Marketplace Pungut Pajak, Penjual: Tenang atau Tegang?

13 hours ago 4

Jakarta -

Pajak, kata yang seringkali memicu kerutan dahi dan napas panjang. Bagi sebagian orang, pajak adalah beban yang menguras penghasilan. Di balik persepsi tersebut, pajak memiliki hakikat yang jauh lebih dalam yakni sebuah kewajiban, manifestasi kejujuran, dan wujud nyata dari semangat gotong royong untuk membangun negeri.

Pajak juga menjadi cerminan dari kejujuran finansial. Sistem pajak yang baik mengharuskan setiap warga negara untuk melaporkan penghasilan secara transparan. Disinilah ujian integritas yang menguji seberapa jujur seseorang dalam mengakui pendapatan yang diperoleh.

Melaporkan pendapatan yang tidak sesuai atau biasanya disebut penghindaran pajak adalah bentuk ketidakjujuran yang pada akhirnya merugikan diri sendiri dan juga negara secara keseluruhan. Sementara itu, jika seseorang melaporkan penghasilan secara benar, selain memenuhi kewajibannya juga turut serta dalam menciptakan sistem yang adil dan merata, di mana setiap orang berkontribusi sesuai dengan kemampuannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada tanggal 11 Juni 2025, pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 37 tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Inti dari beleid ini adalah menjadikan platform marketplace atau Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5%. Pungutan tersebut dihitung dari omset penjualan yang diperoleh penjual pada platform marketplace atau pasar online.

Sejak isu ini digulirkan, sudah muncul beragam respon di kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) online seperti berkurangnya penghasilan yang diterima, bagaimana menghitung besaran pajaknya, apa bukti bahwa pajaknya telah dipotong atau dipungut. Walau tanggapan masyarakat lebih mengarah kepada kekhawatiran, namun terdapat potensi kemudahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan pada aturan yang baru saja diundangkan ini.

Kemudahan yang ditawarkan adalah kebenaran data omset penjualan, sehingga tidak terdapat kesalahan atau selisih pencatatan tatkala ada pemeriksaan ataupun pengawasan pajak dari pihak pemerintah.

Skema Perpajakan dalam PMK 37 Tahun 2025

Pada dasarnya, peraturan ini bertujuan untuk menyederhanakan mekanisme pemungutan pajak bagi UMKM yang beroperasi di ranah digital. Sejak tanggal 11 Juni 2025, pemerintah resmi menunjuk marketplace atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menjadi pemungut PPh Pasal 22.

Artinya, ketika seorang penjual melakukan transaksi penjualan di platform tersebut, perusahaan penyelenggara PMSE akan langsung memotong 0,5% dari omset penjualan kotor sebelum dana diteruskan kepada penjual.

Sebagai ilustrasi, seorang penjual online atau perusahaan berbadan hukum yang omsetnya dalam setahun di atas 500 juta sampai dengan 4,8 miliar yang menjual suatu produk secara daring di sebuah platform PMSE, dalam sebulan berhasil mencapai omset penjualan Rp 100.000.000, maka perusahaan penyelenggara PMSE akan memotong PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari angka tersebut, yaitu Rp500.000 (0,5% x Rp 100.000.000).

Dana sebesar Rp 99.500.000 akan diteruskan kepada penjual, dan Rp 500.000 akan disetorkan oleh perusahaan PMSE langsung ke kas negara atas nama penjual. Khusus untuk penjual online perorangan yang omsetnya belum mencapai Rp 500 juta dalam setahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000 maka pihak perusahaan penyelenggara PMSE tidak akan memotong PPh dari omset penjualannya.

Sementara untuk penjual yang omsetnya telah melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun atau memilih perhitungan PPh dengan ketentuan umum, atas setiap penjualan akan dipungut sebesar 0,5%. Jumlah pungutan dalam satu tahun pajak, nantinya dapat menjadi kredit pajak atau pengurang perhitungan pajak dalam SPT Tahunan. Bahkan jika terdapat selisih lebih pungut, dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang (PYSTT) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Tujuan utama PMK anyar ini adalah untuk menciptakan efisiensi dalam sistem perpajakan dan ekuitas atau keadilan bagi semua pelaku usaha. Dengan menjadikan marketplace atau Penyelenggara PMSE sebagai pemungut, pemerintah dapat menjaring potensi pajak dari sektor digital yang terus berkembang dengan lebih efektif. Ini mengurangi beban administratif bagi otoritas pajak dan meminimalkan celah pajak.

Selain itu, juga menciptakan level bersaing yang lebih setara antara pelaku usaha daring dan luring. Pelaku usaha konvensional sudah terbiasa dengan berbagai bentuk pungutan pajak, sementara sektor digital yang tumbuh pesat seringkali luput dari pantauan pajak yang optimal. Dengan skema ini, kontribusi pajak dari ekonomi digital dapat lebih terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional.

Bukan Hal Baru, Hanya Diperluas

Penting untuk dipahami bahwa skema pemungutan pajak melalui pihak ketiga seperti ini bukanlah inovasi baru dalam sistem perpajakan Indonesia. Faktanya, konsep ini sudah diterapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 58/PMK.03/2022 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut Pihak Lain.

PMK ini telah memberikan landasan hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menunjuk pihak-pihak tertentu sebagai pemungut pajak, termasuk di antaranya adalah penyelenggara PMSE.

Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 58/2022 ini telah menyasar pihak-pihak yang melakukan pembayaran atau penyerahan barang/jasa kepada wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau yang melakukan transaksi tertentu. Perluasan cakupan ini ke e-commerce semata-mata merupakan adaptasi terhadap dinamika ekonomi digital yang semakin pesat, di mana transaksi kini lebih banyak beralih ke platform daring. Dengan demikian, penunjukan pihak marketplace sebagai pemungut pajak adalah langkah lanjutan dari kerangka regulasi yang sudah ada, bukan sesuatu yang sepenuhnya baru dan mengejutkan.

Sisi Positif bagi Penjual: Kemudahan dan Kepatuhan

Meski awal-awal mungkin terasa sedikit 'menggigit' karena langsung ada potongan, peraturan ini sesungguhnya memiliki potensi positif yang signifikan bagi para penjual online, terutama UMKM.

Pertama dan yang paling utama, ini akan mempermudah kewajiban perpajakan. Selama ini, urusan administrasi perpajakan seringkali menjadi momok. Mulai dari menghitung omset, menentukan besaran pajak, hingga menyetor ke kas negara dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Semua itu membutuhkan waktu, pemahaman, dan terkadang biaya untuk menyewa pihak-pihak yang dapat mengurus atau membereskannya.

Dengan adanya pemungutan langsung oleh pihak marketplace, proses ini menjadi otomatis. Penjual tidak perlu lagi pusing memikirkan perhitungan dan penyetoran Pajak Penghasilan atas omsetnya, karena sudah langsung ditangani oleh platform. Ini membebaskan waktu dan energi penjual untuk lebih fokus pada pengembangan bisnis.

Skema ini juga dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pajak. Dengan pemungutan otomatis, risiko kesalahan dalam perhitungan atau keterlambatan penyetoran dapat diminimalisir. Ini juga membantu para penjual yang mungkin belum sepenuhnya memahami seluk-beluk perpajakan untuk tetap memenuhi kewajiban mereka secara benar dan tepat waktu.

Penunjukan perusahaan penyelenggara marketplace PMSE sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari penjual adalah langkah adaptif terhadap pertumbuhan ekonomi digital. Meskipun pada awalnya mungkin menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran, skema ini berpotensi besar untuk menyederhanakan kewajiban perpajakan bagi penjual, meningkatkan kepatuhan, dan menciptakan sistem yang lebih efisien serta adil.

Dengan sosialisasi yang masif dan implementasi yang cermat, harapan untuk menciptakan ekosistem bisnis daring yang kondusif dan patuh pajak dapat terwujud. Jadi, apakah para penjual online akan tenang atau tegang? Seharusnya, dengan pemahaman yang tepat dan implementasi yang baik, lebih banyak ketenangan yang akan didapatkan. Dengan demikian, 'Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh'.

Tansen Simanullang. Penyuluh Pajak pada Kanwil DJP Jakarta Utara, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial