Jakarta -
Sejumlah musisi, di antaranya Ariel NOAH dan Bunga Citra Lestari (BCL), mengajukan gugatan terhadap UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonannya, mereka mengungkit persoalan royalti yang terjadi di antara Agnez Mo dan Ari Bias.
Dilihat dari situs resmi MK, Rabu (12/3/2025), ada 29 orang musisi yang menjadi pemohon dalam gugatan itu. Mereka antara lain ialah Armand Maulana, Ariel NOAH, BCL, Titi DJ, Raisa, Bernadya, Vidi Aldiano, Afgan, Rossa hingga Ghea Indrawari.
Salah satu pasal yang mereka persoalkan ialah pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta. Berikut isi pasal tersebut:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 23 ayat 5:
Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam bagian alasan pemohonan, mereka menyebut pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta itu telah menimbulkan ketidakpastian. Mereka mengungkit persoalan Ari Bias dengan Agnez Mo.
"Frasa 'setiap orang' pada Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta sering kali dimaknai secara keliru dengan merujuk hanya pada orang perorangan saja dan oleh karenanya disimpulkan secara salah sebagai pelaku pertunjukan. Controh kontret masalah kekeliruan permahaman yang disebabkan oleh frasa 'Setiap orang' dapat ditemukan pada permasalahan antara Agnez Mo dengan Ari Bias, di mana muncul masalah mengenai apakah pihak yang 'menggunakan ciptaan secara komersial' ditujukan kepada individu/badan hukum yang membuat acara pertunjukan (dalam hal ini event organizer dan/atau promotor) atau ditujukan kepada individu yang melaksanakan pertunjukan atas dasar perjanjian dengan pihak yang membuat acara," ujar mereka.
Sebagai informasi, Agnez Mo dihukum membayar denda Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias karena dianggap melanggar hak cipta usai melakukan lagu Bilang Saja tanpa izin. Keputusan itu diketok oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Agnez Mo pun melawan dengan mengajukan kasasi.
Kembali ke gugatan UU Hak Cipta, pemohon mengatakan sudah menjadi kebiasaan bahwa pembayaran royalti dilakukan oleh penyelenggara acara pertunjukan (event organizer). Mereka menyebut event organizer merupakan pihak yang mengetahui variabel dan komponen penentuan royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk kemudian diberikan kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan pencipta.
Adapun LMK berperan untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti, sementara LMKN berperan menarik royalti. Mereka juga menganggap ada kerugian konstitusional karena beberapa pihak menilai royalti seolah-olah harus dibayarkan sebelum pertunjukan.
"Padahal dalam pelaksanaannya, suatu pertunjukan tentunya memiliki banyak improvisasi (ada permintaan dari audiens untuk menyanyikan lagu tertentu, adanya perubahan pelaksanaan tempat dan lain sebagainya) yang kemudian akan mempengaruhi perhitungan pembayaran royalti," ujarnya.
Mereka mengatakan penghitungan royalti juga memasukkan berbagai komponen, seperti tiket hingga luas tempat pertunjukan. Atas dasar itu, mereka menilai jangka waktu pembayaran royalti idealnya dilakukan setelah pertunjukan.
Atas dasar itu, mereka meminta MK untuk menyatakan pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta konstitusional sepanjang frasa 'setiap orang' dimaknai sebagai 'Orang atau badan hukum sebagai penyelenggara acara pertunjukan' kecuali apabila diperjanjikan berbeda oleh pihak terkait mengenai ketentuan pembayaran royalti dan sepanjang dimaknai bahwa pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya penggunaan komersial suatu ciptaan dalam suatu pertunjukan.
(haf/haf)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu