Partai Politik Ramai-ramai Membangkangi Putusan MK

4 hours ago 3

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 7 Juli 2025

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan jadwal pemilihan nasional dan lokal, memantik reaksi keras dari partai politik. Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat menegaskan partainya menolak putusan tersebut karena menimbulkan deadlock konstitusional. Jadi harus dimoratorium dulu dan diserahkan ke DPR RI.

“Kalau dilaksanakan, itu melanggar undang-undang dasar ya. Tapi, kalau tidak dilaksanakan, katanya keputusan MK itu final. Saling pertentangan,” kata Djarot saat ditemui detikX, Jumat lalu.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menginstruksikan untuk mencermati dan mengkaji secara mendalam putusan MK tersebut.

“Bu Mega kemarin sudah sampaikan, tolong dicermati, karena waktunya masih cukup panjang, sampai tahun 2029,” ujarnya.

Putusan MK itu dituding melanggar konstitusi, terutama Pasal 22E UUD 1945, hasil amendemen 9 November 2001. Pasal itu menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Ia menambahkan, ayat kedua dari pasal yang sama menegaskan pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD, yang ia tafsirkan harus diselenggarakan secara serentak.

Djarot juga mengkritik pertimbangan MK yang mendasari putusan itu pada aspek kelelahan dan tingginya biaya pemilu. Ia berpendapat persoalan itu seharusnya diatasi dengan mengevaluasi sistem pemilunya, bukan memisahkan pelaksanaannya.

“Kalau sistem pemilunya itu menggunakan proporsional tertutup, itu lebih mudah,” kata Djarot.

Selain itu, langkah MK dianggap melampaui kewenangannya sebagai negative legislator. Harusnya hanya sebatas menguji UU yang bertentangan dengan konstitusi.

“Kalau ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, itu bisa dilarang atau dicabut atau kembalikan lagi untuk disempurnakan (ke DPR). Bukan positive legislator. Nah, ini MK membuat norma baru,” ucapnya.

Potret Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat. 
Foto : Dwi/detikcom

Djarot juga menyinggung rekam jejak MK yang, menurutnya, sudah beberapa kali menimbulkan kegaduhan politik. Ia mencontohkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia presiden dan wakil presiden, yang sempat menuai kontroversi dan sanksi dari MKMK. Baginya, putusan itu mempertegas perlunya evaluasi terhadap lembaga-lembaga negara yang dibentuk pascareformasi.

Penolakan juga datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Demokrat Dede Yusuf. Dia mempertanyakan implikasi logis maupun hukum dari putusan tersebut.

“Kalau fraksi ini semuanya masih terkaget-kaget, karena semuanya mempertanyakan, kurang lebih begini: bagaimana caranya pemilu yang lima tahunan, terutama buat DPRD, menjadi tujuh tahun? Itu tentu menjadi pertanyaan,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu kepada detikX saat dihubungi pekan lalu.

Untuk saat ini, sikap antarfraksi sebagian besar senada, yaitu mengkritisi putusan MK. Namun belum ada kesepakatan final. Ia mengungkapkan DPR RI belum mengambil langkah konkret karena masih ada perbedaan pandangan. Di satu sisi ada keharusan menjalankan putusan MK, di sisi lain mempertanyakan sikap MK yang dianggap menetapkan aturan beserta norma barunya.

“Kalau ini kan sudah ditetapkan sendiri oleh MK dengan aturan yang tidak bisa diubah," ucapnya.

Komisi II DPR RI akan melakukan kajian akademik dan teknis atas dampak putusan MK. Sebab, bukan hanya Undang-Undang Pemilu saja yang terdampak putusan tersebut. Namun juga Undang-Undang Pemerintahan Daerah, ketentuan soal penjabat kepala daerah, hingga Undang-Undang Otonomi Khusus.

“Kami diperintahkan oleh pimpinan DPR kemarin untuk tiap komisi, dalam konteks ini Komisi II, Komisi III, dan Baleg, untuk membuat kajian terlebih dahulu,” ungkapnya.

Di sisi lain, menurutnya, putusan MK tersebut dinilai muncul terlalu dini. Padahal pemilu selanjutnya masih beberapa tahun lagi. Ia khawatir pembahasan politik elektoral pada masa-masa awal pemerintahan baru Prabowo Subianto akan mengganggu fokus menjalankan sejumlah program.

Potret Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat ditemui di Senggigi, Lombok Barat, NTB, Rabu (28/5/2025).
Foto : Ahmad Viqi/detikBali

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo menyatakan putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah memang layak dipertanyakan.

“Cuma masalahnya secara kelembagaan kan tidak ada cek terhadap keputusan MK. MK kan selama ini ngecek kalau keputusan kelembagaan lain bertentangan dengan konstitusi, dia mengadili. Bagaimana kalau putusan MK sendiri yang bertentangan dengan konstitusi? Nah, ini kita wajar kita mempertanyakan,” kata Dradjad kepada detikX.

Politikus Partai NasDem Irma Suryani Chaniago juga menyebut MK telah keluar dari koridornya dan melampaui kewenangan dalam menetapkan norma hukum. Ia memastikan sikap ini juga sejalan dengan arahan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.

“MK sudah melampaui fungsinya dalam memutuskan sesuatu. Betul mereka punya kewenangan itu final dan mengikat. Justru karena final dan mengikat itulah maka kemudian harus berhati-hati," kata Irma saat dihubungi detikX pekan lalu.

Atas putusan MK tersebut, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Muhammad Khozin, mengatakan justru wacana untuk merevisi UU MK bisa dimunculkan. Sebab, menurutnya, DPR RI membutuhkan waktu panjang membentuk undang-undang, tapi MK kerap membatalkan dengan membentuk norma baru.

"Mungkin saja, mungkin saja. Mungkin, sangat mungkin ya," kata Khozin setelah menghadiri diskusi Fraksi PKB terkait pemilu bersama Ketua KPU hingga Bawaslu di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 4 Juli 2025.

Pendapat sedikit berbeda datang dari anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera. Meski partainya masih melakukan kajian internal, Mardani menyatakan pemisahan pemilu justru akan memperkuat kualitas demokrasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses politik.

“Demokrasi itu untuk rakyat. Demokrasi terbaik yang paling sesuai dengan kondisi rakyat. Ketika pemilu nasional disatukan dengan pemilu lokal, yang terjadi semua narasi, semua perhatian, tersedot pada pemilu nasional. Jadi tidak ada kesempatan buat pemilu lokal itu mendapat perhatian,” kata Mardani kepada detikX.

Dengan pemisahan, ia berharap masyarakat bisa lebih fokus dalam menilai kandidat, baik nasional maupun lokal. Walaupun Mardani mengakui ada kritik konstitusional terhadap skema ini, terutama terkait ketentuan Pasal 22E UUD 1945, yang mengatur pemilu lima tahunan, tapi ia menafsirkan bisa disesuaikan dengan masa jabatan. Selain itu, ini akan membuat pemilu daerah lebih menjadi sorotan.

Potret peneliti Perludem Fadli Ramadhanil.
Foto : Ari Saputra/detikcom

“Jangankan pemilu lokal, legislatif saja disedot oleh pilpres, sehingga diferensiasi antarparpol atau antarcaleg kurang. Hakikat seperti ini buruk buat demokrasi karena ketika tidak ada public engagement. Yang terjadi, orang memilih kucing dalam karung,” ujarnya.

Putusan MK yang ditolak oleh sebagian besar partai politik ini merupakan hasil dari permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sebab, sistem pemilu sebelumnya merugikan hak konstitusional pemilih, melemahkan partai politik, dan membebani penyelenggara pemilu.

Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menyayangkan respons sebagian besar partai yang menyatakan tidak setuju. Menurutnya, perbedaan pendapat boleh, tapi sebagai negara hukum, putusan MK bersifat final dan harus dijalankan. Untuk itu, ia mengajak agar pembahasan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada segera dimulai.

“Kalau kemudian kita mengatakan kita tidak setuju dengan putusan hukum, lalu kita tidak laksanakan, berarti kita nggak ada negara hukum lagi dong,” kata Fadli kepada detikX.

Sejak 2014, Perludem telah menyusun naskah Kodifikasi UU Pemilu bersama 30 organisasi masyarakat sipil, yang mengusulkan pemisahan pemilu nasional dan lokal. Namun, menurut Fadli, desain lima kotak tetap dipertahankan dalam UU No 7 Tahun 2017. Pemilu 2019 pun dianggap membuktikan hipotesis Perludem, dengan banyaknya korban jiwa di kalangan penyelenggara dan tingginya angka suara tidak sah akibat kebingungan pemilih.

Fadli juga menegaskan pemisahan ini tidak melanggar Pasal 22E UUD 1945. Menafsirkan itu tidak bisa cherry picking, pemilu DPRD tetap lima tahun sekali, hanya jadwal pelaksanaannya tidak lagi sama antara nasional dan lokal. Soal masa jabatan yang diperpanjang hingga tujuh tahun pun, menurutnya, bukan hal baru.

“Tugas MK kan menafsirkan konstitusi. Produk dari tafsir itu yang pasti norma baru. Perdebatan MK positive legislator atau negative legislator, itu perdebatan sejak 1804,” tegasnya.

Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial