Identitas Kepemimpinan dan Partisipasi Warga

6 hours ago 5

Jakarta -

"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu." Pernyataan terkenal dari John F. Kennedy ini bukan sekadar kalimat inspiratif, tetapi sebuah seruan moral yang menuntut warga negara untuk lebih aktif dalam membangun bangsanya. Namun, pada era politik modern yang semakin terfragmentasi, di mana kesenjangan ekonomi semakin melebar dan kepercayaan sosial terus terkikis, ajakan seperti ini semakin kehilangan daya tariknya. Bagaimana mungkin seseorang diminta berkontribusi bagi negaranya jika ia sendiri merasa terpinggirkan dalam sistem yang timpang?

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: masihkah pemimpin politik memiliki kemampuan untuk membangun rasa kebersamaan di tengah masyarakat yang terpecah? Konsep identity leadership atau kepemimpinan berbasis identitas menawarkan jawaban. Gagasan ini menekankan bahwa pemimpin yang efektif bukan hanya seorang pengambil kebijakan, tetapi juga sosok yang mampu membangun dan memperkuat rasa identitas kolektif dalam masyarakat.

Dengan menanamkan kesadaran bahwa warga negara adalah bagian dari satu kesatuan yang lebih besar, pemimpin dapat mendorong partisipasi dan keterlibatan aktif rakyat dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan politik. Namun, teori ini menghadapi tantangan besar ketika diterapkan dalam realitas politik yang dipenuhi ketimpangan ekonomi dan sosial.

Di banyak negara, narasi persatuan sering hanya menjadi alat retoris yang tidak memiliki dampak nyata bagi kehidupan masyarakat. Alih-alih memperkuat solidaritas, justru semakin banyak warga yang merasa teralienasi dari sistem politik yang seharusnya mereka dukung. Jika demikian, apakah identitas kepemimpinan masih relevan? Ataukah ia hanya sekadar ilusi yang digunakan untuk menutupi ketidakadilan struktural?

Narasi Inklusif

Secara teoritis, identitas kepemimpinan berakar pada teori identitas sosial yang dikembangkan oleh Tajfel dan Turner. Teori ini menjelaskan bahwa individu mendefinisikan dirinya tidak hanya sebagai entitas yang berdiri sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih besar. Dalam konteks politik, seorang pemimpin yang sukses adalah mereka yang mampu menciptakan perasaan "kita" di antara rakyatnya.

Pemimpin yang efektif tidak hanya mencerminkan nilai-nilai kelompok yang mereka pimpin, tetapi juga mampu menumbuhkan kesadaran kolektif yang melampaui perbedaan individual dan kepentingan sektoral. Contoh paling ikonik dari keberhasilan identitas kepemimpinan dapat dilihat dalam sosok Nelson Mandela.

Setelah rezim apartheid runtuh, Afrika Selatan berada di ambang perpecahan yang dapat berujung pada konflik berkepanjangan. Namun, dengan kepemimpinannya yang menekankan rekonsiliasi dan persatuan, Mandela berhasil menanamkan narasi inklusif yang mengakomodasi berbagai kelompok etnis di negaranya. Identitas nasional bukan lagi soal ras atau kelas sosial, melainkan tentang komitmen bersama untuk membangun negara yang lebih adil.

Sebaliknya, ketika identitas kepemimpinan digunakan secara eksklusif untuk memperkuat loyalitas kelompok tertentu, hasilnya bisa sangat destruktif. Pemimpin populis sering memanfaatkan retorika persatuan hanya untuk mengonsolidasikan kekuasaan mereka, bukan untuk membangun inklusivitas sejati. Ketika pemimpin membangun narasi "kami" melawan "mereka", yang terjadi bukanlah keterlibatan warga yang sehat, tetapi justru peningkatan polarisasi yang berujung pada konflik sosial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Faktor Ekonomi

Dalam kenyataannya, identitas kepemimpinan tidak bekerja di ruang hampa. Faktor ekonomi memainkan peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan atau kegagalan pendekatan ini. Ketimpangan ekonomi yang tinggi cenderung merusak kepercayaan sosial, yang pada akhirnya melemahkan efektivitas identitas kepemimpinan dalam mendorong partisipasi warga.

Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang lebar, masyarakat cenderung lebih individualistis dan kurang percaya kepada sesama warga negara. Ketika sebagian besar sumber daya ekonomi hanya terkonsentrasi di tangan segelintir elit, masyarakat mulai merasa bahwa sistem yang ada tidak bekerja untuk mereka. Dalam situasi seperti ini, seruan pemimpin untuk membangun rasa kebersamaan sering terdengar kosong dan tidak meyakinkan.

Sebagai contoh, Brasil adalah negara dengan ketimpangan ekonomi yang sangat tinggi. Meskipun memiliki pemimpin yang sering menggaungkan retorika nasionalisme dan kebersamaan, partisipasi politik dan sosial warga sering kali didasarkan pada rasa frustrasi, bukan keterlibatan yang tulus. Bandingkan dengan negara-negara Skandinavia yang memiliki tingkat ketimpangan rendah dan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi di sana, warga cenderung lebih aktif dalam berbagai inisiatif kewarganegaraan karena mereka merasa sistem yang ada benar-benar melayani kepentingan mereka.

Lebih dari sekadar tantangan struktural, ada bahaya lain yang mengintai ketika identitas kepemimpinan digunakan dengan cara yang manipulatif. Dalam banyak kasus, pemimpin politik menggunakan narasi kebersamaan bukan untuk menciptakan solidaritas sejati, tetapi untuk mengalihkan perhatian dari masalah mendasar yang mereka enggan selesaikan.

Di negara-negara dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi, tidak jarang kita melihat bagaimana pemimpin menggunakan wacana nasionalisme untuk menutupi kegagalan dalam mengatasi masalah ekonomi dan sosial. Ketika rakyat mulai menuntut keadilan ekonomi, mereka sering dihadapkan pada narasi bahwa "persatuan lebih penting daripada mengeluh." Hasilnya, bukan partisipasi warga yang meningkat, tetapi justru pembungkaman kritik terhadap sistem yang tidak adil.

Komitmen Nyata

Kepemimpinan yang efektif bukan hanya soal membangun rasa "kita" tetapi juga soal memastikan bahwa setiap individu dalam masyarakat benar-benar merasa menjadi bagian dari "kita" tersebut. Tanpa kebijakan yang nyata untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan memperkuat kepercayaan sosial, identitas kepemimpinan hanya akan menjadi retorika tanpa substansi.

Saat ini, dunia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan keterlibatan warga dalam kehidupan politik dan sosial. Pertanyaannya, mampukah para pemimpin kita menghadapi tantangan ini dengan kejujuran dan komitmen nyata? Ataukah identitas kepemimpinan hanya akan terus digunakan sebagai selubung untuk menutupi ketidakadilan yang semakin mendalam? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya terletak pada pemimpin, tetapi juga pada rakyat yang mereka pimpin, apakah kita hanya akan menerima narasi yang diberikan, atau justru menuntut kepemimpinan yang lebih adil dan autentik?

Karunia Kalifah Wijaya Guru Bimbingan Konseling SMP Muhammadiyah 1 Berbah

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial