Mulai 2029, pemilihan anggota DPRD dan pemerintah daerah akan digelar terpisah dari pemilu DPR, DPD, dan pilpres. Jeda waktunya hingga dua setengah tahun. Skema yang menghapus pemilu serentak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini membuat cemas kandidat pemilu.
Sistem baru itu disebut berpotensi menghapus tandem antarcaleg atau praktik ‘urunan logistik’ yang selama ini menyelamatkan mereka dari biaya yang membengkak. Tanpa pemilu serentak, partai kecil dan caleg minim modal terancam tak punya ruang bertarung. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi.
“Jadi ada DPRD provinsi, ada DPRD tingkat kabupaten/kota, ada DPR RI, kami urunan. Bahasanya itu urunan, untuk memperjuangkan biaya kampanye. Kalau sekarang (dengan adanya putusan MK) kan sendiri ya (dalam hal pembiayaan karena tidak serentak). Akibatnya apa? Akibatnya, tentu partai-partai besar jauh lebih punya kemampuan bisa memenangkan karena memiliki logistik yang besar,” ujar Dede kepada detikX.
Dampak lainnya, menurut Dede, partai-partai yang mengusung calon presiden dinilai punya keunggulan elektoral yang tak dimiliki partai lain. Mereka menumpang arus popularitas tokoh nasional, membawa ‘efek ekor jas’ yang dapat melambungkan elektabilitas caleg hingga ke tingkat lokal.
“Partai yang memiliki capres memiliki coattail effect yang jauh lebih besar ketimbang partai yang tidak memiliki capres. Jadi dari sini kita melihatnya jadi tidak apple to apple,” ujarnya.
Sementara itu, partai yang tak memiliki kandidat presiden berisiko tertinggal. Sebab, tak bisa ikut mendulang efek dari pemilu nasional. Persaingan pun, kata Dede, tak lagi setara. Akibatnya adalah orang-orang yang menurut Dede merupakan pejuang-pejuang partai, aktivis-aktivis yang benar-benar mewakili suara rakyat, semakin berkurang di parlemen.
Bagi Dede, perubahan ini semestinya menjadi bahan kajian yang matang, bukan hanya dari sisi teknis penyelenggaraan, tetapi juga dari dampaknya terhadap ekosistem politik nasional.
Senada, politikus Partai NasDem Irma Suryani Chaniago menilai, jika pemilu digelar dua kali dalam periode terpisah, biaya logistik, seperti saksi, kampanye, dan distribusi alat peraga, pun otomatis akan dobel.
Dulu, kata Irma, partai bisa patungan logistik antara caleg DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Namun, ke depan, semua harus jalan sendiri-sendiri. Dengan ongkos setinggi itu, ia khawatir hanya kandidat bermodal besar yang mampu bertahan.
Irma Suryani Chaniago mempertanyakan proses pengambilan putusan di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, putusan penting seperti pemisahan pemilu nasional dengan daerah seharusnya tidak diambil secara sepihak.
“Kenapa nggak ngobrol dulu dengan DPR, dengan pemerintah. Kalau begini, kami akan melakukan ini bagaimana?” katanya.
Ia menilai putusan yang diambil tanpa melibatkan pemangku kepentingan justru membuka ruang ketidakstabilan pada masa mendatang.
“Dulu sudah diputuskan serentak, sekarang tiba-tiba berubah lagi. Nanti periode berikutnya bisa berubah lagi kalau MK-nya ganti. Ini lembaganya maunya apa?” protesnya.
Inkonsistensi seperti itu, menurut Irma, berisiko mengganggu kepastian hukum dan menciptakan kebingungan dalam pelaksanaan teknis maupun perhitungan anggaran.
Lebih jauh Irma menyoroti potensi pemborosan anggaran negara akibat pemisahan pemilu. “Berapa besar biaya negara yang akan bobol kalau harus dua kali pemilu?” ujarnya.
Ia menegaskan keputusan strategis seperti ini seharusnya dipertimbangkan secara matang dengan memperhitungkan dampak ekonomi dan politik secara menyeluruh.
Berbeda dari sejumlah politikus yang khawatir terhadap dampak pemisahan pemilu pusat dengan daerah, Mardani Ali Sera dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) justru melihat peluang perbaikan. Ia menilai pemisahan bisa memperkuat kualitas demokrasi lokal. Sebab, pemilih akan lebih fokus pada isu-isu daerah tanpa terdistraksi oleh dinamika politik nasional.
“Ketika yang dibahas adalah isu nasional, maka fokus publik juga pada kualitas pembinaan nasional, termasuk DPR RI. Tapi saat pemilu lokal berlangsung sendiri, perhatian warga bisa lebih tajam pada persoalan kabupaten, kota, atau provinsi mereka,” ujar Mardani kepada detikX.
Ia menilai, dengan skema seperti ini, pemilih tak lagi membeli kucing dalam karung. Menurutnya, bisa lebih jernih menilai calon berdasarkan rekam jejak dan relevansi isu.
Pemisahan pemilu juga dinilai mendorong kemunculan tokoh-tokoh lokal yang tak selalu bergantung pada kekuatan pusat. “Otonomi daerah butuh figur-figur yang memahami daerahnya. Kalau suara mereka lebih didengar, kebijakan yang dihasilkan juga bisa lebih presisi,” tambahnya.
Terkait kekhawatiran soal pelanggaran prinsip pemilu lima tahunan, Mardani menilai hal itu masih bisa dijaga. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah penyesuaian pola, misalnya dengan memperpanjang masa jabatan DPR daerah sebagai bentuk transisi.
Sementara partai-partai menyuarakan kekhawatiran dan harapan masing-masing atas putusan MK, KPU sebagai penyelenggara pemilu ikut mencermati dampaknya dari sisi teknis dan kelembagaan. Komisioner KPU RI August Mellaz menegaskan akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif.
“Kalau KPU kan bagian berikutnya, pelaksana. Kalau sudah jadi undang-undang, apa pun substansi itu, kami akan melaksanakan,” jelas August kepada detikX.
Terlepas dari putusan MK, August mengatakan dua periode pemilu dengan pilkada pada tahun yang sama memang menjadi tantangan tersendiri karena waktu yang beririsan. Namun, menurutnya, pada 2024, KPU berhasil memitigasi risiko-risiko yang terjadi pada periode sebelumnya.
“Bebannya kan tambahnya di situ karena ada irisan (waktu) yang hampir bersamaan di situ aja, tapi kan itu juga bagian yang sebelum ada putusan juga bagian yang kami diskusikan. Kami sampaikan juga ke publik ataupun terutama ke Komisi II (DPR RI) sebagai yang melakukan fungsi pengawasan kan dan itu kan juga dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang,” terang August.
Pada Pemilu Serentak 2019, KPU mencatat ada 894 petugas ad hoc yang meninggal dunia. Selain itu, lebih dari 5.000 lainnya jatuh sakit selama proses penyelenggaraan pemilu berlangsung. Penyebabnya beragam, mulai kelelahan akut, beban kerja yang tak seimbang, hingga kondisi kesehatan yang tidak dicek secara menyeluruh sebelum pelaksanaan.
Namun, pada Pemilu 2024, kata August, sejumlah perbaikan dilakukan. Daftar pemilih tetap hanya ditetapkan satu kali. Masalah logistik relatif bisa diatasi, pemungutan suara susulan memang masih terjadi, tapi penyebabnya bukan lagi kekacauan distribusi melainkan bencana alam seperti banjir.
Yang paling mencolok, jumlah petugas penyelenggara yang meninggal turun drastis hingga lebih dari 70 persen dibanding 2019. Pemeriksaan kesehatan dan skema santunan juga dilakukan lebih awal dan terkoordinasi dengan pemerintah daerah.
“Kita harus sepakati bahwa satu nyawa ya punya nilai ya, kita tidak mau menilai apakah mana yang lebih baik mana yang lebih buruk, tapi faktanya di 2024 beban kerja dari badan ad hoc kan kami bisa mitigasi dengan rupa. Sehingga beban-beban itu makin berkurang dan itu juga jumlah yang penyelenggaraan ad hocyang di lapangan meninggal gitu dan jumlahnya menurun dengan sangat signifikan itu bisa sampai 70-80 persen,” pungkas August.