Preman Pensiun dan Wacana Penghapusan SKCK

2 days ago 12

Jakarta -

Selama bulan Ramadhan ada satu serial yang bikin saya tertarik, yaitu Preman Pensiun. Serial ini berhasil memadukan drama, komedi, dan realitas sosial tentang kehidupan para preman yang berusaha berubah. Kita disuguhkan proses transformasi mantan preman menjadi warga biasa yang penuh tantangan. Mulai dari tekanan ekonomi, stigma sosial, hingga kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Tak ayal, menonton sinetron Preman Pensiun seperti melihat cerminan realitas sosial yang juga dialami oleh para mantan narapidana di dunia nyata. Setelah menjalani hukuman, mereka ingin memulai hidup baru, tetapi label "mantan napi" sering menjadi penghalang mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Dan, usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dilakukan oleh Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) kepada Kapolri bisa menjadi langkah awal dalam membantu mereka berintegrasi kembali ke masyarakat.

Menurut Kementerian HAM, usulan ini bertujuan untuk memberi kesempatan bagi warga negara, termasuk mantan narapidana, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tanpa terhalang oleh catatan kriminal di masa lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi sebagian orang, ini merupakan kabar baik. Terutama, bagi para mantan narapidana yang selama ini kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, wacana ini menimbulkan banyak kritik. Jika SKCK dihapuskan, masyarakat atau perusahaan sulit untuk mengakses informasi mengenai latar belakang calon pekerja. Dan, ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kejahatan yang berulang, khususnya di lingkungan kerja.

Bukan Sekadar Soal Administratif

Usulan penghapusan SKCK bukan hanya sekadar soal menghapus atau tidak menghapus dokumen administratif, tetapi juga menyangkut bagaimana masyarakat bisa menerima mantan narapidana. Para mantan narapidana yang telah menjalani hukuman dan ingin memulai hidup baru seringkali menemui hambatan --yang berasal dari sistem maupun dari stigma sosial yang melekat dengan diri mereka.

Dalam teori Labelling yang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert, seseorang dapat terjerumus ke dalam perilaku menyimpang karena label atau cap yang diberikan oleh masyarakat kepada individu tersebut.

Awalnya, mungkin seseorang melakukan penyimpangan yang disebut dengan penyimpangan primer, misalnya mencuri, melakukan tindak asusila, atau melakukan penyimpangan lain. Kemudian, masyarakat mengetahui penyimpangan yang dilakukan oleh orang tersebut, dan melabelinya sebagai pencuri, pemerkosa, serta label negatif lainnya.

Lebih lanjut, Lemert mengungkapkan bahwa label yang melekat kuat, membuat orang tersebut mulai melihat dirinya sendiri sesuai dengan cap yang diberikan. Sehingga ia sulit keluar dari label tersebut, dan melakukan kembali tindakan penyimpangan.

Dari sini kita melihat bahwa label bukan hanya sekadar identitas, tetapi juga dapat membentuk perilaku di masa depan. Jika seseorang terus menerus diperlakukan sebagai kriminal, maka ada kemungkinan besar ia akan kembali melakukan tindakan kriminal karena merasa tidak diterima di lingkungan sosial sebagaimana mestinya.

Fenomena ini tergambar jelas dalam sinetron Preman Pensiun. Ada kisah Saep, seorang pencopet yang setelah keluar dari penjara, tetap melanjutkan aksinya sebagai pencopet. Bahkan ia mulai giat merekrut calon-calon pencopet melalui Akademi of Bandung Copet-nya.

Ada juga kisah yang menceritakan bagaimana para mantan preman yang telah keluar dari penjara berusaha untuk hidup normal dan mencari pekerjaan lain. Seperti kisah Agus dan Yayat, setelah keluar dari penjara karena kasus menjadi penadah motor curian, mereka berusaha melanjutkan hidup dengan menjadi penjual kopi keliling.

Atau, seperti Kang Gobang yang berhasil keluar dari dunia lamanya. Meskipun harus melewati jalan yang penuh kesabaran dalam mencari pekerjaan dan melawan stigma negatif sebagai seorang mantan narapidana.

Masa lalu yang terus menghantui, pendidikan dan keterampilan yang terbatas, ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat, membuat para mantan preman kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kondisi ini membuat banyak dari mereka berada di persimpangan jalan. Memilih bertahan dengan hidup yang jujur atau kembali ke dunia lama.

Barangkali, situasi dilematis ini juga dihadapi oleh para mantan narapidana di dunia nyata. Mereka yang ingin berubah justru terbentur oleh sebuah sistem yang masih menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan. SKCK yang biasanya menjadi syarat administratif seringkali menjadi penghalang mereka untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Padahal, pekerjaan menjadi aspek krusial, bukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga menjadi sarana rehabilitasi sosial bagi mantan narapidana untuk kembali berintegrasi dengan masyarakat.

Diperlukan Langkah yang Tepat

Jika kebijakan penghapusan SKCK diterapkan, ini akan menjadi angin segar bagi mereka yang benar-benar ingin berubah. Kebijakan ini akan mempermudah para mantan narapidana untuk mendapatkan pekerjaan. Jika mereka sudah mendapatkan pekerjaan, ini akan menimbulkan efek positif terhadap angka pengangguran yang semakin berkurang dan mengurangi potensi kriminalitas berulang.

Namun, kebijakan ini juga mendapat beragam kritik. Jika SKCK dihapuskan, para pengusaha atau perusahaan yang akan merekrut tenaga kerja akan kehilangan akses untuk mengetahui latar belakang calon pekerja. Selain itu, kebijakan ini juga memiliki efek samping lain yaitu munculnya kekhawatiran terjadi kejahatan berulang di tempat kerja.

Untuk itu, diperlukan langkah yang tepat untuk memberikan kemudahan bagi warga negara mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk bagi mantan narapidana, serta tanpa mengorbankan rasa aman bagi masyarakat. Kepolisian perlu melakukan reformasi terhadap penerbitan atau layanan SKCK.

Reformasi ini dilakukan bukan dengan menghapus SKCK secara total. SKCK masih tetap diperlukan untuk kasus berat seperti, korupsi, terorisme, atau kejahatan seksual. Selain itu, catatan kriminal lainnya bisa dihapus setelah beberapa tahun jika tidak ada pelanggaran baru.

Hal lain yang perlu juga dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan keterampilan dan bantuan modal bagi para mantan narapidana agar mereka bisa mandiri dan berwirausaha. Pemberian insentif bagi para pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan para mantan narapidana juga bisa menjadi langkah lanjutan.

Di samping itu, langkah yang tak kalah penting adalah dengan mengedukasi masyarakat agar mau menerima mantan narapidana. Berbagai dukungan ini diperlukan agar para mantan narapidana dapat berintegrasi di masyarakat.

Pada akhirnya, perubahan seseorang sejatinya tidak hanya bergantung pada niat individu, tetapi juga perlu dukungan sosial dan kebijakan yang memungkinkan mereka mendapatkan kesempatan kedua. Dengan begitu, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan memberikan ruang bagi setiap orang untuk memperbaiki diri.

Penghapusan SKCK bukanlah satu-satunya jawaban; perlu diimbangi dengan kebijakan pendukung lainnya. Mantan narapidana memang butuh kesempatan kedua, tetapi pengusaha, perusahaan, dan masyarakat juga butuh rasa aman. Solusi terbaik adalah menciptakan sistem yang adil bagi semua pihak, bukan sekadar menghapus atau mempertahankan SKCK semata.

Oki Kurniawan mahasiswa Program Studi Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Sekolah Pascasarjana UGM

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial