Jakarta -
Pemilu bukan sekadar soal siapa yang terpilih, tapi bagaimana rakyat diberi ruang untuk berpikir jernih dalam memilih. Pemilu serentak lima kotak yang kita jalani pada 2019 dan 2024 menjadi bukti bahwa terlalu banyak pilihan dalam satu waktu bisa menjadi sangat melelahkan. Karena itu, memilih waktu untuk memilih adalah aspek krusial dalam merawat kualitas demokrasi.
Pada 26 Juni 2025 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah memutus tata ulang jadwal pemilu serentak (Detik, 26/06/2025). Intinya, jadwal pemilu kini dibagi menjadi dua, yakni: Pemilu Nasional yang memilih presiden, anggota DPR, dan anggota DPD; serta Pemilu Daerah yang memilih kepala daerah dan anggota DPRD di masing-masing tingkat.
Tata ulang ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Penting bagi kita untuk memperkuat kualitas demokrasi, bukan sekadar memindahkan tanggal dalam kalender elektoral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa Tata Ulang Ini Penting
Putusan MK ini penting bagi hukum pemilu. Selain patut diapresiasi, ada empat alasan mengapa harus kita kawal.
Pertama, pemisahan waktu pemilu akan mengurangi efek "ekor jas" (coattail effect) dalam pemilihan kepala daerah yang kerap terbawa popularitas kandidat nasional. Pada tahun 2024, Kita masih hangat rasakan pekatnya nuansa "nasional" dalam pemilihan kepala daerah. Banyak kepala daerah yang "menang terbawa arus," bukan karena visi lokalnya unggul, tapi karena efek domino pasangan calon presiden. Akibatnya, isu-isu lokal kerap tenggelam oleh sentimen pada isu nasional yang lebih masif. Dengan pemilu yang terpisah, ruang bagi politik lokal diharapakan dapat lebih tumbuh dan tampil otentik.
Kedua, fenomena kelelahan memilih atau voting fatigue harus menjadi pelajaran penting. Ketika pemilih disodorkan lima surat suara sekaligus, dengan ratusan nama dan gambar yang asing, maka harapan akan pilihan yang rasional dan sadar bisa menjadi utopia. Tak hanya itu, kisah kelam gugurnya 894 petugas KPPS di Pemilu 2019 mesti menjadi pengingat bahwa kelelahan dalam proses elektoral tidak bisa kita sepelekan begitu saja. voting fatigue adalah alasan kuat mengapa sistem pemilu harus disederhanakan agar partisipasi politik menjadi berkualitas, bukan sekadar angka tinggi dalam statistik.
Ketiga, pemisahan jadwal pemilu memberi ruang bagi publik untuk lebih rutin mengevaluasi kinerja partai politik. Di Amerika Serikat, dikenal midterm elections—pemilu yang digelar di tengah masa jabatan presiden—untuk memilih anggota House of Representatives, Senat, serta sejumlah gubernur dan wali kota di beberapa negara bagian. Mekanisme ini menjadi instrumen bagi publik untuk "menyeimbangkan kekuasaan", terutama ketika partai penguasa dinilai mengecewakan. Contohnya, pada 2022 Joe Biden (Demokrat) kehilangan mayoritas di House setelah banyak pemilih beralih ke oposisi (Republik). Pola ini mendorong partai politik untuk menjaga kinerja secara konsisten, bukan hanya menjelang pemilu lima tahunan. Dalam konteks Indonesia, jeda antara pemilu nasional dan lokal dapat memunculkan dinamika serupa—yakni, evaluasi publik yang lebih berkelanjutan terhadap partai politik.
Keempat, jeda waktu antara pemilu nasional dan pemilu lokal memberi ruang bagi elit partai untuk lebih matang dalam menyiapkan kandidat terbaiknya. Seperti disampaikan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), selaku pemohon dalam perkara ini, himpitan tahapan pemilu kerap membuat partai kewalahan. Akibatnya, banyak yang memilih jalan pintas dengan mengusung kandidat semata karena popularitas, bukan kapasitas. Dengan waktu yang lebih longgar, diharapkan partai dapat benar-benar menyeleksi dan menyiapkan kader terbaiknya secara lebih terlembaga.
Peralihan Masa Jabatan
Meski penataan ulang pemilu adalah langkah strategis, pekerjaan besar justru terletak pada pengaturan masa transisi, terutama di tingkat Pemilu Daerah. MK dalam putusannya menetapkan bahwa Pemilu Nasional tetap digelar pada 2029, sesuai jadwal semula. Namun, untuk Pemilu Daerah, MK menyatakan harus diselenggarakan paling lambat 2,5 tahun setelah pelantikan presiden, DPR, dan DPD—artinya sekitar tahun 2031 atau 2032.
Terkait hal ini, MK menyerahkan desain masa transisi kepada pembentuk undang-undang. Jika Pemilu Daerah digelar pada 2031 atau 2032, maka ada dua opsi transisi: memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD, atau menunjuk pelaksana tugas (Plt) untuk mengisi kekosongan.
Opsi perpanjangan bukan tanpa preseden. Indonesia pernah melakukannya saat transisi Pemilu 1971 ke 1977. Sebaliknya, pemotongan masa jabatan juga pernah diterapkan saat Pilkada Serentak melalui UU No. 1/2015 jo. UU No. 10/2016 untuk menyesuaikan jadwal Pilkada 2024. Konstitusi pun memungkinkan fleksibilitas ini: Pasal 18 UUD NRI 1945 tidak mengunci lama masa jabatan kepala daerah maupun DPRD, berbeda dengan masa jabatan presiden yang tegas lima tahun dalam Pasal 7 UUD.
Dengan demikian, perpanjangan masa jabatan tidak bermasalah secara konstitusional, namun risiko politiknya tetap harus diperhitungkan. Masa jabatan yang terlalu panjang dapat membuat sirkulasi kepemimpinan daerah terhambat, tanpa legitimasi segar dari pemilih..
Di sisi lain, opsi menunjuk Plt juga bukan tanpa masalah. Kekosongan kekuasaan yang diisi oleh Plt dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan krisis legitimasi, karena mereka tidak dipilih oleh rakyat. Risiko penyalahgunaan kekuasaan pun meningkat, terutama bila penunjukan Plt dipolitisasi. Isu ini bahkan menjadi sorotan publik, seperti yang disinggung dalam film dokumenter Dirty Vote.
Semua risiko ini perlu dihitung secara matang. Putusan MK harus dijadikan momentum mendesak bagi DPR dan pemerintah untuk segera membahas dan merumuskan revisi UU Pemilu yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Jangan sampai penataan ulang ini justru melahirkan ketidakpastian baru di daerah.
Mochamad Adli Wafi. Peneliti Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM FH UGM & Anggota Asosiasi Studi Sosio-Legal Indonesia (ASSLESI).
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini