Krisis Layanan Kesehatan di Libya, Gadis Kecil Nekat Menyeberang Laut

5 hours ago 3

Jakarta -

Krisis layanan kesehatan di Libya kini mendapat wajah: dalam sosok Sohan Aboulsoud, gadis berusia tujuh tahun yang mengidap fibrosis kistik, penyakit genetik turunan yang memengaruhi paru-paru, sistem pencernaan, dan organ vital lainnya.

Keluarganya, yang tak lagi menemukan harapan pengobatan di tanah air, pada 25 Juni lalu nekat menantang maut dengan menyeberang laut, menuju Italia demi mencari pertolongan medis.

Ibunda Sohan, Khawla Nail, mengunggah foto putrinya yang terbaring lesu di atas perahu penyelundup. Gambar itu viral di media sosial dan diliput oleh berbagai media internasional. Keesokan harinya, puluhan keluarga yang anak-anaknya juga menderita fibrosis kistik turun ke jalan berdemonstrasi di Tripoli. Mereka menuntut akses terhadap pengobatan dan pendirian pusat diagnosis di Libya, serta menegaskan bahwa nyawa taruhannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah tumbangnya rezim Muammar Gaddafi pada 2011, Libya hingga kini masih dilanda kekacauan politik. Sejak 2014, negeri di Afrika Utara itu terbelah dua, antara pemerintahan rekonsiliasi yang diakui PBB, Government of National Unity (GNU), di Tripoli, melawan faksi saingan, House of Representatives, yang beroperasi dari Tobruk.

Kedua pihak berulang kali gagal mengambil alih kendali penuh di negara itu, dan kini membagi wilayah kekuasaan antara barat dan timur.

Kondisi ini turut melumpuhkan sistem kesehatan nasional. Fasilitas rumah sakit tidak berkembang, dan banyak obat penting langka yang tak tersedia. Laporan WHO pada Desember 2021 lalu mencatat, sekitar sepertiga fasilitas kesehatan di wilayah selatan dan timur Libya "tidak berfungsi," sementara 73% di selatan dan 47% di timur hanya "berfungsi sebagian."

Keluarga-keluarga putus asa

Selama tujuh tahun, keluarga Sohan membayar mahal untuk pemeriksaan laboratorium di negara jiran, Tunisia dan membeli obat melalui apotek swasta. Tanpa obat-obatan itu, kata ibunya, Sohan takkan bertahan hidup hingga kini.

"Saya telah beberapa kali mengajukan berkas medis Sohan ke otoritas kesehatan Libya, tapi jawabannya selalu sama: tak ada anggaran," ujar Khawla Nail kepada DW. "Semuanya mahal, rumit, dan di luar jangkauan kami. Saya menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana kondisi putri kami terus memburuk. Kami sudah kehabisan semua opsi pertolongan di Libya."

Berdasarkan dokumen yang diperoleh DW, lebih dari 60 keluarga di Libya telah mengajukan permintaan resmi ke Kementerian Kesehatan untuk pengobatan fibrosis kistik. Dokumen tersebut mencantumkan nama dan nomor identitas nasional mereka.

Kepala Organisasi Nasional untuk Dukungan Donasi Organ di Libya, Mahmoud Abu Dabbous, mengatakan, keluarga Sohan bukan yang pertama nekat menyeberangi laut demi perawatan. "Ini adalah indikator serius kegagalan Libya dalam memenuhi kebutuhan kesehatan paling dasar," ujarnya.

Sekitar 10 hari lalu, Sohan bersama ibu dan ayah tirinya naik kapal yang penuh sesak berisi keluarga-keluarga Libya lainnya. "Kami bukan pergi karena ingin bermigrasi. Kami pergi karena penyakit tak menunggu," kata ibunya.

Namun, tak semua migran tak berdokumen berhasil mencapai Eropa. Menurut Missing Migrants Project dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), lebih dari 63.000 orang dilaporkan hilang atau tewas sejak 2014. Jumlah sesungguhnya diyakini jauh lebih besar karena data yang akurat sulit didapat.

Janji pemerintah tak berbuah aksi

Keluarga Sohan tiba di Pulau Lampedusa, Italia, sekitar 420 km dari Zuwara, titik keberangkatan di Afrika Utara yang populer di kalangan penyelundup manusia.

Di sana, para pengungsi ditempatkan di kamp penampungan tanpa pendingin udara. Celakanya, "fibrosis kistik tidak tahan panas atau dehidrasi. Penurunan cairan sedikit saja bisa membuat Sohan masuk ICU," jelas sang ibu.

Saat itu, foto-foto Sohan sudah ramai beredar dan jadi bahan perbincangan di Libya. Pemerintah GNU di Tripoli pun berjanji akan menanggung biaya pengobatan gadis kecil itu di Italia.

"Tapi mereka hanya menghubungi kami sekali, lalu tidak ada kabar lagi. Tak ada satu pun pejabat yang menelepon sejak saat itu, dan tidak ada langkah nyata diambil," ujar Khawla Nail.

Upaya DW untuk menghubungi Kementerian Kesehatan Libya tidak berhasil. Hingga laporan ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi.

Janji kosong pemerintah tidak mengejutkan bagi Tarik Lamloum, kepala organisasi HAM Libya, Beladi. Dalam pengalamannya, dukungan dari pemerintah kerap hanya sebatas pernyataan publik. Reaksi GNU, katanya, bukan berasal dari rasa tanggung jawab berkelanjutan, melainkan karena tekanan media sosial.

Lamloum juga khawatir kisah Sohan akan menjadi preseden berbahaya. "Sudah ada satu keluarga yang menghubungi saya setelah cerita ini viral, menanyakan detail perjalanan dan apakah bisa diulang," katanya kepada DW.

"Alih-alih mengglorifikasi sebuah kasus di mana keluarga harus menyeberangi laut demi pengobatan, negara seharusnya memberikan layanan kesehatan yang layak di dalam negeri," pungkasnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial