah jangka masa yang lama. Di usia ini, saya bernasib baik dapat bersama dalam mengharungi detik-detik penting di dalam sejarah negara. Saya tak pernah bercita-cita untuk menjadi tua. Tapi Tuhan memberi saya umur panjang, dan saya gunakan sebaik mungkin," ujar Dr. Mahathir Mohamad dikutip Suara.TV, Selasa 31 Desember 2024.
Bukan hanya mantan Perdana Menteri Malaysia terlama, Dr. Mahathir Mohamad adalah pemimpin tertua di dunia yang terpilih melalui pemilu demokratis, ketika kembali menjabat Perdana Menteri Malaysia di usia 93 tahun pada 2018. Tapi pencapaian utama Mahathir bukan semata jabatan—melainkan kemampuan melintasi zaman tanpa kehilangan ketajaman berpikir dan kepekaan pada keadaan bangsa Melayu dan negaranya Malaysia.
Ditempa dan Dibentuk dengan Disiplin Keras
Alor Setar, Malaysia, 10 Juli 1925. Di sebuah rumah kayu sederhana, lahirlah bayi lelaki yang kemudian diberi nama Mahathir bin Mohamad. Ia adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara, dibesarkan dalam keluarga Muslim-Melayu dengan disiplin kuat. Ayahnya, Mohamad Iskandar, adalah kepala sekolah yang keras, perfeksionis, dan sangat peduli pada pendidikan. Ibunya, Wan Tempawan, perempuan sabar yang mendidik anak-anak dengan kasih dan keteguhan hati.
Masa kecil Mahathir jauh dari gelimang kemewahan. Saat Jepang menduduki Malaya pada 1941–1945, sekolah-sekolah tutup, makanan langka, dan ketakutan menjadi bagian dari keseharian. Mahathir remaja membantu keluarga dengan berjualan pisang goreng, nasi lemak, dan kue di pasar. Sejak itu ia belajar satu hal penting: jika ingin mengubah nasib, harus mengandalkan ilmu dan kerja keras.
"Ayah saya sangat keras. Tapi saya bersyukur, karena jika tidak, saya mungkin jadi anak manja yang tidak berani berpikir," kenang Mahathir dalam memoarnya A Doctor in the House.
Kemiskinan Bangsa Melayu dan Kegelisahan Seorang Dokter
Pada 1947, Mahathir diterima di King Edward VII College of Medicine di Singapura. Ia menempuh pendidikan dengan tekun dan lulus pada 1953, menjadi dokter Melayu pertama dari Alor Setar yang mendapat lisensi praktik dari Inggris. Tapi alih-alih tinggal di kota besar atau ke luar negeri, ia pulang ke kampung halamannya.
Di Alor Setar, ia membuka Klinik Maha—klinik swasta yang melayani pasien warga Melayu dengan biaya murah. Di sinilah Mahathir mengenal lebih dalam wajah kemiskinan bangsanya. Ia menyadari bahwa banyak pasiennya sakit bukan karena virus, tapi karena keterbelakangan, kurang gizi, dan kemiskinan struktural.
"Di balik setiap pasien saya, ada masalah sosial. Saya bisa memberi obat, tapi tidak bisa menyembuhkan sistem yang menindas," tulisnya dalam memoar.
Di klinik itulah Mahathir mulai berubah—dari dokter menjadi pemikir sosial, dari pengobat tubuh menjadi penyembuh bangsa. Ia menulis ratusan artikel dengan nama pena "Che Det" di koran-koran lokal, membahas kemiskinan, pendidikan, dan identitas Melayu.
The Malay Dilemma: Suara yang Dilarang, Ide yang Menang
Pada 1970, Mahathir menulis The Malay Dilemma, buku yang kemudian mengguncang lanskap politik Malaysia. Dalam buku itu, ia menyebut bahwa bangsa Melayu terlalu lama dipinggirkan, dan butuh kebijakan afirmatif untuk mengejar ketertinggalan. Ia mengkritik feodalisme Melayu, dominasi ekonomi warga keturunan Tionghoa, dan ketergantungan pada pemerintah kolonial.
Buku itu langsung dilarang oleh pemerintah Malaysia saat itu. Tapi justru dari larangan itulah Mahathir dikenal luas. The Malay Dilemma diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan menjadi rujukan utama kebijakan New Economic Policy yang memperjuangkan keterlibatan lebih luas kaum Bumiputera dalam ekonomi nasional.
"Kalau saya tak dilarang, mungkin tak ada yang baca buku itu," candanya dalam wawancara dengan BBC (2018).
Sejak saat itu, Mahathir tak lagi dilihat sebagai dokter biasa. Ia telah bermetamorfosis menjadi cendekiawan Malaysia yang berani bicara soal ras, kelas, dan keadilan sosial. Seorang penulis yang menjelma menjadi politisi.
Dari Pengasingan Kembali ke Panggung Politik
Pemecatan Mahathir dari UMNO pada 1969 setelah menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman bukanlah akhir. Justru, itu adalah awal dari transformasi besar. Ia tetap menulis, tetap bicara, dan tetap mengobati masyarakat di Klinik Maha.
Pada 1972, ketika Tun Abdul Razak menjadi Perdana Menteri Malaysia, Mahathir diundang kembali ke UMNO. Dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai Senator, dan tak lama kemudian menang tanpa lawan di konstituensi Kubang Pasu. Di sinilah Mahathir mulai membangun kembali kredibilitasnya sebagai politisi yang matang dan berintegritas.
Karier politik Mahathir terus menanjak seiring perjuangannya untuk bangsa Melayu. Semasa menjabat Menteri Pendidikan (1974–1977), ia mendorong penggunaan bahasa Melayu dalam institusi pendidikan tinggi, memperluas akses sekolah di pedesaan, dan memperjuangkan pendidikan sebagai senjata utama melawan kemiskinan.
Tahun 1976, Mahathir dilantik menjadi Wakil Perdana Menteri Malaysia. Lima tahun kemudian, ketika Hussein Onn mundur karena alasan kesehatan, Mahathir dilantik sebagai Perdana Menteri Malaysia ke-4 pada tanggal 16 Juli 1981.
Ia datang dengan semangat revolusioner. Dalam pidato pertamanya sebagai PM Malaysia, Mahathir menggaungkan pemerintahan yang "Bersih, Cekap, Amanah."
Proton, Revolusi Industri & Modernisasi Malaysia
Era Mahathir sebagai Perdana Menteri berlangsung selama 22 tahun (1981–2003)—periode terlama dalam sejarah Malaysia modern. Sejak awal, ia menolak menjadi 'penjaga warisan' dan memilih menjadi 'pengubah arah bangsa'.
Visinya jelas, Malaysia harus menjadi negara industri. Ia menyiapkan Wawasan 2020, yaitu target menjadikan Malaysia negara maju pada tahun 2020. Ia membentuk banyak program dan institusi strategis: Proton (1983) sebagai mobil nasional pertama, simbol kemandirian industri. Putrajaya (1995) sebagai pusat pemerintahan baru modern dan teratur. KLIA & Menara Kembar Petronas sebagai lambang kebanggaan nasional. Multimedia Super Corridor (MSC) sebagai proyek ambisius untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat teknologi Asia.
Tapi Mahathir tak hanya bicara infrastruktur. Ia juga menekankan pembangunan sumber daya manusia, nasionalisme ekonomi, dan penguatan identitas Melayu. Tentu, tidak semua langkahnya mulus. Ia sering dikritik karena gaya kepemimpinannya yang otoriter. Tapi satu hal yang tak bisa dibantah: ia bekerja keras, berpikir keras, dan mendorong bangsanya keluar dari zona nyaman.
"Saya tidak percaya bahwa orang miskin harus tetap miskin. Saya juga tidak percaya bahwa negara kecil harus tetap kecil," kata Mahathir dalam Asian Leadership Conference tahun 1996.
"Saya Tidak Mau Diperintah Orang Asing"
Puncak ujian terbesar Mahathir datang pada krisis keuangan di Asia tahun 1997–1998. Ketika Thailand terjungkal, nilai ringgit ikut merosot drastis. Investor asing kabur, dan ekonomi Malaysia berada di ujung tanduk.
Ketika itu Mahathir menolak resep standar IMF yang dijalankan negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Korea Selatan. Ia menolak devaluasi besar-besaran, menolak menjual aset negara, dan menolak tunduk pada kebijakan ekonomi neoliberal. Sebaliknya, ia menerapkan kontrol mata uang ringgit terhadap dolar AS, serta larangan spekulasi dan penguatan lembaga keuangan nasional.
Langkah Mahathir dikritik oleh Barat dan sebagian ekonom. Tapi dalam dua tahun, ekonomi Malaysia mulai pulih tanpa intervensi IMF. Bahkan kini, langkah itu diakui sebagai contoh keberanian melawan dogma ekonomi global.
Namun di saat bersamaan, Mahathir menghadapi badai politik internal. Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim, yang sempat dianggap sebagai pemimpin penerus pemerintahan, mulai menantang kepemimpinan Mahathir secara terbuka. Puncaknya: Anwar dipecat dan dipenjara pada 1998, dengan tuduhan korupsi dan sodomi yang kontroversial.
Rakyat turun ke jalan. Gerakan Reformasi lahir. Malaysia terbelah. Namun Mahathir tetap bertahan di kursi perdana menteri sampai ia mengumumkan pengunduran dirinya tahun 2003, menyerahkan kekuasaan kepada Abdullah Ahmad Badawi.
"Saya telah melakukan yang terbaik yang saya bisa. Biarlah sejarah yang menghakimi," ujar Mahathir dalam pidato perpisahannya.
Mahathir & Anwar: Kawan vs Lawan yang Kembali Berkawan?
Dalam politik Malaysia, tidak ada drama yang lebih kompleks dan emosional selain kisah Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim. Mahathir pernah menyebut Anwar sebagai "anak politiknya", sementara Anwar mengaku menjadikan Mahathir sebagai "tokoh panutan sejak remaja".
Namun krisis ekonomi 1997 mengubah segalanya. Perbedaan pendekatan ekonomi, ambisi kepemimpinan, dan tekanan dari dalam UMNO membuat Mahathir memecat Anwar dari jabatan Wakil Perdana Menteri pada September 1998. Tidak berhenti di sana, Anwar lalu ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, memicu gelombang kemarahan rakyat.
Gerakan Reformasi pun lahir. "Mahathir adalah diktator," teriak massa. Ia dituduh menggunakan sistem hukum untuk menghancurkan lawan politik. Reputasinya sebagai arsitek modern Malaysia bersanding dengan label baru: otoriter, represif, dan anti-demokrasi.
Namun dua dekade kemudian, hal yang tak terbayangkan pun terjadi: Mahathir dan Anwar berdamai. Di usia 91 tahun, Mahathir muncul di pengadilan untuk mendukung Anwar yang sedang mengajukan gugatan konstitusional. Tahun 2017, keduanya berdiri bersama dalam satu panggung, menyerukan perubahan demi menjatuhkan pemerintahan Najib Razak yang dililit skandal 1MDB.
"Demi negara, saya sanggup bekerja sama dengan Anwar. Kami harus lupakan masa lalu," ujar Mahathir dalam pidatonya di Shah Alam (2018).
Comeback di Usia 93 Tahun: Kemenangan Politik Paling Menggetarkan
Hari itu, 9 Mei 2018, dunia tercengang. Koalisi Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir mengalahkan Barisan Nasional, koalisi yang sudah berkuasa di Malaysia sejak kemerdekaan. Mahathir, di usia 93 tahun, menjadi kepala pemerintahan tertua di dunia yang terpilih secara demokratis. Ia bukan lagi tokoh establishment, melainkan pemberontak sistem yang membuktikan dirinya tak bisa diremehkan.
Media internasional memujinya. The Economist, BBC, dan Al Jazeera menyebut Mahathir sebagai "satu-satunya politisi Asia yang dua kali menjatuhkan sistem yang ia bangun sendiri."
Di bawah Koalisi Harapan, Mahathir berjanji menyingkirkan undang-undang kolonial seperti ISA, membersihkan pemerintahan dari korupsi, mendorong multikulturalisme yang sehat, membebaskan Anwar Ibrahim dan menyerahkan kekuasaan kepadanya setelah 2 tahun.
Tapi membangun kepercayaan ternyata lebih mudah daripada mengelola koalisi yang penuh ambisi dan ketidakpercayaan.
Jatuhnya Koalisi Harapan dan Akhir Kedua
Janji Mahathir Mohammad untuk menyerahkan kekuasaan kepada Anwar Ibrahim dalam dua tahun tidak pernah terpenuhi. Ketegangan internal dalam koalisi, tekanan dari partai-partai konservatif, dan ketidakpastian arah politik membuat rakyat mulai kecewa. Puncaknya, pada Februari 2020, Mahathir mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, memicu kekacauan politik nasional. Dalam hitungan hari, Pakatan Harapan runtuh, dan sebuah koalisi baru terbentuk tanpa pemilu—dikenal sebagai "Langkah Sheraton". Mahathir kemudian mengaku kecewa.
"Saya tidak berniat mengkhianati siapa pun. Tapi saya tidak bisa memimpin jika tidak ada kepercayaan," katanya dalam wawancara di TV3 (2020).
Setelah kejatuhannya, Mahathir mencoba membentuk partai baru (Pejuang), namun gagal meraih kekuatan berarti dalam pemilu berikutnya. Ia kalah di Langkawi—kawasan yang dulu ia bangun menjadi destinasi wisata dunia. Tapi Mahathir bukan manusia yang menyesal. Dalam banyak kesempatan, ia menolak kata "gagal". Ia memilih menyebut hidupnya sebagai "perjalanan mencoba"—mencoba mengubah, mencoba memperbaiki, mencoba menyelamatkan.
Bapak Bangsa Melayu, Arsitek Modernisasi Malaysia
Bagi bangsa Melayu, ia adalah Bapak Bangsa. Bagi negara Malaysia, ia adalah tokoh kunci dan paling mewarnai pembangunan Malaysia. Mahathir membentuk narasi kebangsaan dan arah pembangunan berdasarkan fondasi etnopolitik Melayu. Ia bukan pemimpin inklusif seperti Nelson Mandela atau Lee Kuan Yew yang menghapus garis etnis. Ia justru memelihara garis itu agar stabilitas terjaga. Namun, pengaruhnya terhadap seluruh bangsa Malaysia tetap besar, sehingga bagi kalangan nasionalis moderat, ia disebut sebagai Bapak Pembangunan Nasional atau Arsitek Modernisasi Malaysia.
Mahathir secara konsisten membela, mengangkat, dan memperjuangkan nasib bangsa Melayu. Beberapa alasan kuat mengapa gelar Bapak Bangsa Melayu lebih tepat disematkan kepada Mahathir di antaranya adalah kebijakan Pro-Melayu. Sepanjang masa jabatan Perdana Menteri Malaysia (1981–2003), ia memprioritaskan penguatan ekonomi, pendidikan, dan dominasi politik Melayu.
Mahathir sangat berhati-hati dengan pluralisme yang menurutnya bisa mengancam kestabilan mayoritas bangsa Melayu. Retorika politiknya selalu bermuara pada survival Melayu. Ia memperingatkan tentang "Melayu mudah lupa" dalam banyak pidatonya. Ia menyebut bahwa masa depan Malaysia bergantung pada kekuatan bangsa Melayu. Dalam buku, The Malay Dilemma (1970), Mahathir menulis bahwa Melayu adalah bangsa yang terpinggirkan dan butuh affirmative action. Buku itu menjadi dasar lahirnya New Economic Policy (NEP) yang memperkuat posisi ekonomi-politik Bumiputera.
Sebagai Bapak Pembangunan Nasional dan Arsitek Modernisasi Malaysia, Mahathir memimpin sebagai Perdana Menteri Malaysia lebih lama dari siapa pun (22 tahun), membangun infrastruktur nasional, tidak terbatas pada komunitas Melayu, dan memodernisasi ekonomi dan menciptakan stabilitas nasional. Namun, banyak pihak—terutama dari kalangan non-Melayu (khususnya keturunan Tionghoa dan India)—tidak sepenuhnya dapat menerima Mahathir sebagai Bapak Bangsa Malaysia, karena ia tidak dianggap benar-benar inklusif, terutama dalam isu meritokrasi, pendidikan vernacular, dan multikulturalisme. Kebijakan ekonomi Mahathir dianggap terlalu memihak pada Bumiputera, meskipun atas nama koreksi sejarah.
Usia Senja, Semangat yang Tak Kenal Lelah dan Kalah
Sejak kekalahannya dalam Pemilu 2022, Mahathir seolah menghilang dari dunia politik praktis. Namun, bukan berarti ia pensiun dari ruang publik. Di usia 97, 98, dan menjelang 100 tahun, Mahathir masih menulis opini, membaca surat kabar internasional setiap pagi, dan menanam pohon di kebunnya di Putrajaya.
Ia juga rutin menerima undangan diskusi daring, baik dari universitas luar negeri maupun lembaga think-tank Asia. Bahkan, pada akhir 2023, Mahathir tampil sebagai pembicara kunci dalam Webinar Asia–Muslim Dialogue Forum, membahas posisi negara Muslim dalam ketegangan geopolitik.
"Saya mungkin tua, tapi saya masih punya suara. Saya melihat dunia berubah—kadang baik, kadang menyakitkan. Dan saya masih ingin bicara," tulisnya dalam artikel opini di The Edge (Desember 2023).
Di usia yang bagi kebanyakan orang adalah masa istirahat, Mahathir memilih tetap menjadi pengamat aktif dunia.
Suara dari Malaysia: Palestina, Islam dan Barat
Mahathir dikenal lantang bicara soal konflik Palestina–Israel. Dalam berbagai kesempatan, ia menyebut tindakan Israel terhadap Palestina sebagai bentuk "apartheid modern". Bahkan di usia senjanya, ia masih aktif menyerukan boikot produk pendukung Zionisme.
Selain itu, Mahathir sering mengkritik standar ganda negara-negara Barat. Ia menolak generalisasi Islam sebagai teroris, dan menyatakan bahwa "terorisme juga lahir dari ketidakadilan global."
"Ketika Barat membunuh di Irak dan Afghanistan, mereka menyebutnya 'intervensi'. Ketika seorang Muslim marah, mereka menyebutnya 'teroris'. Dunia ini tidak adil," ujarnya dalam OIC Youth Forum, 2022.
Namun kritik-kritiknya ini juga sering membuatnya dituduh anti-Semit dan terlalu keras terhadap dunia Barat. Banyak NGO HAM di Eropa mengecam pidatonya yang dianggap penuh bias dan menyulut kebencian. Tapi Mahathir tetap bergeming.
Baginya, menjadi pemikir dan penyeru kebenaran artinya juga siap tak disukai.
Dicintai, Dibenci dan Diingat Selamanya
Mahathir adalah pemimpin yang hidup dalam ingatan jutaan orang—bahkan dalam kepala mereka yang membencinya. Di usianya 100 tahun hari ini, ia sudah menjelma menjadi sosok simbolik: tak hanya sebagai tokoh politik, tapi juga sebagai lambang dari zaman yang berubah, dari harapan yang kadang dikhianati oleh kenyataan.
Bagi sebagian rakyat Malaysia, Mahathir adalah bapak pembangunan, simbol keteguhan, dan teladan intelektual. Bagi yang lain, ia adalah pemimpin yang terlalu lama berkuasa, terlalu keras, dan tak pernah benar-benar mau berubah. Namun satu hal tak bisa dibantah: ia bekerja. Ia berpikir. Ia tidak pernah diam. Ia tidak pernah berhenti bergerak.
Warisan Mahathir tidak bisa dikotakkan dalam satu istilah. Ia adalah dokter, reformis, diktator, penyelamat ekonomi, sekaligus pencetus kontroversi. Di satu sisi, ia dianggap sebagai Bapak Pembangunan Modern Malaysia dan arsitek industrialisasi dan nasionalisme ekonomi, serta simbol kekuatan pemimpin Asia yang tidak tunduk pada Barat. Namun di sisi lain ia juga dianggap anti demokrasi karena kerap membungkam media dan oposisi, melegitimasi hukum represif seperti ISA, mendorong narasi politik rasial demi stabilitas jangka pendek
Hidup Panjang Seorang Pemimpin-Pejuang
Bagi Mahathir, umur panjang bukan pencapaian pribadi. Ia menyebutnya sebagai "bonus dari Tuhan untuk terus belajar dan mengingatkan". Dalam wawancara ulang tahun ke-99 dengan The Star, ia mengatakan, "Saya tidak takut mati. Tapi saya lebih takut melihat bangsa saya mati pelan-pelan karena korupsi dan kemalasan berpikir."
Mahathir tetap bangun pukul 6 pagi, membaca tiga koran harian, menonton berita internasional, lalu duduk menulis atau berkebun. Setiap minggu, ia masih menerima tamu—mahasiswa, peneliti, bahkan pemimpin negara sahabat. Ia tak pernah menolak berdiskusi, selama topiknya penting dan bukan basa-basi.
Pada satu kesempatan, seorang jurnalis muda bertanya, "Tun, apakah Anda masih punya impian di usia 100 tahun?"
Mahathir tersenyum lalu menjawab, "Saya ingin melihat anak-anak Malaysia membaca buku lebih banyak daripada bermain TikTok."
Seratus tahun adalah usia yang sangat panjang. Tapi bagi Mahathir Mohamad, waktu bukan sekadar angka—ia adalah ruang perjuangan. Di saat banyak orang pensiun pada usia 60-an, Mahathir justru kembali memimpin di usia 93. Di saat teman-teman seangkatannya sudah dilupakan, ia masih berdiri memberi kuliah umum.
Mahathir adalah paradoks. Ia bukan tokoh yang selalu benar, tapi ia adalah tokoh yang tak pernah berhenti berjuang. Ia bukan tokoh yang sempurna, tapi ia hidup dengan prinsip, berpikir dengan keras, dan mencintai bangsanya dengan caranya sendiri.
Sebagian orang akan terus mengenangnya sebagai arsitek pembangunan Malaysia. Sebagian lagi mungkin mengingatnya sebagai pemimpin keras kepala yang suka kontrol. Tapi satu hal pasti: ia meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus oleh waktu.
"Tak semua orang bisa hidup 100 tahun," tulis seorang kolumnis muda.
"Tapi Mahathir bukan sekadar hidup. Ia meninggalkan jejak sepanjang jalan. Dan kita semua, entah suka atau tidak, melangkah di atas jalan itu."
Warisan untuk Generasi Muda: "Jangan Lemah, Jangan Lupa"
Dalam banyak tulisan dan ceramahnya, Mahathir menekankan bahwa generasi muda harus tahan banting, berpikir keras, dan cinta tanah air. Ia khawatir bahwa generasi baru terlalu cepat puas, terlalu sibuk meniru Barat, dan terlalu nyaman dengan keberhasilan orang tua. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menanggung penderitaan, bukan hanya menikmati hasil," tulis Mahathir dalam Memo Untuk Anak Malaysia (2022).
Ia tak anti terhadap teknologi. Tapi ia percaya bahwa nilai dan identitas nasional harus lebih kuat daripada arus digital global. Baginya, kekuatan bangsa bukan di server atau aplikasi, tapi di karakter manusianya. Mahathir juga berpesan kepada pemimpin-pemimpin masa depan, "Utamakan negara, bukan partai.", "Bekerja dulu, popularitas nanti.", dan "Berpihak pada rakyat, bukan kroni."
Sepanjang hidupnya, Mahathir telah mengucapkan ribuan kalimat yang tajam, menggugah, dan kadang menyakitkan: "Orang yang tidak membaca adalah orang yang kalah sebelum bertanding", "Jangan takut pada bangsa lain. Takutlah jika bangsa sendiri lemah", "Islam tidak menyuruh kita jadi bodoh. Islam menyuruh kita memimpin dunia", "Kamu boleh tidak suka saya, tapi kamu harus akui saya bekerja", "Malaysia bukan punya orang politik. Malaysia milik rakyat."
Selamat Ulang Tahun Satu Abad Tun Dr. Mahathir Mohamad. Terima kasih telah menjadi nyala api inspirasi dari generasi ke generasi.
Zulfikar Fuad, penulis biografi dan sejarawan
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini