Momentum Reformasi Industri Nasional

4 hours ago 2

Jakarta -

Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel yang meletus pada pertengahan Juni lalu menyulut kekhawatiran global terhadap stabilitas pasokan energi dan kelancaran rantai logistik internasional. Selat Hormuz, yang menjadi jalur pengangkutan hampir sepertiga minyak dunia, terancam menjadi medan konflik.

Rute dagang strategis seperti Terusan Suez juga mengalami tekanan akibat meningkatnya aksi kelompok bersenjata. Bagi Indonesia, yang selama ini masih bergantung besar pada energi dan bahan baku impor, kondisi ini menjadi pengingat keras bahwa kemandirian industri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Dampaknya sudah terasa. Harga minyak Brent naik signifikan, bergerak di kisaran USD 73–92 per barel sepanjang Juni 2025. Analis memperingatkan kemungkinan harga menembus USD 100 jika konflik bereskalasi dan Selat Hormuz benar-benar ditutup.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketegangan ini mendorong volatilitas tajam pasar energi dan bahan baku industri, memicu lonjakan biaya logistik hingga 200 persen, serta memperpanjang waktu pengiriman Asia–Eropa hingga dua pekan lebih lama dari biasanya.

Di tengah kondisi ini, data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren yang memprihatinkan. Pada April 2025, PMI turun ke level 46,7 — kontraksi paling dalam dalam hampir empat tahun terakhir. Sempat membaik ke 47,4 pada Mei 2025, namun pada bulan Juni PMI Indonesia kembali anjlok di angka 46,9. PMI di bawah 50 menunjukkan aktivitas di bawah ambang batas kontraksi.

Sinyal ini bukanlah alarm biasa. Ini adalah panggilan untuk melakukan evaluasi mendasar atas arah pembangunan industri nasional. Sudah terlalu lama sektor industri kita berjalan tanpa arsitektur kebijakan yang tangguh.

Di saat negara-negara besar menggunakan krisis sebagai pendorong reformasi, kita justru masih menunggu "the new normal" untuk bergerak. Padahal, dunia telah berubah, dan kita harus berubah bersamanya.

Amerika Serikat telah menggelontorkan lebih dari USD 300 miliar melalui Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS Act hanya dalam dua tahun untuk memperkuat basis industrinya, termasuk kendaraan listrik dan semikonduktor. India lewat program Atmanirbhar Bharat berhasil menarik gelombang relokasi industri global dengan pendekatan insentif produksi dan perlindungan pasar domestik. Sementara itu, Indonesia masih mengandalkan pasar ekspor komoditas mentah dan struktur impor bahan baku yang rapuh terhadap gangguan eksternal.

Krisis ini semestinya menjadi "momentum reformasi". Seyogyanya Pemerintah membentuk sistem cadangan darurat industri nasional, semacam "BNPB untuk sektor industri", yang memiliki fungsi monitoring, mitigasi, dan respons cepat terhadap gangguan rantai pasok, fluktuasi nilai tukar, maupun lonjakan biaya logistik. Sistem ini bisa berupa pusat pemantauan logistik nasional, gudang cadangan bahan baku seperti semikonduktor, pupuk, dan baja, serta dana tanggap industri yang bisa digunakan secara fleksibel di masa krisis.

Selain itu, arah hilirisasi nasional perlu diperluas. Hilirisasi selama ini lebih difokuskan pada sektor mineral dan tambang, padahal jantung industri Indonesia ada di manufaktur padat karya seperti tekstil, makanan dan minuman, furnitur, alas kaki, dan otomotif ringan. Sektor-sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang konsumsi rumah tangga nasional. Namun saat ini, mereka menghadapi tekanan berat.

Sektor otomotif dan elektronik, yang 65 persen produksinya bergantung pada impor komponen, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Potensi kerugian ekspor diperkirakan mencapai USD 500 juta.

Di sisi lain, sektor tekstil dan alas kaki menghadapi penyusutan margin laba hingga 7 persen akibat kenaikan tajam biaya logistik dan asuransi. Situasi ini diperparah oleh membanjirnya produk impor murah dari negara produsen besar seperti Tiongkok, di tengah lemahnya proteksi pasar domestik.

Sementara itu, industri petrokimia nasional menghadapi beban ganda. Di satu sisi, kapasitas produksi dalam negeri baru mencapai 3,5 juta ton dari kebutuhan 8 juta ton plastik per tahun. Di sisi lain, bahan baku utama seperti nafta masih 100 persen impor, dengan volume mendekati 3 juta ton per tahun. Ketika harga minyak mentah melonjak dan jalur distribusi terganggu, industri dalam negeri menghadapi tekanan luar biasa.

Di sinilah pentingnya mengembangkan bio-nafta berbasis CPO (crude palm oil), di mana Indonesia memiliki keunggulan sebagai produsen sawit terbesar dunia. Hilirisasi CPO bukan hanya soal ekspor, tetapi juga solusi strategis untuk menggantikan bahan baku fosil dalam industri petrokimia.

Hanya saja, semua ini tidak akan berjalan tanpa reformasi kebijakan energi yang menyeluruh. Pemerintah mengalokasikan subsidi energi dalam RAPBN 2025 sebesar Rp 394,3 triliun. Namun, menurut kajian Bank Dunia, sekitar 72 persen subsidi BBM justru dinikmati kelompok masyarakat 40 persen teratas.

Subsidi yang tidak tepat sasaran ini tidak memperkuat fondasi industri. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan sudah lama memiliki cadangan strategis energi setara konsumsi 200–240 hari. Indonesia? Masih nihil.

Kita perlu merumuskan ulang kebijakan industri dan energi dalam satu ekosistem terintegrasi. Kementerian Perindustrian harus diberi mandat lebih kuat sebagai "arsitek industrialisasi nasional", didukung oleh koordinasi lintas sektor: fiskal (Kemenkeu), investasi (BKPM), BUMN, dan perdagangan. Roadmap industri harus terintegrasi dari hulu ke hilir, dari bahan baku hingga produk jadi, dari pasar lokal hingga ekspor.

Investasi baru yang masuk harus dipastikan membawa teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat rantai pasok dalam negeri. Infrastruktur yang dibangun pun harus mendukung kawasan industri, pusat logistik, dan pelabuhan produksi. Kita tidak hanya butuh investasi yang besar, tetapi investasi yang bermakna dan berkelanjutan.

Terakhir, kita perlu memahami bahwa industri bukan lagi sekadar sektor ekonomi. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, industri adalah alat pertahanan nasional.

Di Amerika Serikat, kebijakan industri ditautkan langsung dengan strategi keamanan nasional. India memosisikan sektor manufakturnya sebagai pengungkit kekuatan geopolitik. Maka Indonesia pun harus menjadikan industri sebagai bagian dari sistem pertahanan non-militer — karena siapa yang menguasai pasokan energi dan pangannya sendiri, akan bertahan.

Sejarah membuktikan hal ini. Saat industri nasional tumbang pada krisis 1998, tekanan sosial dan politik meningkat tajam. Namun saat industri bangkit pada era pasca-2004, stabilitas dan pertumbuhan berjalan beriringan. Maka menjaga industri bukan hanya menjaga ekonomi, tapi menjaga masa depan bangsa.

Penurunan PMI selama dua bulan terakhir bukanlah kebetulan statistik. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Pemerintah, DPR, pelaku industri, dan masyarakat harus duduk bersama membangun arah baru: sebuah peta jalan industrialisasi yang bukan hanya berorientasi ekonomi, tetapi berlandaskan pada kemandirian, keberlanjutan, dan ketahanan nasional.

Indonesia punya segalanya: pasar domestik yang besar, tenaga kerja muda (bonus demografi), sumber daya alam yang melimpah, dan posisi geografis yang strategis. Dengan kepemimpinan nasional yang kuat di bahwa Presiden Prabowo, Indonesia seharusnya optimis bisa menjadi jangkar stabilitas kawasan lewat kekuatan industrinya. Semoga..

Ilham Permana. Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Partai Golkar

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial