Jakarta -
Imbas dari kebijakan efisiensi anggaran terus bermunculan hingga saat ini. Terbaru, sektor perhotelan mengaku terdampak dari kebijakan ini (Detiktravel, 5/3) dalam bentuk penurunan pendapatan yang berpotensi menimbulkan PHK. Lalu, siapa yang lagi yang sebetulnya terkena dampak dari efisiensi?
Sebelumnya, dalam Inpres 1/2025, Presiden memerintahkan para menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk melakukan efisiensi pada beberapa item anggaran, di antaranya belanja operasional perkantoran, perjalanan dinas, dan belanja honorarium. Efisiensi atas anggaran belanja negara ditargetkan sebesar Rp 306 triliun.
Merespons instruksi tersebut, beberapa K/L telah mengeluarkan kebijakan internal sebagai langkah antisipatif. Langkah-langkah tersebut di antaranya pemberlakuan jam kerja fleksibel (flexible working arrangement), pembatasan operasional sarana perkantoran, serta peniadaan forum-forum seminar dan diskusi.
Secara eksternal, efisiensi dikhawatirkan akan berpotensi mengganggu kinerja pelayanan beberapa K/L, seperti layanan perlindungan saksi oleh LPSK, seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial, layanan pengaduan HAM oleh Komnas HAM, dan layanan pengaduan pelayanan publik oleh Ombudsman RI.
Inefisiensi anggaran belanja negara memang terus-menerus menjadi persoalan. Misalnya, pada 2023 BPKP menemukan Rp 141 triliun belanja daerah yang tidak efektif dan efisien. Contoh lain, pada 2019 Kemen PAN RB menemukan potensi inefisiensi dan inefektivitas dari pengeluaran dalam APBN/APBD sejumlah Rp 392 triliun.
Inefisiensi tersebut disebabkan karena banyaknya alokasi anggaran untuk komponen-komponen pendukung kegiatan, seperti perjalanan dinas, honorarium, dan penyelenggaraan rapat. Anggaran perjalanan dinas meningkat dari Rp 39 triliun pada 2022 menjadi Rp 49 triliun pada 2023. Adapun anggaran honorarium meningkat dari Rp 1,4 triliun pada 2022 menjadi 1,5 triliun pada 2023.
Pertanyaannya, mengapa anggaran komponen-komponen pendukung jumlahnya sangat besar? Hal ini tidak lain karena para PNS memperoleh penghasilan tambahan dari setiap perjalanan dinas dan honorarium tersebut. Pertanyaan berikutnya, kenapa PNS perlu mencari penghasilan tambahkan? Jawabannya, karena belum semua PNS memiliki kesejahteraan yang cukup.
Sebagai gambaran, gaji PNS bergelar sarjana dengan masa kerja 0 tahun (fresh graduate) sejumlah Rp 2,7 juta. Adapun gaji PNS dengan pangkat tertinggi dengan masa kerja 30 tahun sejumlah Rp 6,3 juta. Sebagai perbandingan, UMK tertinggi yakni di Kota Bekasi sebesar Rp 5,3 juta.
Untuk menutup kekurangan tersebut maka kebijakan pemberian remunerasi diberlakukan. Namun, kebijakan tersebut belum dapat menyelesaikan persoalan karena terjadi ketimpangan besaran tunjangan kinerja yang diterima oleh PNS antar K/L dan antar pemda. Ketimpangan tersebut memunculkan istilah kementerian/pemda "sultan" sebagai antitesis dari kementerian/pemda "jelata".
Bagi PNS golongan menengah-bawah yang bergaji kecil dan bekerja di K/L/pemda dengan tunjangan yang tidak seberapa maka belanja rapat dan perjalanan dinas serta honorarium menjadi jaring pengaman.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per Juli 2024, PNS golongan menengah-bawah (di luar jabatan pimpinan tinggi) berjumlah sekitar 3,6 juta. Angka itu terdiri dari sekitar 100 ribu pejabat administrator, sekitar 200 ribu pejabat pengawas, sekitar 9 ribu pejabat eselon V, sekitar 2,2 juta pejabat fungsional, dan sekitar 1 juta pelaksana.
Mayoritas PNS golongan menengah-bawah tersebut menduduki kategori jabatan non-manajerial yang bertugas memberikan pelayanan dan melakukan pekerjaan sesuai dengan keahlian/keterampilan tertentu, seperti dosen, guru, tenaga medis, penyuluh, analis kebijakan, perencana, peneliti, dan lain sebagainya.
Kebijakan efisiensi anggaran dapat memukul PNS golongan menengah-bawah dari dua sisi sekaligus. Sisi pertama, tambahan penghasilan para PNS yang bersumber dari perjalanan dinas dan honorarium dihilangkan. Sisi kedua, fasilitas kerja para PNS ini dibatasi, seperti alat tulis kantor, bahan komputer, dan bus/mobil jemputan pegawai.
Isu kesejahteraan PNS seringkali diabaikan karena berpotensi memunculkan resistensi masyarakat. Pengabaian atas isu ini menjadi sesuatu yang lumrah di tengah praktik bureaucracy bashing (Garrett, Thurber, Fritschler, Rosenbloom, 2006). Jika terus diabaikan maka program reformasi birokrasi berpotensi jalan di tempat.
Efisiensi anggaran seyogianya perlu diiringi dengan perbaikan kesejahteraan PNS secara sistematis dan bertahap. Astacita mengamanatkan perbaikan struktur penggajian, sistem insentif, tunjangan/fasilitas, serta memperketat pengawasan kinerja PNS. Kesemuanya itu harus dengan mengedepankan prinsip keadilan, kelayakan, dan competitiveness.
Husni Rohman Perencana Madya di Kementerian PPN/Bappenas
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu