Foto : Gedung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). (Dwi Rahmawati/detikcom)
Senin, 10 Maret 2025
Suasana kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Jumat siang lalu, cenderung sepi. Hanya beberapa pegawai yang terlihat, sisanya menjalani kebijakan kerja dari rumah (WFH), yang diterapkan setiap Kamis dan Jumat.
Tahun ini kebijakan pemangkasan kebijakan dari Presiden Prabowo Subianto membuat LPSK harus mengurangi bujet berbagai kegiatan, termasuk perjalanan dinas luar kota. Demi menekan biaya operasional, LPSK menyederhanakan mekanisme permohonan perlindungan. Pelayanan yang bisa dilakukan melalui telepon atau Zoom didahulukan, mengurangi keharusan turun langsung ke lapangan. Ini menjadi tantangan mengingat permohonan per tahun bisa mencapai puluhan ribu untuk perlindungan saksi dan/atau korban.
“Permohonan datang dari korban, keluarga korban, penasihat hukum, atau instansi. Untuk kasus TPKS (tindak pidana kekerasan seksual), misalnya, ada juga peran lembaga seperti DP3A dan UPTD yang kami ajak berkoordinasi,” jelas Ketua LPSK Achmadi kepada detikX, Jumat pekan lalu.
Tahun lalu, LPSK mengajukan tambahan anggaran Rp 440 miliar. Dana tersebut terkait pembangunan pusat pelatihan, pengembangan, serta perlindungan saksi dan korban. Namun tak bisa dieksekusi. “Termasuk pengadaan alat-alat spesifik untuk kebutuhan saksi dan korban, tapi tahun ini belum bisa kami lakukan,” katanya.
Selain itu, kebutuhan anggaran untuk perlindungan dan pemulihan korban tetap tinggi. Untuk bantuan medis saja, biaya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
“Ada yang Rp 300 juta, tapi bisa juga sampai Rp 1 miliar, tergantung kasus. Pemulihan medis itu besar, terutama untuk tindakan awal atau biaya medis guna mendukung proses peradilan,” ucap Achmadi.
Contohnya, kasus korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang disiram air keras. Luka serius yang diderita korban membutuhkan penanganan medis segera. Sering kali LPSK harus mengeluarkan guarantee letter agar rumah sakit mau menerima pasien tanpa menunda perawatan karena alasan biaya.
Di sisi lain, ada keputusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu untuk memperpanjang masa pemberian kompensasi bagi korban terorisme masa lalu hingga 2028. Namun, dengan anggaran yang terpangkas, realisasi kompensasi bagi sekitar 400 korban masih tertunda.
Salah satu pimpinan LPSK yang tak bersedia disebut namanya menegaskan kini lembaganya berada di ambang krisis karena pemangkasan anggaran. Kebijakan ini memaksa mereka untuk mempertajam kriteria penerimaan permohonan perlindungan. Meski sebelumnya LPSK pernah mendapatkan anggaran baseline sebesar Rp 279 miliar—yang sempat turun menjadi Rp 229 miliar pada 2025—pemangkasan anggaran secara drastis telah membuat operasional lembaga ini tersudut.
Anggaran operasional mereka semula mencapai Rp 229 miliar, tetapi dipangkas hingga hanya tersisa Rp 85 miliar. Negosiasi intensif dengan DPR RI dan Kementerian Keuangan sempat menghasilkan relaksasi, sehingga anggaran dinaikkan ke Rp 107,7 miliar. Meskipun demikian, relaksasi ini baru menyisakan setengah dari alokasi awal yang diharapkan. Ini tekanan besar bagi lembaga dalam menjalankan tugas perlindungan.
Para pimpinan LPSK periode 2024-2029.
Foto : Rachma Syifa Faiza Rachel/detikcom
“Kami harus lebih selektif dalam menanggapi permohonan. Jika anggaran hanya Rp 85 miliar, kami khawatir tidak mampu memberikan perlindungan yang optimal kepada semua pemohon,” ucapnya kepada detikX pekan lalu.
Padahal jumlah permohonan perlindungan terus meningkat. Pada 2024, tercatat sebanyak 10.217 permohonan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 7.777 permohonan pada 2022 dan 7.600 pada 2023. Akibatnya, hanya 60-80 persen dari total permohonan yang dapat diproses, sementara sisanya harus ditolak atau ditunda demi menjaga stabilitas operasional.
Di balik dinamika ini, terdapat beban gaji pegawai sekitar Rp 43 miliar—pos anggaran yang tidak dapat dikompromikan. Dengan alokasi tersebut, sisa anggaran yang tersedia harus dibagi untuk berbagai kebutuhan operasional, seperti perlindungan fisik, pendampingan hukum, bantuan medis, dan pendampingan psikososial.
“Hak pegawai tidak boleh dikurangi, tapi kebutuhan perlindungan bagi saksi dan korban harus tetap terpenuhi dengan dana yang jauh lebih terbatas,” jelas pejabat LPSK.
Tekanan efisiensi anggaran memaksa LPSK melakukan upaya lobi intensif kepada sejumlah penyedia layanan. Dalam kondisi keterbatasan dana, LPSK terpaksa menegosiasikan harga dengan penyedia layanan medis, psikologi, dan pendamping hukum agar memperoleh tarif yang lebih murah atau bahkan layanan secara pro bono alias gratis.
"Kami berkomunikasi dengan berbagai pihak, mulai rumah sakit, klinik psikologi, hingga penyedia jasa hukum, untuk mendapatkan harga yang lebih terjangkau. Pendekatan ini menjadi solusi agar biaya penanganan korban dan saksi dapat ditekan tanpa mengorbankan kualitas pelayanan," ungkap pejabat tersebut.
Pengetatan ini tidak hanya berdampak jumlah permohonan yang dapat diterima, tetapi juga kualitas layanan. Dalam situasi normal, LPSK berupaya memberikan perlindungan menyeluruh melalui berbagai komponen: perlindungan fisik, pendampingan prosedural, bantuan medis dan psikologis, serta fasilitasi restitusi dan kompensasi. Namun, dengan pemangkasan anggaran yang signifikan, lembaga ini harus melakukan evaluasi ketat dan terkadang menolak pengajuan yang sebenarnya layak mendapatkan perlindungan.
“Ini Rp 229 miliar saja mungkin tidak cukup untuk menutupi pemohon kami yang 10 ribuan. Belum yang terlindung yang kita carry over dari tahun-tahun sebelumnya. Itu saja logikanya. Apalagi kalau Rp 85 atau Rp 107 miliar," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Ikatan Pegawai LPSK Tommy Permana. Menurutnya, pemangkasan anggaran sekitar 60 persen memiliki akibat yang tak main-main. Perlindungan fisik bagi saksi dan korban terancam, bantuan medis terhambat, dan kompensasi bagi korban terorisme terkatung-katung.
“Yang pasti soal kualitas perlindungan,” ungkap Tommy, dalam wawancara via telepon pada Jumat lalu.
“LPSK kan bekerja harus ada perjalanan dinas karena harus ketemu dengan saksi dan mendampingi korban. Kalau tanpa perjalanan dinas, tentu perlindungan terhadap saksi dan korban tidak akan maksimal. Riak-riak ini juga sudah dikhawatirkan banyak korban, termasuk korban Kanjuruhan dan korban terorisme. Mereka juga sudah bicara karena pasti terdampak," sambungnya.
Dampak pemangkasan ini langsung terasa di berbagai lini layanan LPSK. Salah satu yang paling terdampak adalah perlindungan fisik. Dalam kasus justice collaborator (JC) narkotika yang tengah ditangani, ancaman terhadap saksi sangat tinggi. Biasanya LPSK menerjunkan sepuluh personel untuk perlindungan, tetapi kini hanya tiga orang yang bisa diturunkan.
“Ini kan secara kualitas perlindungan menurun. Tentu berdampak pada rasa aman saksi dan korban karena otomatis memengaruhi kesaksian mereka. Kalau mereka merasa nggak aman, nggak nyaman, secara nggak langsung ya kemungkinan besar akan berdampak pada kesaksian mereka,” ujar Tommy.
Minimnya anggaran juga memaksa LPSK melakukan penghematan besar-besaran dalam operasional. Salah satu langkah penghematan yang diambil adalah mengurangi penggunaan ruang kerja. Lift yang biasanya beroperasi empat unit kini hanya satu yang berjalan. Pekerjaan yang biasa dilakukan hingga malam hari kini terpaksa berhenti pukul lima sore karena listrik dimatikan.
“Kemarin kami mengusulkan kepada pimpinan supaya menghemat operasional. Kalau sehari kita hanya beroperasi di tiga lantai, itu penghematannya cukup besar. Dalam satu minggu bisa Rp 70 juta, jadi dalam satu tahun kita berhemat Rp 1,1 miliar. Akhirnya ditetapkan WFH, jadi hari Kamis dan Jumat full tidak ada yang bekerja di kantor, kecuali pimpinan, tapi hanya menggunakan lantai 1-2,” kata Tommy.
Pemangkasan ini juga berdampak terhadap lemahnya mengeksekusi putusan Mahkamah Konstitusi untuk pemberian kompensasi bagi korban terorisme. Tommy menyebut ada ratusan korban terorisme yang belum menerima hak mereka karena terbatasnya anggaran.
“Untuk memberikan kompensasi itu, kita harus melakukan asesmen. Kalau anggarannya tidak ada, kalau hanya via Zoom atau telepon, itu tidak akan maksimal. Kawan-kawan dokter forensik juga tidak akan bisa menilai seberapa parah derajat lukanya, padahal itu jadi ukuran besaran kompensasi,” jelas Tommy.
Besaran kompensasi untuk korban terorisme sendiri bervariasi. Korban luka ringan mendapatkan Rp 75 juta, luka sedang Rp 115 juta, luka berat Rp 210 juta, dan meninggal dunia Rp 250 juta.
Namun, tanpa asesmen lapangan yang memadai, LPSK tak bisa menentukan besaran kompensasi ini. Selain itu, anggaran untuk pengobatan medis bagi korban terorisme juga terdampak karena BPJS Kesehatan tidak menjamin pengobatan mereka.
“Kami habis-habisan juga,” kata Tommy menutup percakapan.
Pengacara saksi dan korban penganiayaan balita di daycare Wensen School mendatangi LPSK.
Foto : Devi Puspitasari/detikcom
Adapun peneliti dari Setara Institute Achmad Fanani Rosyidi mengatakan pemangkasan anggaran yang tak proporsional akan berdampak langsung kepada para korban. Sebagian besar korban sangat bergantung layanan LPSK. Selain bantuan fisik, LPSK juga berperan penting dalam pendampingan psikososial melalui fasilitas safe house dan kerja sama dengan mitra lain.
"Jadi misalnya kayak Bu Khusnul gitu ya, terus ada keluarga korban dari peristiwa Semanggi, dia sakit, kan bantuan soal kesehatannya selalu dibantu sama LPSK. Apalagi itu kadang mereka (korban) itu menggantung soal hidup dan mati mereka pada peran LPSK ini, gitu," ujarnya.
Seorang saksi korban kekerasan yang sebelumnya berada dalam perlindungan LPSK mengatakan ia dan rekan-rekannya masih berharap mendapat bantuan dari LPSK untuk ke depannya. Saat ini ia mengaku status terlindunginya telah dicabut belum lama ini. Ia mengaku masih waswas dan beberapa kali mendapat intimidasi dari orang dekat pelaku, walaupun saat ini pelaku telah dijatuhi hukuman penjara.
Kepada detikX, ia mengaku sangat membutuhkan dukungan layanan psikologis yang selama ini disediakan LPSK. Saat ini ia masih berusaha mengajukan kembali permohonan bantuan layanan kepada LPSK. Ia juga berharap dibantu untuk kembali pulih dan memulai hidup baru setelah beberapa tahun hidup di rumah aman yang disediakan LPSK.
"Kami masih butuh bantuan LPSK, makanya ini sedang mengajukan lagi," ucapnya kepada detikX.
Salah satu pendamping korban pelanggaran HAM berat di Sumatera juga khawatir pemotongan anggaran LPSK akan menghambat penyaluran bantuan kepada korban. Di daerahnya, ia mendampingi hingga puluhan korban yang rata-rata lanjut usia.
Para korban ini seharusnya menerima pencairan bantuan dari LPSK. Namun akhir tahun lalu baru lima orang korban yang memperoleh bantuan. Sisanya dikatakan akan disusulkan. Sayangnya, pemotongan anggaran LPSK membuat para korban khawatir haknya tak terpenuhi.
"Kami terus komunikasi dan tanyakan perihal bantuan tersebut, tetapi belum ada kejelasan," ucap narasumber tersebut kepada detikX.
Krisis ini menunjukkan betapa vitalnya anggaran bagi pelaksanaan perlindungan saksi dan korban. Pemangkasan anggaran tidak hanya mengancam kegiatan operasional LPSK, tetapi juga mengancam hak-hak korban yang bergantung pada perlindungan dan kompensasi dari lembaga ini. Jika tak segera diatasi, dampaknya bisa merembet terhadap terhambatnya penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim