Jakarta -
Bulan suci Ramadan membawa berkah bagi kita semua. Namun kesuciannya telah dinodai oleh berita korupsi yang melibatkan para pejabat negeri. Keistimewaan bulan mulia ini ternyata tidak berpengaruh terhadap aktor koruptor untuk menghentikan aksi bejatnya. Koruptor semakin "ugal-ugalan" --yang seharusnya menarik tuas rem justru semakin menginjak pedal gas untuk memenuhi ambisinya. Sungguh ironi namun faktanya demikian.
Terapi puasa diharapkan menjadi instrumen efektif dalam menekan perilaku koruptif. Rasa lapar dan dahaga saat berpuasa telah mengajarkan kita pentingnya saling berbagi antar sesama. Selain ibadah vertikal, giat ibadah horizontal seharusnya meningkat sehingga puasa membentuk kesalehan individual dan kesalehan sosial. Relasi ibadah puasa dengan perilaku anti-koruptif dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu aspek spiritual, aspek psikologis dan aspek sosial.
Pertama, ibadah puasa membentuk seseorang lebih agamis, spiritualitasnya semakin meningkat sehingga syahwat duniawinya semakin terkendali. Ambisi untuk korupsi semakin lenyap dari dalam diri apabila kita menjalani puasa dengan sungguh-sungguh, menjauhkan segala larangan dan mengerjakan semua anjuran. Keinginan korup tidak digubrisnya karena dirinya semakin sadar bahwa puasa merupakan aktivitas kewajiban yang diatur oleh wahyu (revelation).
Ibadah puasa termasuk ibadah sunyi dan khusus serta mendapatkan ganjaran istimewa. Sebab puasa hanya diketahui oleh Sang Pencipta; keluarga terdekatnya sekalipun tidak akan mengetahuinya. Puasa sulit diketahui secara lahiriah karena gestur dan perilaku orang yang tidak berpuasa dapat direkayasa seolah-olah sedang berpuasa. Oleh karena itu, ibadah puasa mengajarkan kita urgensi kejujuran dalam segala urusan. Perilaku koruptif yang kerap dilakukan secara tersembunyi dengan berbagai kebohongan praktis tidak dilakukan oleh orang yang berpuasa; kecenderungan untuk korupsinya semakin hilang karena nilai-nilai kejujuran sudah terinjeksi di dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, ibadah puasa mengajarkan empati. Ibadah puasa diharapkan mampu menumbuhkan kembali etika kepedulian seseorang. Seseorang yang merasakan lapar dan dahaga memberikan pesan bahwa tidak enak menjadi kelompok papa, kebutuhan dasarnya sangat terbatas, jangankan untuk membantu orang lain untuk memenuhi isi dompetnya saja sulit. Oleh karena itu, ibadah puasa merupakan momentum bagi kita untuk terapi kerakusan dan ketidakpedulian terhadap kelompok yang lemah.
Perilaku korupsi merupakan perilaku tercela yang tidak berperikemanusiaan. Akibatnya, semakin banyak angka kemiskinan, kriminalitas meningkat, ujungnya ketahanan nasional semakin dipertaruhkan. Perilaku korupsi yang disebabkan kebutuhan (need) maupun kerakusan (greed) hakikatnya tidak memiliki rasa empati kepada kelompok papa. Tanda tangannya hanya digunakan untuk mengeruk harta meskipun merugikan orang lain. Mereka tidak peduli nasib orang lain, yang penting perutnya kenyang, hidup keluarganya senang.
Ketiga, ibadah puasa juga membentuk kohesi sosial yang semakin solid. Mereka bersama-sama merasakan lapar dan dahaga sehingga memicu untuk saling berbagi antar sesama. Mereka merasa saling memiliki dalam satu kekurangan yang sama sehingga rasa persaudaraan dan kebangsaan semakin meningkat.
Persoalan koruptor adalah mereka tidak memiliki rasa memiliki atas lembaga tempat dia bekerja. Mereka tidak peduli soal anjloknya kepercayaan publik; mereka tidak mengkalkulasi dampak kebangkrutan organisasi; mereka menggadaikan idealismenya demi memenuhi hasrat duniawi. Selain idealisme yang dikubur hidup-hidup, perilaku korupsi juga terjadi karena tidak adanya kepedulian dari publik. Publik sekadar berpangku tangan melihat koruptor berakrobat di panggung negeri sambil mencemoohnya secara getir bukan melaporkan kepada pihak berwajib.
Ibadah puasa juga membentuk integritas kolektif. Persoalan korupsi yang melibatkan aktor-aktor intelektual perlu disikapi dengan strategi komprehensif dan kolaboratif. Pemberantasan korupsi perlu melibatkan berbagai elemen masyarakat sehingga publik semakin termotivasi dalam melaporkan kasus korupsi yang ada di sekitarnya. Yang selama ini publik apatis terhadap pemberantasan korupsi mulai sekarang publik harus bersedia ambil bagian dalam pemberantasan korupsi.
Belum Disikapi Serius
Salah satu persoalan kasus korupsi masih terjadi di negeri kita adalah meredupnya sinar etika kepedulian. Etika kepedulian menyadarkan kita pentingnya menjauhi tindakan korupsi karena dampak kerusakannya yang begitu masif. Tidak hanya dirinya, keluarga dan lingkungannya pun terkena getahnya.
Ironisnya, perbuatan korupsi yang merusak sistem kehidupan berbangsa dan bernegara justru belum disikapi secara serius oleh anak-anak bangsa. Hal ini disebabkan karena warga negara tidak saling menghiraukan antar sesama; kelompok kaya tidak peduli dengan kelompok papa begitupun sebaliknya, kelompok papa tidak percaya diri menghadap kelompok kaya sehingga kepedulian menjadi tambang mewah yang sulit ditemukan akhir ini. Kekayaan hanya dikooptasi oleh segelintir elit orang tanpa terdistribusi secara merata sehingga kelompok kaya semakin sejahtera sedangkan kelompok papa semakin sengsara.
Terapi puasa semakin mengasah etika kepedulian. Seseorang semakin peka dan semakin dermawan ketika orang lain mengalami kesulitan hidup. Dengan terapi puasa, kita sudah merasakan bagaimana tidak enaknya menjadi kelompok papa, perut lapar dan tenggorokan haus, kita semakin terpanggil untuk berbagi bantuan kepada kelompok papa atas nama kemanusiaan. Dengan rasa peduli tersebut diharapkan seseorang menjauhi perilaku korupsi di dalam kehidupannya sehari-hari.
Korupsi merupakan dosa besar yang membunuh umat manusia secara perlahan tanpa melihat latar belakang, apakah dia orang baik atau orang jahat. Korupsi haram hukumnya di setiap ruang dan waktu. Melalui momentum puasa ini, koruptor semakin sadar, menghentikan aksi bejatnya serta mengubah perilaku buruknya.
Ahmad Syahrus Sikti hakim, tutor Universitas Terbuka, doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu