Pemerintahan Prabowo dan Penanganan Banjir Jabodetabek

6 hours ago 2

Jakarta -

Banjir menerjang sejumlah wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek), Minggu (2/3) hingga Selasa (4/3) lalu. Kita prihatin menyaksikan masyarakat berjibaku dengan air, lumpur, menyelamatkan harta benda, bahkan jiwa. Apalagi, banjir terjadi saat masyarakat muslim di Indonesia sedang menjalankan ibadah puasa Ramadan.

Peristiwa banjir ini nyaris rutin terjadi setiap tahun. Banjir memiliki siklus lima tahunan yang indikatornya skala banjir lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Banjir pada 2025 ini dikategorikan masuk siklus lima tahunan. Banjir serupa pernah terjadi pada awal 2020 dengan skala yang jauh lebih besar.

Banjir yang terjadi secara berkala ini pada titik ekstrem memunculkan normalisasi terhadap banjir. Sikap ini tentu tidak tepat, apalagi jika terjadi di kalangan penyelenggara pemerintahan. Karena, kenyataannya banjir telah mengakibatkan kerugian materi, mengganggu kesehatan raga maupun jiwa, dan mengoyak kehidupan sosial warga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada konteks itulah, pemerintahan Prabowo Subianto yang baru 100 hari lebih ini memiliki momentum untuk membuat legacy dalam penanganan banjir di Jabodetabek. Pemerintah pusat memiliki otoritas untuk memimpin penanganan banjir di wilayah Jabodetabek.

Kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat akan memudahkan dalam penyelesaian banjir secara holistik, mulai dari hulu hingga hilir. Baik dari sisi kebijakan regulasi maupun dari kebijakan anggaran. Tak terkecuali dalam melakukan penegakan hukum (law enforcement), apabila terindikasi pelanggaran hukum yang menjadi pemicu banjir di wilayah Jabodetabek.

Orkestrasi Kebijakan

Penanganan banjir di wilayah Jabodetabek dapat akseleratif bila masalah tersebut menempatkan pemerintah pusat sebagai konduktor dalam mengorkestrasi kebijakan penanganan banjir dengan tanpa menanggalkan esensi dari otonomi daerah. Urgensi pemerintah pusat turun langsung dalam penanganan banjir di Jabodetabek memiliki ratio legis yang kuat.

Pertama, persoalan banjir di wilayah Jabodetabek menjadi persoalan laten sekaligus krusial yang tak pernah tuntas. Apalagi, anatomi persoalan banjir di Jabodetabek berjalin kelindan antar satu daerah dengan daerah lainnya. Pemerintah pusat memiliki relevansi dalam penanganan banjir di wilayah Jabodetabek.

Kedua, lokus banjir yang terletak di wilayah aglomerasi (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur) disebutkan dalam nomenklatur hukum yang tertuang dalam Pasal 51 UU No 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Keberadaan aglomerasi di antaranya berfungsi untuk akselerasi penanganan banjir. Meski UU DKJ belum efektif, karena harus menunggu Keputusan Presiden (Keppres) tentang Perpindahan Ibukota Negara, namun spirit UU DKJ dapat menjadi pijakan dalam penanganan banjir di wilayah Jabodetabek.

Ketiga, dalam hal penanganan kebencanaan, pemerintah pusat memiliki ruang untuk membantu daerah bila daerah tidak memiliki kemampuan dalam penanganan kebencanaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 296 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Pada konteks ini, pemerintah pusat secara organik melakukan langkah mitigasi dalam penanganan kebencanaan yang terjadi di daerah-daerah, tak terkecuali banjir di Jabodetabek ini.

Sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo dibentuk, persoalan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi titik tekan. Salah satunya melalui kegiatan kegiatan retret yang diikuti oleh seluruh kepala daerah baik gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia usai pelantikan kepala daerah. Penanganan banjir di Jabodetabek menjadi ujian pemerintahan Prabowo dalam sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah.

Hulu hingga Hilir

Paradigma penanganan banjir di Jabodetabek membutuhkan langkah besar dan berani. Metode parsial dan cicilan yang didasari pada kebijakan per wilayah administratif pemerintahan daerah nyatanya tak banyak mengubah situasi secara ekstrem. Maka, pilihannya dengan memetakan persoalan dari hulu hingga hilir.

Pemetaan masalah tersebut dilakukan dari hulu hingga hilir harus melibatkan pelbagai pihak di bawah kendali otorisasi pemerintah pusat dengan melibatkan daerah penyanggah Jakarta yang masuk zonasi aglomerasi, serta para pakar dari perguruan tinggi. Pada konteks ini, peran pemerintah pusat menjadi kunci dalam mengorkestrasi kebijakan yang beririsan dengan political will, good will, hingga anggaran.

Setidaknya, terdapat langkah prioritas dalam pengambilan keputusan berupa penegakan aturan yang berkorelasi kuat menjadi pemantik banjir. Pertama, audit alih fungsi lahan yang memicu banjir makin krusial. Dalam konteks ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) hendaknya melakukan penyisiran terhadap lahan-lahan yang beralih fungsi sehingga mengakibatkan banjir di sejumlah daerah, khususnya di wilayah Jabodetabek.

Kedua, audit perizinan pendirian perumahan dan gedung yang melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun kota. Penegakan aturan yang berdimensi sanksi administratif maupun pidana penting dilakukan untuk memastikan pendirian bangunan tidak menyimpang dari desain tata ruang wilayah. Pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN didorong untuk melakukan penyisiran RTRW dari tingkat kabupaten, kota, provinsi hingga nasional.

Kedua langkah tersebut secara linear diikuti dengan langkah penerbitan kebijakan yang berorientasi pada recovery dan tata kelola penanganan banjir dengan identifikasi yang presisi berbasis riset dan data. Dalam konteks tersebut, sebenarnya tak sedikit kajian dan pilihan kebijakan yang telah muncul sejak lama dari kalangan perguruan tinggi dan ahli.

Pada poin inilah, posisi pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan dalam penanganan banjir di wilayah Jabodetabek memiliki relevansi. Baik pada aspek penerbitan aturan (regeling), keputusan (beschikking), maupun anggaran (budgeting). Ruang ini jauh lebih akseleratif bila dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mengoptimalkan perangkat negara yang relevan.

Pengambilan kebijakan oleh penyelenggara administrasi pemerintahan dalam penanganan banjir harus diiringi dengan kesadaran dari masyarakat tentang pentingnya pola hidup bersih dengan membuang sampah pada tempatnya dan menjaga lingkungan di sekitarnya. Ikhtiar dari individu dan masyarakat ini jika dilakukan secara konsisten, maka akan berdampak penting dalam pencegahan banjir.

Muhammad Khozin Anggota Komisi II DPR Fraksi PKB

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial