IOJI Dorong Paradigma Hukum Manusia dan Alam Diubah Demi Cegah Bencana

4 hours ago 2

Jakarta -

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mendorong perubahan paradigma hukum untuk menghadapi bencana. Perubahan paradigma hukum diperlukan untuk merespons krisis ekologis secara efektif serta tetap mengutamakan perlindungan ekosistem alam.

Hal itu diungkapkan CEO IOJI Mas Achmad Santosa dalam sambutannya saat diskusi Nilai dan Praktik Hukum Adat untuk Penyelamatan Ekosistem dan Kedaulatan Pangan di IOJI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (17/3/2025).

"Keinginan kita untuk mengembangkan paradigma hukum baru di era anthropocene, karena terbukti, paradigma hukum yang currently saat ini, yang kita sebut hukum lingkungan, hukum sumber daya alam, itu terasa sekali tidak efektif," kata Mas Achmad Santosa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, perubahan paradigma hukum diperlukan untuk menempatkan manusia tidak lagi menjadi satu-satunya subjek hukum. Melainkan turut menempatkan makhluk hidup lain seperti ekosistem alam, fauna, dan flora juga sebagai subjek hukum.

"Hukum saat ini masih menempatkan manusia sebagai pusat dan subjek utama dari sistem hukum tersebut atau disebut human centered, dengan kata lain, sifat antroposentrisme yang tertanam atau embedded dalam hukum memperlakukan semua sistem kehidupan lainnya, hewan, tumbuhan, ekosistem sebagai objek untuk melayani manusia tanpa mengakui hak intrinsik non-living being," ucapnya.

"Non manusia telah direduksi menjadi objek yang semata ada untuk memenuhi kebutuhan subjek manusianya, dengan kerangka berpikir ini dibutuhkan sistem hukum yang menggunakan cara pandang tentang hubungan manusia dengan alam dan mampu mengubah pendekatan, kepada pendekatan yang inklusif untuk all living being," jelasnya.

Perubahan paradigma hukum itu diharapkan mampu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi manusia di era antroposen. Menurutnya, era antroposen atau era di mana kerusakan ekosistem alam disebabkan sepenuhnya oleh manusia itu, telah mencapai batas-batas kritis planet.

"Para ilmuwan menyimpulkan bahwa kita sudah masuk ke era anthropocene, anthropocene ditandai dengan disrupsi anthropogenic, manusia telah merusak sistem alam dalam skala global yang mengancam kehidupan flora fauna secara keseluruhan," ujarnya.

Bahkan menurutnya, sejumlah studi menunjukkan kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia telah melampaui sejumlah batas kritis planet. Mulai dari perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati hingga polusi kimia.

"Para ilmuwan mencoba mengidentifikasi melalui model planetary boundaries, sembilan batas-batas kritis, sembilan batas-batas kritis ini meliputi perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan siklus nitrogen dan fosfor, alih fungsi lahan, polusi kimia, perubahan air tawar, lalu partikel aerosol di atmosfer, penipisan lapisan ozon dan pengasaman laut," katanya.

"Berdasarkan penelitian tahun 2024, bumi telah melampaui 6 dari 9 batas planet, jadi 6 dari 9 batas planet sudah terlalui, yaitu perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan siklus nitrogen dan fosfor, perubahan alih fungsi lahan, polusi kimia dan perubahan air tawar, terdapat satu batas planet yang sudah mendekati titik kritis atau tipping point yaitu pengasaman laut atau ocean acidification," ucapnya.

Karena kondisi itu, dia menilai pentingnya perubahan paradigma hukum agar manusia dapat merespons krisis ekologis secara efektif demi kelangsungan hidup umat manusia serta keseimbangan ekosistem alam dapat terus terjaga.

"Hukum di era ini harus mampu merespon krisis ekologis dengan efektif dan mengedepankan perlindungan plantery secara utuh, dan reformasi hukum lebih adaptif dan tidak hanya mementingkan manusia tetapi juga alam, dengan mempertimbangkan batas-batas planet untuk kelangsungan hidup jangka panjang umat manusia dan alam di bumi ini," ucapnya.

(dek/dek)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial