Jakarta -
Menyimak polemik hukum yang berkembang sebagaimana mengemuka dalam berapa hari terakhir ini, sudah saatnya dikaji dan dianalisis dengan pendekatan yuridis normatif bukan pendekatan politik. Mari kita menggunakan pendekatan hukum yang objektif untuk melihat, mengkaji dan menganalisis persoalan TPP Desa dalam kaitan dengan Bakal Calon Legislatif berdasarkan hukum positif yang berlaku.
Pertama-tama, mucunl pertanyaan. Apakah seorang TPP Desa dilarang menjadi bakal caleg? Jawabannya tentu tidak ada satu pun ketentuan UU yang melarangnya. Sebab, dicalonkan atau mencalonkan sebagai anggota legislatif merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi sebagai implementasi prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat 3) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27) dan hak-hak warga negara sebagai wujud dari Pasal 28 UUD NKRI Tahun 1945.
Lebih lanjut, implementasi dari prinsip dan hak-hak dalam konstitusi tersebut diatur lebih lanjut di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Khususnya Pasal 240 ayat (1) huruf (k) yang mengatur tentang persyaratan bacaleg yang menyatakan bahwa "seorang warga negara Indonesia yang akan menjadi Bakal Calon Anggota Legislatif harus memenuhi persyaratan selain usia... juga bagi pejabat tertentu seperti Kepala Daerah, Direksi, ASN, anggota TNI dan Polri, BUMN atau BUMD, Dewan Pengawas atau profesi tertentu lainnya dan karyawan dari lembaga atau badan lain wajib mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena jabatan atau karyawan badan lain yang dimaksud anggarannya bersumber dari keuangan negara dan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
Selanjutnya penting pula dipahami secara lengkap dan utuh bahwa suatu ketentuan norma dari pasal, seharusnya dibaca dan dipahami pula makna penjelasan dari pasal dimaksud.
Dalam penjelasan Pasal 240 ayat (1) huruf (k), ternyata diperjelas didalamnya bahwa 1. surat pengunduran tidak dapat ditarik kembali setelah surat tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh instansi terkait.
Kemudian yang kedua, bahwa yang diwajibkan untuk mengundurkan diri sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf (k) dimaksud tadi ketika sudah mundur maka yang tidak lagi memiliki status beserta hak dan kewenangannya sejak yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon tetap. Itu penjelasan dari Pasal 240 ayat (1) huruf k UU no 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pertanyaannya apakah TPP Desa wajib mundur atau tidak secara hukum jika mencalonkan diri menjadi caleg?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kita baca bagian kedua dengan Judul 'Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota'. Paragraf 1 Persyaratan Bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. Pasal 240 (1) Bakal Calon adalah WNI dan harus memenuhi syarat yaitu: huruf a sampai dengan huruf k yang isinya sebagaimana sudah dijelaskan tadi.
Jika merujuk pada huruf k di atas, TPP Desa tidak secara tegas ditulis seperti yang lainnya, ASN, TNI dan Anggota Kepolisian, karyawan BUMN dan BUMD.
Dengan tidak disebutkan secara jelas dan tegas TPP Desa dalam Pasal tadi maka dalam dunia ilmu pengetahuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dimungkinkan menggunakan metode interpretasi hukum. Asalkan dalam rangka mencari kebenaran dan memperjuangkan kepentingan umum/publik dan mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan. Bukan demi kepentingan kelompok tertentu apalagi hanya membela kepentingan subjektif kelompok politik tertentu.
Pertanyaanya apakah kata 'karyawan' sebagaimana disebutkan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf k tersebut dapat kita tafsirkan sama maknanya dengan TPP Desa?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa Diknas Balai Pustaka tahun 2001, karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dsb) dengan mendapat gaji (upah): pegawai; pekerja yang bekerja berdasarkan kontrak kerja dalam waktu tertentu.
Dengan berpedoman pada arti makna 'karyawan' di atas, maka TPP Desa berdasarkan pendekatan metode interpretasi hukum baik secara gramatikal dan ekstentif sesungguhnya makna TPP Desa memenuhi kualifikasi untuk disamakan dengan makna 'karyawan' sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf (k) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, karena TPP Desa adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga/badan yang mendapat gaji, yang bekerja berdasarkan kontrak kerja.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya juga dipahami, yakni terkait makna 'Badan lain' sebagaimana disebutkan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf (k). Makna 'Badan lain' tentu secara hukum dapat diartikan sebagai badan hukum baik privat maupun publik termasuk lembaga negara atau lembaga pemerintah termasuk Kementerian (termasuk Kementerian Desa dan PDT).
Oleh karena itu, jika melihat hubungan hukum antara TPP Desa dengan Kemendes yang faktanya didasarkan pada kontrak kerja, lalu yang bersangkutan menerima gaji atau honor secara berkala, maka TPP Desa secara gramatika dapat disamakan atau dipersamakan diartikan dengan 'karyawan' sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) huruf (k).
Kemudian, jika dilihat dari sumber anggarannya yang bersumber dari Keuangan Negara yaitu APBN, maka sulit terbantahkan secara hukum untuk mengatakan TPP Desa bukan termasuk yang diwajibkan mengundurkan diri apabila mau menjadi bacaleg.
Apalagi, TPP Desa honornya juga bersumber pada APBN, juga didasarkan pada kontrak kerja, disamping yang bersangkutan berkualifikasi sebagai karyawan yang profesional.
Profesional artinya yang bersangkutan harus menjalankan tugas-tugasnya dengan keahlian khusus dan memiliki kompetensi di bidangnya tanpa ada pengaruh kepentingan politik praktis atau subjektif lainnya atau yang dapat berpotensi menimbulkan konflik interest dalam menjalankan tugasnya.
Mereka dituntut untuk bekerja hanya semata-semata untuk melakukan pemberdayaan masyarakat desa secara profesional guna mewujudkan kepentingan rakyat dan negara. Oleh sebab itu, secara hukum TPP Desa wajib mengundurkan diri jika hendak mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif.
Jika tidak mundur secara UU Pemilu maka bagi yang sudah terpilih menjadi anggota legislatif bila ada bukti-bukti yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagai calon dan melanggar Pasal 240 ayat (1) huruf (k) UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan secara hukum yang bisa digugat ke PTUN atau Peradilan Umum atau melalui mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh pihak berwenang untuk meminta pembatalan yang bersangkutan sebagai anggota Legislatif.
Namun bagi yang tidak terpilih maka dengan sendirinya yang bersangkutan sudah tidak berhak mendapatkan gaji. Mereka juga tidak berwenang pula menjalankan tupoksinya sebagai TPP Desa dan hal itu diatur dalam bagian Penjelasan Pasal 240 ayat (1) huruf k UU No. 7 tahun 2017 ttg Pemilu.
Dan konsekuensi lebih lanjut secara hukum bila terbukti masih menerima gaji dan honor tapi tidak mengundurkan diri saat pencalonan dulu secara hukum dapat saja pihak yang berwenang untuk meminta yang untuk melakukan pengembalian uang gaji atau honor yang terlanjur diterima sejak yang bersangkutan resmi menjadi calon anggota tetap.
Selain itu, bisa juga secara hukum bila terbukti melanggar ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf k UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu maka yang sebagai TPP Desa tidak dilanjutkan kontraknya. Jika benar-benar Kemendes bermaksud dalam rangka membenahi dan menegakkan hukum yang berlaku tetapi dengan catatan dalam rangka mewujudkan TPP Desa yang profesional, tidak diskriminatif dan tebang pilih.
Prof Dr Juanda, SH. MH. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas ESA Unggul Jakarta.
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu