Larangan Jual AMDK di Bawah 1 Liter di Bali Dinilai Tak Adil

12 hours ago 6

Jakarta -

Kebijakan pelarangan air minum kemasan di bawah 1 liter oleh pemerintah provinsi (Pemprov) Bali mendapat protes dari sejumlah kalangan. Mereka menilai kalau kebijakan tersebut membebani masyarakat dan malah akan mengganggu perekonomian daerah tersebut.

Direktur Utama PT Tirta Mumbul Jaya Abadi, Nyoman Artha Widnyana menegaskan bahwa kebijakan tersebut mengganggu iklim usaha dan tidak memihak asosiasi usaha AMDK. Produsen AMDK Yeh Buleleng ini menilai tidak adil apabila permasalahan sampah plastik hanya dibebankan pada industri AMDK saja sementara kemasan yang mereka pakai masih bisa di daur ulang.

"Pemerintah seharusnya berpikir holistik. Artinya dagangan di minimarket yang berbungkus plastik tidak boleh, harus sama rata dengan kami supaya adil. Contoh beli minyak goreng, gula, kopi dan permen itu pakai plastik semua. Ini seakan-akan kami saja yang menimbulkan sampah plastik," kata Artha dalam keterangannya, Senin (7/4/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal tersebut diungkapkannya menyusul penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Dalam beleid V poin 4 melarang setiap lembaga usaha untuk memproduksi air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 liter di Bali.

Artha mengatakan kalau AMDK di bawah 1 liter merupakan produk paling laku di Bali. Sementara AMDK 600 mililiter sampai 1,5 liter kurang diminati konsumen. Hal ini dikarenakan produk ini mudah dijangkau oleh masyarakat kelas menengah.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan kebijakan itu sangat memukul omzet perusahaan. Padahal, perseroan pun baru bangkit dari keterpurukan penjualan. Ia juga mengungkapkan bahwa Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) Bali akan mengadakan audiensi dengan pemprov setempat untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini.

Sementara itu, Mantan anggota DPR dan DPD RI, I Gede Pasek Suardika menilai bahwa SE tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Politisi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) ini mengatakan, SE tersebut tidak menyelesaikan akar permasalahan sampah yang ada di Bali.

"Melarang produk yang telah berizin dan membayar pajak di republik ini adalah bentuk kesewenang-wenangan. Ketidakmampuan dalam mengatasi sampah lalu menyalahkan pihak lain adalah bukti ketidakmengertian menyelesaikan akar masalah," kata Gede dalam akun Facebooknya.

Menurutnya, kebijakan akan terlihat konsisten apabila minuman kemasan sachet, plastik gula pasir, plastik pembungkus beras, dan lainnya juga tidak boleh dijual. Ia mengatakan kebijakan ini juga bisa digugat bilamana ada masyarakat yang merasa keberatan. Hal ini karena plastik dari air mineral terbukti memiliki nilai ekonomis dan bisa didaur ulang.

Selain itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta Pemprov Bali mengkaji ulang pembatasan produksi AMDK di bawah 1 liter. Menurutnya, kebijakan itu akan memberikan efek domino bagi warga dan perekonomian Bali.

"Kebijakan itu harus dievaluasi karena merugikan banyak pihak terutama konsumen. Kebijakan ini perlu dikaji ulang sambil memberikan ruang kepada pengusaha-pengusaha kecil sampai konsumen," kata Trubus.

Trubus mengatakan bahwa aturan ini bakal menggerus ekonomi Bali menyusul banyaknya pelaku usaha AMDK lokal berskala UMKM di daerah tersebut. Dia melanjutkan, pembatasan produksi ini bakal membuat pelaku usaha mengurangi atau bahkan menghentikan aktivitas produksi mereka.

Ia menambahkan, penghentian aktivitas produksi ini akan berujung pada efisiensi dan pengurangan tenaga kerja lokal. Akibatnya, pekerjaan masyarakat setempat terancam hilang sehingga mereka bakal kehilangan pendapatan. Kondisi sosial masyarakat juga akan semakin memburuk di tengah perlambatan ekonomi saat ini.

Kebijakan ini juga ia nilai akan mengganggu iklim investasi di Bali. Trubus mengatakan pengusaha bisa saja hengkang dan enggan berinvestasi di Bali karena tidak mendapatkan jaminan hukum. Pada akhirnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bali akan terguncang karena minimnya retribusi pajak dari para pelaku usaha dan konsumen.

"Makanya kebijakan ini malah akhirnya memberi dampak negatif bagi PAD apalagi sekarang lagi efisiensi, dimana dana dari pemerintah pusat sudah dipotong 50 persen," ujarnya.

Selanjutnya, Trubus mengatakan bahwa kebijakan tersebut memberatkan konsumen mengingat tidak semua masyarakat dapat membeli air kemasan di atas 1 liter. Apalagi, sambung Trubus, di tengah kondisi ekonomi yang sedang lesu ini masyarakat akan semakin terhimpit.

"Bagi para pelancong juga membawa kemasan di atas 1 liter sangat tidak praktis saat berkeliling," tuturnya.

Trubus juga mengatakan bahwa permasalahan sampah tidak bisa dibebankan kepada produsen saja. Menurutnya, perlu dukungan semua pihak termasuk konsumen agar permasalahan sampah di Bali dapat teratasi tanpa merugikan pihak manapun.

"Artinya dibanding memaksa tidak produksi, masalah sampah lebih baik dipecahkan juga melalui kebiasaan membuang sampah sembarangan masyarakat," pungkasnya.

(prf/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial